Akhir Tahun, Antara Belanja dan Silaturahim Keluarga

Kalau sudah menyangkut urusan akhir tahun, masyarakat kita banyak yang all-out dalam urusan belanja dan menghabiskan uang. Saking all-out nya, sampai lupa berapa bonus akhir tahunnya yang diterima dan berapa duit yang dibelanjakan. 

Menjelang akhir tahun, akhirnya bukan tempat ibadah yang bertambah ramai, namun justru pasar dan pusat perdagangan yang kian berjubel pembelinya. Ulama kita sering mengingatkan bahwa kita harus sering memutabaah (mengevaluasi) perjalanan hidup selama setahun ke belakang. Mereka juga sering mengingatkan tentag pola hidup sederhana, back to nature dengan segala sederhanaan dan kealamiahannya. Tahun baru bukan ajang parade busana mewah dan bagus.

Belanja, saat ini memang sudah berkembang menjadi sebuah gaya hidup pada masyarakat kelas ekonomi tertentu dari segala usia. Dan, sebagai gaya hidup, belanja manusia modern seringkali tidak berhubungan dengan “apa yang dibutuhkan” tapi dengan “kutahu apa yang kumau”. Dengan kata lain, ia hanya satu bentuk penegasan status sosial.Terkait prosentase peningkatan pengunjung, diperkirakan kenaikan pengunjung di mall bisa mencapai kisaran 20 hingga 30 persen.

Saat liburan pergi ke luar rumah, mall dan pusat perbelanjaan ternyata lebih menarik untuk dikunjungi daripada silaturahmi ke sanak kerabat. Hal ini sesuai dari hasil survei yang dilakukan Kompas terhadap warga Jakarta, pada awal Februari 2008 lalu. Meski bukan gambaran umum keseluruhan warga Jakarta, setidaknya hasil ini mengungkapkan bahwa aktivitas kekerabatan tampak kalah penting dibandingkan aktivitas jalan-jalan ke mall atau sekadar berdiam di rumah.  Bahkan, sekitar satu dari tiga (36,0 persen) responden mengakui bahwa di keluarganya jarang atau malah tidak pernah diadakan kumpul kerabat. Bagi keluarga kota besar, seperti Jakarta, yang cenderung menyendiri, keluarga besar dan kerabat mungkin hanya dibutuhkan dalam situasi perlu pertolongan.

Dalam survei ini, sebagian (36,9 persen) responden Jakarta mengakui jarang atau bahkan tidak pernah mengunjungi orangtuanya. Kesibukan kota besar, seperti Jakarta, sering kali menjadi penyebab mengikisnya hubungan orangtua-anak. Karena selain alasan jarak, kesibukan adalah alasan yang paling banyak menjadi dalih.

Pilihan untuk tinggal di rumah dan tidak ke mana-mana pada akhir pekan bisa jadi merupakan wujud kebutuhan penduduk kota besar untuk beristirahat setelah sepekan didera kesibukan. Tetapi, ini juga bisa berarti sebagai pilihan untuk menarik diri dan masuk dalam kesepian dari berbagai hubungan sosial luar rumah seperti kekerabatan.

Robert Weiss (1973) membedakan dua tipe kesepian karena hilangnya hubungan sosial yang dialami oleh seseorang. Pertama adalah kesepian emosional, disebabkan hilangnya hubungan kasih sayang yang dekat seperti yang diberikan orangtua atau pasangan. Yang kedua adalah kesepian sosial, disebabkan hilangnya rasa terintegrasi secara sosial. Lewat hubungan dengan sebuah kelompok atau komunitas, kebutuhan akan rasa terintegrasi sosial ini bisa dipenuhi. Bisa terjadi seorang mengalami satu tipe kesepian tanpa mengalami yang lain. Sebuah keluarga muda di Jakarta mungkin tidak merasakan kesepian emosional karena mereka masih merasa saling memiliki. Tetapi mungkin mereka mengalami kesepian sosial karena miskinnya aktivitas sebagai bagian dari sebuah komunitas yang lebih besar.

Namun sejauh-jauhnya manusia urban saat kesepian dan terasing datang, entah karena keadaan atau karena pilihan, maka kerabat khususnya orangtua akan jadi tempat ke mana mereka akan ”pulang”.  Hasil survei ini sendiri juga menunjukkan bahwa jika ada acara kumpul kerabat, seperti kumpul keluarga besar maka sebagian besar responden (68,7 persen) mengaku masih menyempatkan diri untuk datang. Hanya saja, kegiatan bersama kerabat ini buat sebagian besar orang Jakarta bukan menjadi prioritas dalam waktu luang mereka. 1