Minimarket di Jakarta Tersebar Bebas
Keberadaan minimarket di Jakarta semakin hari kian
bertambah banyak, bahkan bisa dikatakan menjamur. Menurut Litbang
Kompas (2/1-2012), minimarket di Jakarta ada 1.868 buah (meningkat 5%
dalam 3 tahun terakhir), sementara itu Pasar Tradisional hanya 153 buah. Ada
fakta lagi yang lebih memprihatinkan, data KADlN mencatat ada 2.165
minimarket di Jakarta. Ironisnya, perkembangan minimarket sekarang ini kelihatan
seperti tidak lagi dapat dibendung. Kita dapat menjumpainya
dimana saja, mulai dari sekitar tempat tinggal kita, dari pusat kota, hingga
kepelosok kampung, dari jalan protokol hingga jalan komplek dan kampung.
Perkembangan dan pertumbuhan minimarket saat ini sudah
sangat mengkhawatirkan pedagang kecil. Menjamurnya minimarket di Jakarta akan
membunuh eksistensi pasar tradisional dan pedagang kecil di sekitar minimarket.
Selain
mengalami penurunan omzet, banyak pedagang atau warung tradisional harus gulung
tikar. Kekhawatiran
ini bukan tanpa alasan, sebab sebagaimana diberitakan Asosiasi Pedagang Seluruh Indonesia (APSI) bahwa ada belasan ribu
warung tradisional di Jakarta yang sudah tutup hingga awal tahun 2012. Mereka selama ini yang menjual barang-barang yang juga dijual di minimarket
dan berdekatan dengan minimarket. Warung yang total tutup di Jakarta sudah
lebih dari 10 ribu. Keberadaan minimarket membuat toko
kecil banyak kehilangan pelanggannya. Keterbatasan yang dimiliki toko kecil,
tidak memungkinkan untuk bisa bersaing
dengan minimarket modern.
Kita bukan anti keberadaan minimarket, namun perlu ada
penataan zonasi yang ketat oleh pemrov Jakarta. Keberadaan
toko kecil kini mulai terkepung oleh minimarket. Jaraknya sangat dekat,
bahkan ada yang bersebelahan yang berjarak beberapa meter saja. Belum adanya penegakan peraturan daerah (Perda) yang jelas dari Pemprov Jakarta mengenai tata letak atau lokasi minimarket menjadikan toko klontong atau warung kalah
bersaing hingga terancam gulung tikar. Selama ini di lapangan banyak minimarket yang
berdiri saling berdekatan bahkan saling menjatuhkan diantara mereka. Saat ini DKI Jakarta punya tiga perda
pengaturan tentang pasar, ketiga perda tersebut adalah Perda Nomor 2/2002
tentang perpasaran swasta, Perda Nomor 2/2009 tentang PD Pasar Jaya, dan Perda
Nomor 3/2009 tentang Pengelolaan Area Pasar. DKI Jakarta juga mempunyai Instruksi
Gubernur Nomor 7 tahun 2012 tentang penataan dan penertiban minimarket dan 7-
Eleven di DKI Jakarta. Peraturan – peraturan tersebut terbukti banyak dilanggar
oleh para pelaku usaha minimarket di Jakarta. Mulai dari jarak antara toko
modern dan warung kecil milik warga, maupun jarak antar minimarket. Dalam Perda
telah diatur bahwa jarak antara minimarket dengan minimarket yang lain minimal
500 meter, sedangkan jarak antara minimarket dan warung warga minimal 250
meter. Namun pada kenyataannya banyak terjadi pelanggaran selama bertahun-tahun
tanpa ada sanksi tegas dari Pemprov. Dari data 2011 tentang populasi minimarket di
DKI Jakarta yang sudah mencapai 2.162 gerai. Dari jumlah itu sebanyak 1.383
tidak memiliki izin lengkap, 712 sama sekali tidak berizin, dan hanya 67 yang
memiliki izin lengkap.
Setelah soal minimarket ilegal yang banyak berdiri di
lima wilayah Jakarta, kini muncul lagi permasalahan yang berkaitan dengan pasar
modern yang mengatasnamakan Seven Eleven. Kegiatan usaha yang berjenis kafe dan
minimarket itu tidak memiliki kepastian perizinannya. Sebab antara kafe dan
minimarket merupakan jenis usaha yang berbeda. Sejauh ini, izin usaha Seven
Eleven yang dikeluarkan oleh Dinas Pariwisata DKI adalah sebagai usaha kategori
kafe. Namun kenyataannya justru menjalankan usaha minimarket. Seperti tidak ada
kepastian usaha, dan ini jelas sarat dengan pelanggaran aturan. Operasional
Seven Eleven yang berjalan selama 24 jam, itu juga menambah beban bagi usaha
kecil. Sudah minimarket masuk pemukiman, masuk lagi Seven Eleven yang juga
beroperasi 24 jam tanpa henti. Ini sama saja menghancurkan usaha kecil
masyarakat. Di tengah-tengah kisruh persoalan izin minimarket melanggar aturan
yang belum tuntas, Seven Eleven kini justru semakin menjamur. Jumlah gerainya
kini, mungkin sudah lebih dari 118 gerai di seantero Jakarta.
Seharusnya, Pemprov DKI bisa bersikap tegas terhadap
keberadaan usaha yang mematikan usaha kecil. Karena ini sangat bertolak
belakangan dengan semangat pemberdayaan usaha kecil dan menengah (UKM). Kalau
seperti ini dimana sisi pembangkitan perekonomian rakyat nya? Yang ada justru
mematikan usaha kecil secara perlahan.
Dominasi minimarket yang terkesan
memonopoli membuat kaum pedagang bermodal pas-pasan kian merana. Ada sebuah
jurang pemisah yang lebar antara kaum bermodal yang semakin kaya dengan
pedagang kecil yang semakin terjepit. Kehadiran minimarket
hanya mengagumkan dari sudut pandang kapitalisme, namum menjengkelkan bagi
pengusaha kecil. Minimarket telah melemahkan pengusaha-pengusaha kecil dengan
modal pas-pasan apalagi tanpa bantuan usaha dari lembaga kredit usaha.
Bayangkan, 1 mall mematikan sekitar 100 pedagang, dan 1
minimarket mematikan sekitar 20 pedagang warung / toko kelontong. Kematian 20
warung di sekitar minimarket, berarti jumlah jiwa anggota keluarga yang
kehilangan sumber pendapatan lebih besar dibandingkan daya tampung satu
minimarket. Sementara yg menikmati profit yang luar biasa itu hanya segelintir
pemodal. Kebanyakan franchise minimarket itu milik konglomerat. Dengan matinya
usaha – usaha kecil maka makin melebarkan gap, yang kaya makin kaya, yang
miskin makin miskin dan terkubur.
Sehingga menjamurnya
minimarket sepertinya sudah tidak sesuai dengan sistem ekonomi
kerakyatan yang berazaskan Pancasila sebagaimana diatur dalam
pasal 33 ayat 4 UUD 1945 yang berbunyi “Perekonomian nasional diselenggarakan
berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Kemudian juga tidak sejiwa dengan UU No 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian, UU No 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, dan UU No 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pejabat
pemrov semestinya mengkaji dan memahami UU No. 26 Tahun 2007 tentang tata ruang
sehingga harus ada perda tata ruang dulu baru dikaitkan dengan perizinan.
Lantas bagaimana solusinya? Jelas kurang bijak apabila ada pemikiran untuk memblokir perkembangan
minimarket, namun pasar bukanlah rimba, siapa kuat dia berkuasa. Pemerintah Provinsi, harus mempertimbangkan dengan serius dampaknya bagi
usaha kecil, mengontrol jumlah dan lokasi minimarket. Karena kalau dibiarkan
saja, bukan tidak mungkin hal ini akan menjadi “bola salju” yang mengelinding
semangkin besar yang siap membekukan perekonomian rakyat kecil dan menimbulkan
gejolak sosial. Campur tangan Pemerintah dalam hal
ini Pemprov
Jakarta sangat berpengaruh untuk masa depan
toko-toko kecil. Karena tanpa adanya izin dari pihak Pemerintah, tidak
akan banyak bermunculan minimarket. Perlu adanya batasan kuota dan pengaturan
tata letak agar terciptanya persaingan yang sehat dan berimbang antara kedai
dengan minimarket. Perlu ditekankan Indonesia
bukanlah negara dengan sistem Kapitalisme, tapi kenapa dalam kenyataan negara
ini lebih kapitalis dari pada negara kapitalis?
Sekali lagi, ketegasan Pemprov Jakarta sangat dibutuhkan
untuk membatasi dan menjalankan Perda yang telah menjadi keputusan bersama
sebagai pedoman dalam pemberian ijin minimarket. Selain itu, Pemprov seharusnya
juga melakukan langkah kongkrit untuk menyelamatkan pasar tradisional dan
pelaku usaha kecil dalam menghadapi ekspansi minimarket dan pasar modern di
Jakarta.
Pertama, Revitalisasi pasar-pasar tradisional di Jakarta merupakan salah satu upaya yang harus dilakukan pemprov Jakarta untuk menciptakan pasar yang bersih, nyaman, higienis, aman dan terjangkau. Kondisi pasar-pasar tradisional di daerah-daerah yang kumuh dan tak terawat menjadi salah satu masalah yang tak pernah serius ditangani oleh Pemprov Jakarta. Kondisi jalan sebagai infrastruktur utama menuju pasar juga harus dibenahi. Kondisi pasar yang bersih, aman dan nyaman diharapkan akan mampu menarik masyarakat kembali berbelanja di pasar tradisional.
Kedua, memberikan pendidikan kepada pedagang pasar tradisional dan pedagang kecil secara bertahap. Tingkat pendidikan pedagang pasar tradisional dan pedagang toko kecil yang relatif rendah menyulitkan mereka untuk bisa bersaing dengan minimarket. Baik secara kreativitas dan inovasi yang mereka ciptakan. Kesadaran tentang kebersihan, keamanan dan kenyamanan yang dimiliki para pedagang pasar tradisional relatif kurang. Inilah yang menjadi tanggung jawab Pemprov Jakarta, tidak hanya membangun infrastruktur yang memadai, namun juga harus membangun SDM pedagang yang berkualitas pula.
Ketiga, mempermudah kredit usaha dengan bunga ringan juga
mutlak dibutuhkan bagi pedagang dan pelaku usaha kecil untuk mengembangkan
usahanya.
Mungkin pemprov DKI Jakarta, bisa mencontoh kebijakan seperti yang dilakukan Pemerintah Daerah Sragen dan Bantul. Pemda Sragen dan Bantul hanya memperbolehkan 1-2 minimarket di satu kecamatan. Dengan kuota tersebut, omzet pedagang pasar tradisional yang terus tergerus seiring dengan maraknya pertumbuhan minimarket bisa teratasi. Harus diingat bahwa sekitar 20% angkatan kerja di dalam negeri disumbang oleh sektor perdagangan, terutama dari aktivitas di pasar tradisional.
Belum lagi masalah banyaknya minimarket yang menjamur
kemudian minimarket yang tidak berijin, kini mucul juga masalah yaitu tentang
penjualan miras di minimarket. Ini berawal dari Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri) yang memberikan wewenang kepala daerah dalam melaksanakan
Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang peredaran dan pengawasan minuman
keras (miras). Dalam perpres tersebut, miras dengan kadar tertentu
diperbolehkan masuk ke minimarket. Namun, bila budaya suatu daerah dinilai
tidak bisa menerima diperjualbelikannya minuman itu secara bebas, maka perda
harus merinci syarat terbitnya izin lokasi perdagangan, jadi bolanya ada di
pemda atau pemprov. Masalahnya dalam aturan kepres tersebut aturannya dibuat
mengambang, di sana tidak memungkinkan suatu daerah melegalkan secara bebas,
tetapi juga tidak bisa membatasi mutlak masuknya miras.
Seharusnya yang keluar bukanlah peraturan tentang
diperbolehkannya miras dijual di minimarket tetapi pemprov mewajibankan minimarket
untuk menjual produk – produk hasil UMKM bukan miras yang merupakan barang
impor. Saat ini masih sedikit minimarket di Jakarta yang menyediakan dan
menjual barang hasil produksi UMKM.
Selain itu, masalah keamanan lingkungan minimarket juga
penting, ini berkaitan dengan minimarket yang buka sampai 24 jam. Data Maret
2013, dalam kurun waktu tiga hari, ada lima minimarket yang ada di wilayah
Jakarta dan sekitarnya dirampok oleh sejumlah orang. Terdapat persamaan waktu dari kelima
perampokan itu, yakni perampokan tersebut terjadi sekitar pukul 22.00 hingga
05.30 WIB.
Oleh karenanya saat ini ijin pendirian minimarket
harusnya tidak dipermudah, untuk mengeluarkan ijin pendirian minimarket
diharuskan lolos kajian sosial dan ekonomi pendirian minimarket. Tidak saja
butuh analisa dari Dinas Perdagangan dan Perindustrian, tapi justru melibatkan
beberapa SKPD lainnya. Ini menyangkut masalah lokasi, gangguan bahkan sampai
masalah lalu lintas pada lokasi yang akan didirikan minimarket tersebut.