Anggaran Taman Margasatwa Ragunan Sudah Besar, Harusnya Tiket Tidak Usah Dinaikan


Kebun Binatang di Jakarta pertama kali didirikan pada tahun 1864 dengan nama Planten En Dierentuin, Kebun Binatang tersebut terletak di pusat kota Jakarta yaitu di tempat pusat kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki Cikini. Dengan lahan sebesar 10 Ha milik pelukis Raden Saleh, Kebun Binatang ini dikelola oleh Perhimpunan Penyayang Flora dan Fauna di Jakarta (Culturule Vereniging Planten en Direntuin at Batavia). Selepas revolusi tahun 1949 Kebun Binatang ini diganti namanya menjadi Kebun Binatang Cikini.

Pada perayaan se-abad kelahiran Jakarta, di tahun 1964. pemerintah DKI Jakarta memindahkannya pada areal yang lebih luas dengan bentang alam yang lebih menarik yaitu di wilayah Ragunan Jakarta Selatan, maka pada 22 Juni 1966 diresmikanlah dengan dibukanya Taman Margasatwa Jakarta atau lebih dikenal dengan Kebun Binatang Ragunan. Taman Margasatwa Ragunan (TMR) berdiri diatas lahan seluas 147 Ha. Taman Margasatwa Ragunan dihuni oleh lebih dari 295 jenis satwa, termasuk satwa yang langka dan terancam punah yang berasal dari Indonesia maupun yang berasal dari sebagian dunia. Jumlah keseluruhannya adalah lebih dari 3000 ekor satwa. Taman Margasatwa Ragunan juga penuh di tumbuhi oleh sekitar 50 ribu pohon.

Menurut Inspektorat Provinsi DKI Jakarta, pada tahun anggaran 2012, Kebun Binatang Ragunan menerima kucuran anggaran dari APBD sebesar Rp 56,2 miliar. Anggaran itu untuk gaji pegawai Rp 122 juta, belanja barang dan jasa Rp 37,44 miliar, serta belanja modal Rp 18,66 miliar. Anggaran untuk pakan satwa terdapat pada alokasi belanja barang dan jasa sebesar Rp 10,5 miliar. Anggaran pakan yang terserap Rp 9,2 miliar. Dana itu, antara lain, digunakan untuk daging dan binatang hidup Rp 3,81 miliar, sayur dan buah-buahan Rp 3,88 miliar, serta pakan kering dan tambahan pakan lain sebesar Rp 1,53 miliar.

Anggaran yang besar itu seharusnya bisa membuat satwa di Kebun Binatang Ragunan lebih sejahtera, dan bisa menjadikan Kebun Binatang Ragunan sejajar dengan kebun binatang di dunia.   Tetapi ternyata yang kita lihat dan ketahui jauh sekali dari hal tersebut.

Kematian Binatang
Kebun Binatang Ragunan yang memiliki koleksi 3.000 ekor satwa ternyata diketahui bahwa sepanjang 2013 sebanyak 36 binatang langka koleksi di sana mati. Binatang yang mati pada 2013 yakni harimau (1 ekor), orangutan yang mati kelilit tali ayunan (1), rusa (1), kuda nil yang disinyalir kurang gizi (3), zebra dari Hongaria (1), kera kecil dari Hongaria (1), dara mahkota dari Papua (10), jerapah yang juga disinyalir kurang gizi (1), anak burung elang bondol hilang dicuri di kandang (2). Kanguru yang dimakan anjing liar (14). Banyaknya fakta yang menunjukan hewan mati di atas, ini membuat kita miris. Seharusnya dengan anggaran yang besar itu, binatang - binatang di sana bisa dirawat dengan baik.

Kebun Binatang Ragunan yang berdiri di atas lahan seluas 120 hektar itu seharusnya dapat menampung dan merawat hewan-hewan lebih banyak. Namun faktanya,  justru satwa menjadi tidak terawat dan keberadaan Kebun Binatang Ragunan kalah dibanding Taman Safari dan Kebun Binatang yang berada di Asia Tenggara.  Sampai kini, kita tidak melihat  adanya peningkatan fasilitas bagi hewan-hewan di Kebun Binatang Ragunan, khususnya terkait sistem perawatan satwa mulai dari peningkatan kandang dan pakan hewan.

Penjualan Hewan 

Info yang ada, terjadi penjualan hewan langka milik Ragunan yang masih hidup dan yang sudah mati, ini sebaiknya segera distop. Di Kebun Binatang Ragunan juga sering terjadi praktek jual beli binatang, kabarnya jual beli ilegal ini telah berlangsung bertahun-tahun.  Ada beberapa berita juga menyebutkan  bahwa salah Kebun Binatang Ragunan menyuplai beberapa hewa ke sirkus - sirkus ternama.  Kebun Binatang Ragunan juga kerap memberi ijin pengelola sirkus dan beberapa oknum yang memiliki uang untuk memelihara hewan langka seperti harimau Sumatera.

Kabar terakhir adalah ada hewan langka milik Taman Margasatwa Ragunan (TMR) seperti harimau, macan dan beruang madu yang dijual di Pasar Pramuka, Jakarta Timur.  Padahal hewan - hewan tersebut adalah binatang yang dilindungi oleh UU. Bahkan hewan langka yang telah mati pun dilarang untuk diperjualbelikan. Aturan tersebut tertuang dalam Lampiran PP No 7 Tahun 1999, serta ada juga ketentuan dalam UU No 5 Tahun 1990, dimana disebutkan bahwa memperdagangkan satwa langka mati itu dilarang.

Manajemen Yang Kurang Baik

 Manajemen Kebun Binatang Ragunan juga harus dibenahi, masih banyak kasus di sana, seperti kasus pembobolan brankas dan hilangnya uang miliaran rupiah oleh orang dalam, kasus pungutan liar (pungli), kasus pengaturan lelang proyek, lahan yang dijual, penyalahgunaan uang toilet dan masih banyak lagi.

Oleh karenanya sebelum Pemda DKI menggelontorkan dana APBD 2014 sebesar 252 miliar rupiah  untuk Kebun Binatang Ragunan, seharusnya jajaran manajemen TMR harus dibenahi dulu. Hal ini harus dilakukan agar kebun binatang terbesar di Asia Tenggara ini bisa dikelola dengan baik dan profesional. Harus ada audit keuangan, audit lahan, inventarisir aset termasuk jumlah binatang – binatang yang dikandangkan di sana dan lainnya. Dengan jumlah pengunjung yang naik setiap tahunnya, rata-rata 4 juta orang, maka harusnya operasional di Kebun Binatang Ragunan bisa menjadi yang terbaik.

Dan sebaiknya wacana untuk menswastanisasi atau memprivatisasi TMR ini sebaiknya dihentikan saja. TMR adalah Badan Layan umum yang harus terjangkau semua kalangan,  oleh karenanya TMR sebaiknya jangan diserahkan ke swasta. Seperti isu yang santer terdengar bahwa  TMR akan diserahkan pengelolannya di bawah Taman Safari. Jika dikelola swasta, maka akan ada fungsi yang  bergeser dari rumah hewan  (konservasi) menjadi tempat hiburan. Akibatnya  hewan akan stres karena fisiknya digenjot untuk memuaskan pengunjung.

Antar  internal TMR sendiri juga kadang masih belum akur, seperti  pihak manajemen yang masih belum seiring sejalan dengan para animal keeper. Pihak manajemen di level manajer dan direktur selalu punya rencana sendiri tanpa mengindahkan rekomendasi dan usulan dari animal keeper. 

Belum lagi isu kasus suap yang pernah terjadi  antara Taman Margasatwa Ragunan dengan anggota DPRD Jakarta dalam hal markup proyek pembangunan. Kebun binatang Ragunan diberitakan terlibat aksi penggelembungan dana berbagai proyek pembangunan.  Pengelolanya juga dituduh berupaya menyogok DPRD sebesar Rp 90 juta.  Ini berkaitan erat dengan pengajuan dana Anggaran Pengelolaan Taman Margasatwa 2002 yang mencapai Rp 100 miliar yang diajukan TMR kepada Pemerintah DKI Jakarta.

Setiap tahun TMR memperoleh kucuran dana untuk biaya perawatan dan operasional dari Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Kebun Binatang Ragunan yang dijadikan kebanggaan Kota Jakarta itu setiap tahun membutuhkan anggaran tambahan yang dibebankan ke Pemda DKI Jakarta. Pada 2000, Ragunan mendapatkan pemasukan dari tiket sebesar Rp 5,6 miliar. Namun biaya rutin operasional mencapai Rp 11,4 miliar. Sementara pada 2001, pemasukan mencapai sebesar Rp 10 miliar dengan anggaran rutin dan pembangunan berbagai proyek mencapai Rp 50 miliar. Tahun 2012, TMR menerima kucuran anggaran dari APBD sebesar Rp 56,2 miliar.

Syukur Alhamdulillah, Pemda DKI Jakarta kini sudah merombak jajaran manajemen Taman Marga Satwa, dengan menunjuk Pengusaha Hashim Djojohadikusumo, adiknya Pak Prabowo Subianto sebagai Kepala Pengawas Taman Margasatwa Ragunan. Coba kita tunggu, amati dan awasi apakah Kebun Binatang Ragunan akan menjadi lebih baik, atau sebaliknya.

Dibandingkan dengan Kebun Binatang Dunia 

TMR  harus memberi perhatian pada kesejahteraan satwa  dan tetap mengedepankan fungsi utama TMR sebagai lembaga konservasi.  Fungsi lainnya seperti pendidikan dan rekreasi harus dilakukan dengan memberi perhatian utama pada tercapainya aspek konservasi. Hal-hal yang harus menjadi perhatian adalah menyangkut pakan satwa, pengaturan libur bagi satwa, mengendalikan polutan suara agar tidak mengganggu satwa, meningkatkan  kualitas dan kuantitas dokter hewan dan perawat satwa, strategi manajemen perawatan dan kesehatan satwa, serta membuat habitat sehat untuk satwa.

Masalah kesejahteraan satwa adalah suatu persyaratan bagi pengelolaan Taman margasatwa yang telah diterima secara internasional.  Apabila TMR ingin dikembangkan menjadi sebuah taman margasatwa yang bertaraf internasional, tak ada pilihan lain tahap demi tahap harus berusaha memenuhi persyaratan yang diakui secara internasional. 

Dibandingkan dengan taman margasatwa atau kebun binatang di beberapa kota besar dunia, kondisi Taman Margasatwa Ragunan dinilai buruk. Selain kasus kematian beberapa jenis satwa, penjualan satwa,  buruknya pemeliharaan sarana dan prasarana, sehingga taman margasatwa ragunan lebih mirip pasar tumpah daripada pusat konservasi dan edukasi.

Nyaris di setiap sudut TMR ditemukan penjaja makanan dan cendera mata. Bahkan, pedagang – pedagang  itu menggelar dagangannya tepat di samping pagar kandang satwa. Selain berdagang di kios-kios yang telah disediakan, banyak pedagang menggelar dagangan di jalur pejalan kaki. Yang tidak resmi, mereka harus membayar kepada oknum petugas TMR agar dapat berdagang di dalam kawasan TMR, besarnya bervariasi Rp 10.000 untuk hari Sabtu dan Rp 15.000 untuk hari Minggu kepada pihak pengelola. Para pedagang itu juga harus membayar uang kebersihan Rp 4.000 yang diberikan kepada petugas loket.  Kondisi ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan taman margasatwa lain di kota besar dunia, seperti di Australian Zoo. Taman margasatwa yang berada di Brisbane, Australia, itu memisahkan secara ketat kawasan yang dihuni satwa dengan pusat penjualan cendera mata dan restoran.

Kemudian pengunjung juga dilarang keras memberi makanan kepada satwa kecuali kepada satwa yang memang telah disiapkan untuk berhubungan dengan pengunjung. Makanan yang boleh diberikan pun telah disiapkan petugas dan selalu ada petugas yang mendampingi. Di Ragunan, pengunjung dengan mudah memberi makanan kepada satwa.

Nasib Pusat Primata Schmutzer (PPS) 

Taman Margasatwa Ragunan relatif memiliki perbedaan dengan Kebun Binatang pada umumnya, salah satunya adalah keberadaan Schmutzer Primate Center (Pusat Primata Schmutzer). Pusat Primata Schmutzer didirikan sebagai sarana pendidikan, penelitian, sekaligus hiburan bagi pengunjungnya, yang di danai langsung oleh The Gibbon Foundation. Pusat Primata Schmutzer yang berada di lokasi Taman Margasatwa Ragunan tersebut, merupakan kawasan konservasi terbesar di dunia.

Kehidupan Satwa di pusat primata Schmutzer, yang juga berada di dalam areal Taman Margasatwa Ragunan tersebut, dibuat semirip mungkin dengan kondisi alam di habitat aslinya, seperti juga halnya yang terjadi di Kebun Binatang San Diego. Ditempat ini pengunjung tidak diperbolehkan membawa makanan masuk, demi menjaga kebersihan.

Namun kini banyak fasilitasnya telah rusak, fasilitas air keran yang sehat dan bersih serta langsung minum telah rusak, kotor seperti tidak terurus. Lorong khusus yang didesain seperti lorong goa yang bercabang-cabang di tengah hutan hujan tropis juga tidak terawat baik. Lapisan plastik lantai yang sengaja didesain empuk itu banyak yang telah terkelupas dan sobek. Tidak semua penyejuk ruangan juga berfungsi baik.  Kaca film yang melapisi kaca pembatas antara pengunjung dan orangutan banyak yang terkelupas. Coretan-coretan memenuhi bangku tempat pengunjung beristirahat. Hewan liar pun mudah ditemui di kawasan PPS, bahkan pada siang hari. Kucing liar tampak berkeliaran di kandang orangutan. Koordinator Perlindungan Satwa Liar Femke den Haas prihatin dengan kondisi itu. Wahana tersebut dibangun dan didedikasikan untuk mengedukasi warga tentang primata, khususnya orangutan.

Di area PPS kini tinggal tiga gorilla, semua berkelamin jantan dan mereka tinggal dalam satu area. Sebelumnya, area itu ditinggali empat gorila, tetapi gorila termuda tewas. Keempat gorila itu berasal dari kebun binatang Inggris. Keberadaan primata di Ragunan akan menjadi sia-sia jika pengelolaan dan perawatannya buruk.

Disarikan dari beberapa sumber.