Kalau Harus Oposisi, Kami … Tidak Ada Masalah !
Sejarah Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga sekarang
berisi kisah menyedihkan tentang gerakan oposisi. Prasyarat sistemik maupun
kultural bagi gerakan oposisi sudah terbabat hampir habis oleh penguasa yang
tak mau diganggu gugat. Membangun oposisi di Indonesia ternyata merupakan
pekerjaan berat yang banyak menguras energi, dan tentu membutuhkan ketekunan
serta keuletan.
Kalau melihat perkembangan masyarakat sekarang
ini, rupanya kita masih dikuasai oleh kerangka berpikir ''priyayi absolut'',
yang wujudnya antara lain kalah menang harus ikut siapapun yang berkuasa baik itu di kabinet, jabatan atau pangkat tertentu dan lain sebaginya.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan sekalipun ide tentang oposisi sudah ditanamkan sejak beberapa tahun lalu, tetapi ketika momennya tiba kemudian tidak mendapat respon yang wajar. Apalagi dalam keadaan di mana ada kesejajaran antara jabatan dan kekayaan yang sangat mengkhawatirkan di negeri kita ini. Menjabat berarti menjadi kaya. Godaan menjabat itu menjadi gabungan antara godaan tahta dan harta.
Intinya, oposisi ada karena dalam kenyataan
politik ada yang berkuasa dan ada yang di luar kekuasaan. Nah, yang di luar
kekuasaan bertugas mengontrol, atau memberikan alternatif kebijakan kepada
mereka yang berkuasa, sehingga rakyat mempunyai pilihan-pilhan kebijakan. Dasar
filosofisnya oposisi adalah karena yang berkuasa adalah manusia bukan malaikat,
maka manusia harus dikontrol oleh manusia lainnya (ketika berkuasa).
Kenapa pula penguasa harus dikontrol? Sebab sebuah kekuasaan, sesuai pendapat Lord
Acton, akan cenderung merusak; cenderung untuk korup. Kalau kekuasaan itu
terlalu absolut, dia akan cenderung korup absolut juga. Karena itu, dia harus
dikontrol melalui parlemen. Makanya harus ada yang menjadi oposisi di parlemen.
Tapi parlemen pun harus dikontrol juga. Makanya beberapa negara menganut model
bikameral (dua kamar) dalam sebuah parleman; ada kamar atas dan ada kamar
bawah. Antara kamar atas dan kamar bawah saling mengontrol. Jadi tidak mesti
kedua belah pihak harus saling setuju.
Tidak ada pilihan lain bagi bangsa agar selamat menuju
demokrasi, kecuali harus mentradisikan oposisi, baik dalam pemerintahan,
parlemen maupun gerakan ekstraparlementer. Sejarah awalnya berjalan di jalur
yang tepat menuju pembentukan oposisi. Indonesia, tak lama setelah proklamasi
kemerdekaan, memasuki demokrasi liberal. Sistem multipartai dan eksperimentasi
demokrasi parlementer menghasilkan kultur politik yang demokratis. Kedua sistem
itu, sekalipun diinterupsi oleh heroisme revolusi fisik 1945-1949, tetap memberi
peluang adanya kompetisi politik dan sirkulasi kekuasaan.
Kehidupan politik ketika awal-awal Republik ini memang
ditandai perbedaan tajam antarkelompok. Namun, tidak ada tendensi peniadaan
oposisi maupun penindasan terhadap kaum oposan. Oposisi dirasa sebagai hal yang
wajar saja, bukan barang aneh atau istimewa, serta tidak dianggap sebagai
pengganjal bagi penguasa.
Ketika itu berbagai kekuatan politik siap mental menjadi
pemenang tetapi juga sekaligus pecundang yang baik. Toleransi lintas kelompok,
ideologi dan kepentingan merupakan perangkat kultural yang dibangun demokrasi
liberal. Sistem inilah yang membuat Pemilu 1955 berlangsung bersih, elegan.
Gerhana politik baru muncul tahun 1957. Presiden Soekarno
dan Angkatan Darat (AD) mulai agresif menjalankan strategi antipartai. Mereka
bersekutu untuk menyudahi eksperimen demokrasi liberal berbasis partai politik.
Periode 1957-1959 ditandai sistem kekuasaan berlanggam sentralistik. Soekarno,
dengan dalih 'revolusi belum usai', memberangus semua kekuatan yang dianggap
'kontra revolusi'. Perangkat kultural sistemik kaum oposan dihancurkan. Fase
ini, menurut Eep Saefullah Fatah menyitir Herbert Feith, ini adalah "The
decline of constitutional democracy".
Demokrasi Terpimpin merupakan periode musim kering
kehidupan oposisi. Karakter kekuasaannya yang eksklusif dan antipublik
menyebabkan setiap potensi oposisi mengalami kebinasaan. Tahun 1966 Bung Karno
jatuh. Tidak ada diskontinuitas ketika Angkatan Darat di bawah Soeharto mulai
berkuasa pada 1966. Yang terjadi hanyalah musim semi kebebasan amat pendek
(1966-1974). Indonesia lalu terperangkap rezimentasi Orde Baru yang mematikan
demokrasi dengan wacana oposisi loyal. Soeharto hanya memperbolehkan oposisi
yang loyal!
Kekuasaan Orde Baru yang sentralistik dan
personal-sebagaimana hukum besi otoritarianisme di mana pun- mengalami
sakralisasi. Dalam konteks operasi kekuasaan yang tidak bisa disalahkan itulah,
gerakan oposisi pada zaman Orde Baru yang telah 'meninggal dengan tenang'.
Dalam empat dekade terakhir Indonesia mengalami
pelumpuhan tradisi beroposisi. Memulai sesuatu yang lama absen tentu saja
menimbulkan kegamangan. Namun, membangun visi dan aksi oposisi yang solid tetap
merupakan kebutuhan mendesak.
Oposisi tidak perlu dipahami sebagai
sikap menentang (to oppose memang berarti menentang), sebab dalam oposisi
kita ada pula segi to support-nya, sehingga dalam konteks politik,
oposisi lebih merupakan kekuatan penyeimbang, suatu check and balance,
yang bisa membuat perasaan-perasaan tersumbat tersalurkan.
Beroposisi berarti melakukan pengawasan atas praktik
kekuasaan. Ketika kekuasaan melenceng, oposisi mengabarkan kekeliruan itu,
seraya membangun perlawanan. Ketika kekuasaan menjalankan fungsinya secara
benar, oposisi menggarisbawahinya, seraya membangun kesadaran publik untuk
meminta kelanjutan dan konsistensi.
Oposisi membangun model partisipasi politik bertumpu pada
keadilan. Oposisi adalah kegiatan menyerukan kebenaran dan melawan kemunkaran (amar
ma'ruf nahi munkar). Beroposisi itu penting dan harus dilakukan demi
lurusnya jalannya penyelenggaraan negara.
Dengan demikian tepat sekali, yang kita
maksudkan dengan oposisi bukanlah oposisi seperti dalam masyarakat atau negara
yang menganut sistem parlementer, yang agaknya obsesi partai oposisi di situ
adalah menjatuhkan pemerintah.
Lalu apa peran oposisi itu dalam kaitan
dengan kemungkinan menyudahi suatu pemerintahan? Yang paling dramatis adalah
jika sampai terjadi impeachment, tetapi yang normal adalah memastikan
bahwa dalam periode yang akan datang suatu pemerintahan yang tidak kredibel
tidaklah perlu dipilih lagi.
Dengan
adanya kelembagaan oposisi, akan ada pendewasaan politik dan percepatan proses
demokratisasi. Bisa saja kita secara optimistis membiarkan proses itu
berlangsung secara alami. Tetapi, sesuatu yang dibiarkan menurut proses alam,
biasanya tidak terkontrol, karena itulah harus ada deliberation,
kesengajaan, tidak boleh by accident, atau secara kebetulan. Dan melihat
visi perkembangan politik Indonesia di masa depan, menjadi oposisi adalah suatu
pekerjaan yang sangat terhormat.
Terilhami
dari Judul Buku: Membangun Oposisi: Agenda-agenda Perubahan Politik
Masa Depan; Penulis: Eep Saefulloh Fatah; Penerbit: Rosda Bandung, 1999.