Bagaimana Kualitas Pelayanan Transjakarta?
Selama hampir sembilan sampai
sepuluh tahun sejak transjakarta diperkenalkan di Jakarta. Pada saat
diperkenalkannya, transjakarta betul – betul diharapkan akan menjadi sistem baru yang dapat
mengurangi kemacetan Jakarta yang semakin parah setiap tahunnya. Transjakarta
diharapkan menjadi seperti sebuah lampu yang menerangi “neraka lalu lintas”
Jakarta.
Seiring berjalannya waktu, kepraktisan
transjakarta kini sudah menjadi sebuah pertanyaan. Pada waktu pagi dan sore naik dari terminal pemberangkatan luar biasa
susah, jumlah penumpangnya sangat banyak.
Seharusnya pada saat – saat itu lebih banyak bus yang dioperasikan dengan interval pendek,
tetapi rupanya itu tidak terjadi. Bukan hanya pagi dan sore saja, di siang hari
pun jumlah bus yang beroperasi dirasakan masih kurang.
Kita kadang harus menunggu bus
transjakarta 10 menit, 20 menit atau lebih, tetapi bus tidak datang juga.
Begitu datang bus sudah penuh sekali sehingga tidak mungkin bisa naik, kalaupun
15 menit kemudian bus lain datang lagi tetapi padatnya pun sama. Pas kadang
kita kebelet ingin kebelakang, toilet umum pun kadang tidak tersedia, padahal
ini vital di fasilitas umum seperti halte transjakarta. Ada kalanya
transjakarta praktis, tetapi dari segi kualitas pelayanannya masih banyak yang
perlu diperbaiki.
Dengan membuat jalur khusus dengan mempersempit
jalan dan juga sudah disterilkan seharusnya bisa dioperasikan bus lebih sering
atau lebih banyak. Kalau tidak begitu jalur busway hanya menjadi pemborosan
jalan sekaligus mengganggu kendaraan lain saja.
Mengubah atau meningkatkan status Transjakarta sehingga
mampu mengelola 1000 bus baru yang akan didatangkan, seharusnya tidak
membutuhkan waktu lama. Diperkirakan pelaksanaan pembahasan hingga pengesahan hanya
memakan waktu satu bulan. Masyarakat
sudah menanti-nanti keberadaan bus – bus baru itu, seharusnya di akhir tahun
2013 kemarin sudah bisa dirasakan manfaatnya.
Bila pengadaan 1000 bus baru yang akan dibeli
dengan anggaran sebesar Rp 500 miliar itu harus menunggu pengambilalihan PPD, maka
bisa berdampak keterlambatan dalam penyerapan anggaran. Bila persoalan BUMD
yang mengelola ribuan bus telah selesai, maka Pemprov DKI Jakarta tetap bisa
mengurus pengambilan PPD tanpa harus terburu-buru.
Di samping itu, pengelolaan tiket transjakarta
juga masih manual. Dalam satu hari, uang tiket tiap halte bisa mencapai Rp 1
miliar. Uang tunai tersebut kemudian diambil oleh karyawan Bank DKI.
Pengelolaan manual ini sangat mungkin rawan penyalahgunaan. Pemprov DKI Jakarta
dan DPRD DKI Jakarta telah mengesahkan peraturan daerah pembentukan PT
Transjakarta pada akhir 2013. Seharusnya langkah ini dilakukan untuk
mempercepat pelayanan yang profesional bagi penumpang.
Minimnya sarana atau fasilitas penunjang untuk kaum
difabel (different ability people) di dalam halte maupun dalam bus
Transjakarta juga banyak dikeluhkan. Salah satu contohnya adalah penggunaan
tangga yang masih banyak. Selain itu petugas
juga kadang kurang bersahabat dengan penyandang difabel. Tanpa adanya fasilitas
khusus, para penyandang disabilitas sangat kesulitan untuk melakukan aktivitas
di jalanan.
Pengelola TransJakarta juga agar
lebih memperhatikan perawatan unit bus yang mereka operasikan. TransJakarta
harus mengontrol lebih detail lagi, kejadian transjakarta yang copot rodanya
dan juga beberapa bus transjakarta yang mengalami kebakaran harusnya jadi
pelajaran ke depannya.
Lingkungan bus transjakarta ternyata juga sering tidak
aman bagi kaum hawa. Buktinya, banyak penumpang perempuan yang masih saja mengalami
pelecehan seksual di dalam maupun di luar bus. Bahkan beberapa kasus pelecehan seksual, ada pelakunya yang melibatkan
petugas transjakarta sendiri. Bagaimana kabar pemisahan penumpang laki-laki dan
perempuan di atas bus?
disarikan dari beberapa sumber