Hasil Survei Hari Ini, Bukan Kenyataan Esok Hari

BELAJAR dari hasil survei di Pilkada Jakarta 2012 yang lalu, di mana hampir semua hasil prediksi lembaga survei meleset, kenyataan itu membenamkan hasil semua lembaga survei.

Di sana terpampang nama – nama besar lembaga survei, seperti Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Jaringan Suara Indonesia (JSI), Lembaga Survei Indonesia (LSI), Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), MNC Riset, dan Prisma, semuanya saat itu mengunggulkan incumbent. Namun hasil nyata di lapangan incumbent kalah.  Begitu juga saat Pilkada Jabar pertama, yang dimenangkan Ahmad Heryawan.

Mengapa survei dan hasil nyata jauh berbeda?
Inilah anomali prediksi dari lembaga survei. Anomali itu terjadi karena warga mengubah pilihan di detik – detik terakhir.  Saat survei mereka pilih partai O, saat coblos mereka memilih partai P.

Mengapa berubah? Ada faktor psikologis di mana saat disurvei, warga cenderung tertutup, mereka main aman saja. Selisih yang mencolok antara survei dengan pemilihan nyata di lapangan, juga bisa disebabkan oleh dinamika pemilih akibat gencarnya kampanye. Terjadi perubahan opini di masyarakat menit demi menit, khususnya di media sosial pada hari – hari terakhir jelang pencoblosan.

Lembaga survei kadang terlalu diburu nafsu untuk memprediksikan siapa pemenang Pemilu, sehingga sering mengabaikan temuan-temuannya sendiri.

Dalam survei selalu ditemukan adanya pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided vooters) atau pemilih yang akan mengubah-ubah dukungannya (swinging vooters). Tetapi lembaga survei kadang mengabaikan temuan ini dan tidak menyampaikan analisisnya kepada publik.

Perbedaan hasil tersebut merupakan peringatan bagi semua lembaga survei agar tidak main-main dengan kerja riset demi memenuhi kepentingan politik kliennya. Karena hal itu, publik justru menjadi tidak percaya terhadap kredibilitas lembaga survei. Apalagi kalau mereka segitunya membela diri bahwa terjadinya error dalam survei dan lain – lain.

Apa pun argumentasi lembaga survei terhadap proses risetnya, publik sudah tidak lagi percaya. Apalagi, masyarakat sudah menyadari bahwa lembaga survei bekerja untuk kepentingan politik sponsor.

Ketika sebuah lembaga survei mencoba melakukan survei popularitas sebuah partai politik, pada saat yang sama lembaga survei itu juga mau bertindak sebagai “konsultan politik” yang menjagokan dan mendukung partai politik tertentu.

Apakah ada lembaga survei yang betul-betul independen? Secara jujur sebetulnya tidak ada lembaga survei yang 100 persen independen.

Mengapa? Karena survei itu mahal, butuh ratusan juta bahkan milyaran rupiah untuk sebuah survei. Yang membayar untuk melakukan survei yang mahal itu adalah klien tertentu, yang punya dana kuat dan tentu juga punya kepentingan sendiri.

Meski demikian, lembaga survei tetap bisa bersikap etis pada publik, dengan cara menjalankan order survei itu secara profesional dan tidak merekayasa. Hal itu dimungkinkan, jika lembaga ini secara tegas tidak mau merangkap kerja menjadi “konsultan politik” untuk memenangkan kandidat tertentu.

Dalam rangka pelayanan ABS (asal bapak senang) terhadap kliennya, lembaga survei semacam ini bersedia memoles hasil surveinya, dan dengan demikian telah melakukan penipuan pada publik. Hal ini karena hasil survei yang penuh rekayasa itu dipublikasikan ke media, bahkan mereka berani melakukan konferensi pers segala dengan mengundang para wartawan.

Dengan adanya lembaga-lembaga survei yang tidak peduli pada etika seperti ini, tidaklah mengherankan jika kemudian muncul berbagai prediksi yang sangat kontras dari lembaga-lembaga survei tersebut. Perbedaan angka hasil survei itu bisa sangat tinggi, bisa mencapai 20 persen! Lembaga survei A yang memiliki klien kandidat B, menempatkan posisi B di posisi paling populer.

Lembaga X, yang memiliki klien kandidat Y, justru menempatkan posisi Y sebagai yang paling populer.

Padahal, jika kedua lembaga itu melakujkan survei dengan metodologi yang sama, dengan sampling yang betul-betul representatif, seharusnya hasil akhirnya tidak akan jauh berbeda. Kalau angkanya cuma berbeda 2-3 persen, itu wajar. Tetapi, jika perbedaannya sampai 20 persen, pasti ada di antara lembaga survei itu yang betul-betul penipu!

Sayangnya, banyak media tidak begitu waspada terhadap praktik penipuan semacam ini. Mereka mentah-mentah memuat atau menayangkan hasil jajak pendapat, dari lembaga survei yang bukan saja tidak kredibel, tetapi bahkan fiktif. Ada juga lembaga yang tidak  pernah melakukan survei, namun mereka mempublikasikan angka-angka urutan popularitas sejumlah kandidat tertentu, yang seolah-olah diperoleh dari hasil kegiatan survei yang serius.

Pertanyaannya, bagaimana cara mereka memperoleh angka-angka itu, supaya terkesan meyakinkan? Mereka mencontek angka-angka hasil survei dari lembaga survei lain, yang telah melakukan survei secara serius. Ini sangat mudah dilakukan, karena hasil survei itu sudah dipublikasikan secara terbuka di media. Nah, kemudian, supaya tidak kentara, angka-angka itu diubah sedikit, dinaikkan satu atau dua persen, atau sebaliknya dikurangi satu atau dua persen. Lihay sekali, bukan?

Pertanyaan kedua, lembaga-lembaga survei mana saja sih, yang tega melakukan praktik-praktik kotor dan penipuan publik semacam itu? Jawabannya, amati saja hasil prediksi dari bebagai lembaga survei itu di media. Jika hasil surveinya ternyata melenceng jauh dari hasil pemilu atau Pilkada (misalnya, kandidat yang diberi angka popularitas tertinggi ternyata justru kalah dengan nilai paling bawah), patut diduga lembaga survei itu bukan lembaga survei yang kredibel.

Lembaga semacam itu tidak layak dipercaya. Jangan diberi tempat di media, dan biarkan mereka mati sendiri. Media tidak perlu memberi tempat terhormat bagi para penipu publik ini, meski para penipu ini mungkin bergelar Doktor, PhD, atau MSc, dari universitas bergengsi di luar negeri.

Sumber : http://www.hidayatullah.com/redaksi/surat-pembaca/read/2014/03/21/18563/anomali-lembaga-survey.html#.U05a4lcr2vI