Jangan Biarkan Jakarta Mengalami Déjà Vu Ekologis
Jakarta makin padat, makin miskin ruang terbuka hijau (RTH).
Padahal RTH sangat penting untuk medukung kegiatan sosial, ekonomi, dan
kebudayaan warga DKI Jakarta. Selain menjadi tempat yang nyaman bagi interaksi
sosial warga, RTH juga mampu mengurangi persoalan polusi serta banjir.
Jakarta sebaiknya jangan hanya dibangun berdasarkan motivasi
bisnis dan keuntungan semata. Pemerintah daerah jangan hanya berpihak kepada
pihak – pihak yang mencari keuntungan saja tanpa memperhatikan masa depan
Jakarta.
Beberapa kali kita jumpai, penutupan lahan jalan dan ruang
terbuka dilakukan secara sembarangan, sehingga pori – pori tanah pun berkurang.
Jakarta adalah salah satu kota yang berada pada peringkat teratas di antara 11
kota besar Asia yang rawan terkena dampak perubahan iklim.
RTH sebagai penyeimbang ekosistem kota, baik itu system hidrologi,
klimatologi, keaneragaman hayati, maupun system ekologi lainnya, bertujuan
meningkatkan kualitas lingkungan hidup, estetika kota, kesehatan, dan
kesejahteraan masyarakat.
Ada banyak peraturan perundang – undangan yang mendukung
tersedianya RTH ini, diantaranya UU No. 32/2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, UU No.24/2007 tentang penanggulangan bencana , UU No. 26/2007 tentang penataan ruang, UU
No 7/2004 tentang pengelolaan sumber daya air, serta UU No. 28/2002 tentang
bangunan gedung.
Dalam UU No.24/2007
disebutkan bahwa ruang evakuasi bencana merupakan bagian dari RTH kota.
Kemudian dalam UU NO.26/2007 juga
disebutkan bahwa penataan ruang kota disyaratkan memiliki RTH minimal 30 persen
dari total luas kota secara keseluruhan.
Banyak hal yang masih kadang menjadi alasan untuk menunda
sebuah kota mempunyai RTH 30 persen, diantaranya adalah keterbatasan lahan,
dana yang tersedia, dan mahalnya harga tanah. Padahal kalau Pemerintah daerah
kreatif, lahan – lahan yang selama ini terlantar dapat disulap menjadi taman
dan jalur hijau sebagai daerah resapan air dan paru – paru kota. Pemda harus
membuang cara berpikir “pesimis defensive” dengan berbagai alasannya di atas,
tetapi sebaliknya Pemda harus berpikir “optimis progresif” dalam mencapai RTH
30 persen.
Saat warga sudah trauma dengan banjir seperti sekarang ini, saat banyak
orang sudah mengungsi serta korban harta dan juga nyawa yang tidak sedikit, RTH kembali dirindukan.
Pemerintah pun obral janji lagi untuk membenahi lingkungan. Padahal sebenarnya
tidak ada hal baru dalam permasalahan dan pembenahan kota kita. Yang kita rasakan saat ini, pemerintah daerah
tidak banyak melakukan terobosan cerdas dan kreatif dalam membenahi lingkungan
dan juga RTH. Tampaknya warga harus selalu siap mengalami déjà vu bencana
ekologis lagi tahun depan, bersiaplah. Sederet berita yang kita saksikan hari
ini harusnya menyadarkan kita bahwa Jakarta tengah menuju bunuh diri ekologis
dan bunuh diri perkotaan.
Pada musim hujan seperti sekarang ini, banyak terjadi genangan
dimana – mana dengan area yang juga semakin meluas. Ini adalah akibat RTH yang sudah semakin sempit dan terus diabaikan. Mungkin kita perlu
sedikit mencontek Curitiba di Brasil yang mana disana busway nya sukses dan RTH
nya juga sukses.
dikompilasi dari beberapa sumber.