Pengkotak - Kotakkan Antara Nasionalis dan Islam Sudah Ketinggalan Zaman
Oleh Prima Kumara
Caleg DPRD DKI
nomor 5 dari PKS
(Dapil : Pancoran,
Tebet, Mampang, Pasar minggu, Jagakarsa) |
Pengotak-kotakkan ideologi partai maupun tokoh Partai Islam dan
Nasionalis dapat memberi kesan bahwa orang Islam tidak nasionalis dan
sebaliknya kalangan nasionalis tidak Islami. Ini adalah salah satu
bagian untuk mengadu domba antara kelompok nasional dan Islam. Ini
adalah wujud keprihatinan, kegenitan, over-exploitative, tidak jujur, dan mencurigakan dari kalangan yang tidak senang kalau nasionalis dan Islam bergabung.
Sesungguhnya mereka yang menuduh Islam dan nasionalis saling melemahkan
adalah melawan sejarah dan mengingkari sejarah Indonesia, mereka
menyebutnya dengan istilah ahistoris. Opini yang
mengesankan kalangan Islam tidak nasionalis jelas akan menyinggung
perasaan sebagian besar anak bangsa dan juga para founding fathers bangsa
ini. Sejak berabad-abad lampau, umat Islam terbukti paling sengit
melawan penjajah dan tak terhitung banyaknya fatwa yang menyatakan
membela Tanah Air adalah wajib hukumnya.
Ormas dan lembaga Islam yang dulu memobilisasi laskarnya untuk melawan
penjajah bahkan masih berdiri tegak sampai saat ini, seperti NU dan
Muhammadiyah. Para santri sejak dulu bersikap nonkooperatif kepada
penjajah. Kalangan umat Islam bahkan menolak anak-anaknya masuk ke
sekolah Belanda. Tak seperti sebagian kalangan netral agama yang
menikmati pendidikan Belanda di zaman saat itu.
Peranan umat Islam untuk membebaskan Indonesia dari belenggu
kolonialisme dan imperialisme barat sangatlah besar, pelopor kebangkitan
nasional adalah umat Islam. Pada 1905 gerakan nasionalis pertama
muncul, yaitu Serikat Dagang Islam dan baru kemudian
diikuti pada tahun 1908 oleh gerakan-gerakan nasionalis berikutnya,
seperti Budi Utomo. Salah satu tokoh pelopor kebangkitan nasional
tersebut ialah H.O.S Cokroaminoto dari Sarekat Islam yang
pada tahun 1916 di Bandung pada saat kongres Nasional Central Sarekat
Islam tersebut, HOS Cokroaminoto memperkenalkan paradigma nasionalisme
untuk membela dan membangun Nusantara. Selain itu, beliau tidak mengakui
nama Hindia Belanda yang diberikan oleh Belanda untuk nusantara.
Sebagai bangsa timur, beliau juga lebih bangga menyebut Indonesia dengan
'Hindia Timur'.
Kita juga bisa tengok sejarah, saat Pemilu 1955 dari 15 provinsi, 12 di
antaranya dimenangkan oleh partai Islam: Masjumi (sembilan provinsi),
NU (dua provinsi), dan PSII (satu provinsi). PNI hanya menang di dua
provinsi: Jawa Tengah dan NTB. Satu daerah lainnya, yaitu NTT,
dimenangkan Partai Katolik. Oleh karenanya tidak berlebihan bila
partai-partai Islam disebut sebagai partai yang paling Indonesia, partai
yang Indonesia banget.
Para intelektual non-Indonesia dan non-Islam pun tidak melakukan
pembantahan dan pengingkaran sewenang-wenang atas nasionalisme umat
Islam tersebut. Setelah melacaknya secara jujur, mereka menyimpulkan
Islam merupakan nasionalisme Indonesia. Tengoklah pernyataan Michael H
Hart, ”Di Indonesia, agama Islam yang baru itu merupakan faktor
pemersatu”.
Robert W Heffner, guru besar antropologi Universitas Boston, AS,
mengutip sejarawan Sartono Kartodirdjo, menegaskan bahwa Islam menjadi
definisi intelektual dan ideologis perlawanan saat itu. “Islam tidak
dipandang sebagai pembeda satu segmen masyarakat dari segmen masyarakat
lainnya, melainkan dipandang sebagai penyuplai definisi politik
menyangkut identitas nasional dan fokus perlawanan terhadap penguasa
kolonial”.
Begitu pula pendapat Sidney Jones, dia menyatakan pada abad ke-19 dan
20, seiring beralihnya kontrol perdagangan Samudra India ke tangan
bangsa Eropa, menurunnya penggunaan bahasa Arab, dan pengaruh
internasional, “umat” tak lagi dipersepsi seperti pada abad ke-17. Umat
tak lagi diperuntukkan bagi Muslim yang saleh di Nusantara dan seluruh
dunia Islam, tapi menyempit sebatas Hindia. Pernyataan itu
mengindikasikan Islam sebagai nasionalisme Hindia. George Mc Turner
Kahin juga menyatakan bahwa Islam telah menjadikan nasionalisme
Indonesia menjadi unik jika dibandingkan dengan nasionalisme di belahan
dunia lain. Islam pula yang menjadi simbol perlawanan pribumi terhadap
kolonialisme Belanda.
Karena itu, penggiringan opini untuk membenturkan Islam dengan
nasionalis adalah wacana tidak bermutu, rabun sejarah, dan Islamofobia.
Saat ini dalam kondisi kehidupan politik Indonesia sudah tidak ada lagi
dikotomi antara partai politik aliran nasionalis dan Islam. Koalisi yang
dibangun antar parpol saat ini lebih cair. Partai berideologi Islam
tanpa ragu merangkul partai-partai nasionalis seperti terlihat dalam
beberapa ajang pilkada, begitu juga sebaliknya.
”Tidak ada lagi pertentangan antara Islam dan nasionalis,” kata mantan
Wapres Jusuf Kalla yang juga masih keluarga Partai Golkar. Pun demikian
yang dikatakan Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDIP, almarhum Taufik
Kiemas, “Partai-partai nasionalis tak bisa dipisahkan dari umat Islam”.
Kalau sekarang PDIP punya Baitul Muslimin, Taufik menyatakan dahulu PNI
juga memiliki Jamiatul Muslimin. ”Seorang Pancasilais dijamin tidak akan
menjadi sekuler,” kata almarhum Taufik Kiemas.
Ketua Umum DPP PKB, Muhaimin Iskandar juga menyatakan bahwa cairnya
hubungan antara kalangan Islam dan nasionalis merupakan bentuk
kedewasaan berpolitik. ”Sekaranglah masa pematangan hubungan Islam dan
nasionalis," kata Menteri Transmigrasi dan Tenaga Kerja ini.
Sesuai Undang-Undang, semua parpol harus memperoleh perlakuan sama,
tidak ada pembedaan berdasarkan ideologi partai, baik untuk parpol Islam
maupun nasionalis. Saat ini bukan waktunya lagi mempertentangkan partai
berdasarkan asas Pancasila atau Islam. Platform parpol, sebenarnya
banyak yang bersinggungan, hanya ada penekanan tertentu, misalnya, di
bidang ekonomi, umat, dan lainnya. Tidak lagi ada dikotomi antara yang
membahayakan dan tidak membahayakan NKRI.
Jadi, tak perlu menjadi nasionalis munafik seperti menuding umat Islam
anti-Nasionalis atau pun sebaliknya. Padahal, nasionalis ditinjau dari
sudut mana pun lebih kompatibel (serasi/cocok) dengan Islam dibanding
dengan isme-isme yang lain, bahkan juga dari semua agama di Indonesia.
Jadi, tak perlu lagi lah menjadi nasionalis munafik! Adalah lebih tepat
mengenalkan istilah yang digunakan tokoh seperti Sjafii Maarif atau
Azyumardi Azra, yakni nasionalis Islam atau nasionalis sekuler.
ditulis di okezone: http://myzone.okezone.com/content/read/2014/04/01/12805/pengkotak-kotakkan-antara-nasionalis-dan-islam-sudah-ketinggalan-zaman