Pasang CCTV Awasi Sampah, Sebaiknya Pemprov Jakarta Contoh Pemkot Jayapura
Tempat Pembuangan Sampah (TPS) di Jalan Pengadegan kecamatan Pancoran Jakarta Selatan “akan” diawasi dengan Closed-circuit television (CCTV). Penempatan kamera pengintai itu diletakan karena TPS Pancoran Pengadegan dianggap memiliki volume sampah tinggi. Bayangkan nantinya sebanyak 210 TPS di Jakarta, semuanya akan di pasangi oleh CCTV.
Kepala Suku Dinas (Kasudin) Kebersihan Jakarta Selatan Zaenal Syarifudin menuturkan, pemasangan kamera pengintai itu untuk pemantauan. Karena, selama ini penumpukan sampah itu diakibatkan kurangnya pemantauan. "Ini untuk mengawasi secara langsung kondisi terkini masing-masing TPS. Sehingga penumpukan sampah maupun masalah yang ditimbulkan dapat segera dirampungkan pihaknya," katanya.
Selain punya kelebihan, CCTV juga mempunyai keterbatasan. Kamera CCTV tidak dapat merekam suara dan kadang-kadang dapat dimanipulasi dengan menutupi alat perekam atau dengan menempelkan sepotong permen karet pada lensa. Dengan menempelkan rekaman yang diulang-ulang sehingga pengawas CCTV menganggap tidak terjadi apa-apa, juga bisa menjadi masalah sendiri. Jika kamera diposisikan salah, hasil rekaman juga tidak akan maksimal.
Hal ini terjadi di Pasar Johar Semarang yang mana dipasangi CCTV seharga Rp 50 juta per unit untuk mengawsi orang yang membuang sampah sembarangan. Ada hal menarik dari penuturan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Drs Ednawan Haryono. Dia mengakui, keberadaan CCTV di Pasar Johar ternyata memang belum menyentuh kesadaran sejumlah warga untuk dapat berperilaku tertib aturan dan lingkungan.
Meskipun sudah sering tertangkap petugas karena kesalahan yang sama, namun kelihatannya belum juga bisa menyadarkan mereka. Sebaliknya, tahu perilaku mereka sedang diawasi oleh alat pengintai, orang-orang justru tetap membuang sampah sembarangan di tempat lain yang sekiranya aman dari intaian.
''Mereka ternyata malah lebih pintar ngakali kamera," seloroh Ednawan. Meski berseloroh, nada pesimistis tersembul dari penuturannya. Dia juga mengakui, mengubah perilaku disiplin warga, tidak cukup dengan pemasangan kamera pengawas di beberapa titik saja. Harus ada shock therapy dalam bentuk lain yang jauh lebih menyengat. Ganjaran bagi para pelanggar kebersihan masih sangat ringan. Pembuang sampah sembarangan, hanya mendapat sanksi pidana kurungan tiga bulan atau denda Rp 50 ribu. Sanksi itu diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2003 tentang Kebersihan dalam Wilayah Kota. Namun kenyataannya sampah semakin menumpuk, sampah-sampah masih banyak ditemukan di jalan-jalan, pasar, sungai dan saluran air. Ini artinya, kesadaran warga belum juga berubah ke arah yang lebih baik.
Belum terlihat hubungan signifikan antara pemasangan kamera dengan perubahan perilaku masyarakat. Lihat saja, apakah Kota yang dipasangi CCTV kemudian benar-benar sudah selesai dari masalahnya. jangan - jangan, pemasangan kamera pengawas hanya menjadi program mubazir yang perlu ditinjau lagi efektivitasnya.
Sorotan senada dilontarkan pula oleh antropolog dari Undip Semarang, Prof Dr Nurdien H Kistanto. Menurut dia, pemasangan CCTV pada dasarnya bagus untuk mendorong kesadaran masyarakat. Meski demikian dia menilai, dalam konteks Indonesia khususnya Kota Semarang, rencana tersebut terlalu tergesa-gesa.
Masih banyak upaya yang belum dilakukan oleh pemkot, misalnya membuat pagar di tepi kali, membuat papan peringatan atau dalam waktu tertentu menempatkan petugas untuk menjaga tempat-tempat itu. Prof Nurdien menilai, masih perlu dilakukan kajian untuk mengetahui apakah biaya yang dikeluarkan sebanding dengan manfaat yang diterima. Apalagi, dana yang digunakan berasal dari uang rakyat.
Selain di Pasar Johar Semarang, Dinas Kebersihan Pemprov DKI juga bisa mengambil pelajaran dari kasusnya Propinsi Banten yang memasang CCTV untuk memantau gelandangan dan pengemis di Kota Serang dan Cilegon. Ternyata hal itu juga dievaluasi tidak efektif, hal ini disebabkan tidak adanya tim pemantau atau oprator khsusus yang disediakan oleh pemerintah kabupaten/kota.
Awalnya CCTV yang terpasang di tiga titik simpang empat pusat kota di Serang dan Banten dilakukan agar setiap gelandangan dan pengemis dapat diketahui. Sehingga dapat memudahkan melakukan pendataan pengemis dan gelandangan baik yang lama maupun pendatang baru. Tidak hanya itu program ini juga dilakukan untuk memberikan rasa aman dan nyaman kepada seluruh pengguna jalan. Namun awal dan akhir, hasilnya sangat jauh berbeda, ternyata CCTV yang dipasang menjadi kurang efektif.
Mungkin Pemprov DKI bisa mencontoh Pemerintah Kota [Pemkot] Jayapura yang juga berencana akan memasang alat pengontrol dan pengawas CCTV guna merekam aktifitas warga di dekat bantaran kali Acai, yang sering melakukan pembuangan sampah ke Kali. Walikota Jayapura Drs. Benhur Tomi Mano MM menegaskan bahwa, bukan CCTV yang diharapkan, akan tetapi kesadaran warga Kota Jayapura, untuk tidak membuang sampah di dalam kali. “Sebenarnya bukan CCTV yang dipasang, tetapi bagimana mengajak warga Kota Jayapura untuk tidak melakukan pembuangan sampah ke kali, karena kali bukanlah wadah untuk membuang sampah melainkan sebagai aliran air,”kata Walikota Jayapura.
Kalau untuk CCTV ini dipasang tentunya harus dilakukan pemasangan pada semua kali, bukan saja kali Acai, akan tetapi di semua wadah yang menjadi pembuangan sampah. “Kita harapkan bukan pada memasang CCTVnya, tetapi lebih penting adalah mengajak dan menyadarkan kepada Masayarakat,” ungkapnya. “Saya hanya ingin memantau, dan kalau ada warga membuang sampah ke kali, maka petugas akan membuang kembali sampah itu ke rumah pelaku,” ujar Walikota tegas.
Dari pada memasang CCTV di tempat pembuangan sampah, sebaiknya kita benahi truk sampahnya. Penumpukan sampah juga diakibatkan kurangnya truk sampah untuk membuangnya ke tempat pembuangan akhir (TPA). Volume sampah selalu tidak sebanding dengan armada, sehingga selalu akan terjadi penumpukan. Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Saptastri Ediningtyas Kusumadewi mengakui timbunan sampah terjadi akibat mobilitas truk-truk sampah yang belum optimal. Dari 780 truk sampah yang ada, sebagian besar berusia tua di atas 10 tahun. Truk sampah yang sudah tua, operasionalnya sudah tidak optimal. Selain truk sampah, juga mungkin ojek sampah juga perlu diaktifkan. Seperti kita ketahui, volume sampah yang dihasilkan oleh seluruh warga Jakarta mencapai 8 ribu ton per hari dan itu terus meningkat. Petugas dinas kebersihan hanya mampu menangani 6 ribu ton sampah setiap hari, sehingga mau dilakukan pengawasan dengan CCTV atau tidak penumpukan sampah itu akan selalu ada.
Yang lebih penting lagi adalah merevisi kembali sanksi dan denda yang ada dalam Perda dan mengubah manajamen pengelolaan sampah. Saat ini dendanya terlalu ringan, sehingga kurang menggigit untuk diterapkan. Warga Jakarta juga harus dilibatkan langsung dalam pengelolaan sampah. Reward diberikan ke kawasan-kawasan yang bisa mengelola sampah 3R (reuse, refuse, recycle) dengan baik. Sementara di sisi lain, masyarakat yang membuang sampah sembarangan akan ditindak tegas dengan diberi sanksi.
Sumber :