Cegah Pembunuhan Karena Rebutan Lahan Parkir, Pemprov Harus Bisa Carikan Solusinya

Dengan bertambahnya jumlah kendaraan bermotor, ketersediaan lahan parkir pun seharusnya bertambah. Tetapi hal tersebut belum terealisasi di kota - kota besar seperti Jakarta. Lupa karena membangun, membangun dan terus membangun, tanpa memikirkan tempat parkir. Alhasil pengguna kendaraan bermotor memarkir kendaraannya si pinggir jalan. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya kemacetan di kota besar seperti Jakarta. Karena parkir di pinggir jalan dapat mengurangi kapasitas jalanan. 

Parkir merupakan salah satu penyumbang masalah kemacetan. Apalagi masih terlihat bangunan usaha atau ruko yang tak menyediakan lahan parkir yang memadai. Akibatnya, tepi dan badan jalan dijadikan sebagai tempat parkir.  Untuk mengatasi persoalan parkir, menurut dia, pemprov mestinya mulai memikirkan serius konsep penanganan parkir. 

Parkir on street harusnya dikelola oleh BP (Badan Pengelola) Parkir sebagai perpanjangan tangan dari pemprov. Para konsumen yang memakai tempat parkir on street ini akan membayar biaya parkir yang disebut dengan retribusi parkir, retribusi adalah pungutan yang dipungut oleh Negara. Selain parkir on street juga dikenal parkir diluar bahu jalan yaitu off street. Parkir off street dapat diselenggarakan oleh Badan Hukum maupun Warga Negara Indonesia dengan mendapatkan izin penyelenggaraan parkir baik murni maupun perpanjangan yang diberikan oleh gubernur (BP Parkir) dengan suatu kerja sama bagi hasil.


Kepala Bidang Pengendalian Operasi Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo, pernah menyarankan agar warga memanfaatkan lahan pribadinya untuk membuat kantung - kantung parkir.  Dinas Perhubungan mengizinkan warga membuat lokasi parkir off street. "Tinggal pemerintah memberikan insentif, misalnya dengan pembinaan pengaturan parkir. Itu diperbolehkan asal tidak mengganggu jalan," kata Syafrin. 

Permasalahan lahan parkir yang semrawut adalah akibat Pemprov yang sudah bersahabat lama dengan para penguasa parkir liar, di mana setiap lahan parkir sudah pasti dipegang oleh oknum - oknum ormas. Jadi, akibatnya parkir di Jakarta sudah tidak memikirkan ketertiban lagi, tetapi sudah lebih memikirkan uang setoran kepada oknum tadi. 

Lahan parkir dapat dijadikan suatu bisnis yang sangat menggiurkan, karena hampir setiap orang yang memiliki kendaraan pasti memerlukan tempat parkir, ditambah lagi peningkatan jumlah kendaraan di daerah perkotaan seperti Jakarta dari tahun ke tahun selalu bertambah. Mengingat betapa menjanjikannya bisnis perparkiran ini, tidak jarang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat diantara pengelola parkir, kebocoran retribusi parkir pemprov dan perkelahian antar kelompok penguasa yang seringkali memperebutkan lahan parkir yang dapat berujung pada peristiwa tawuran sampai pembunuhan tragis. 

Banyak oknum tertarik mengurusi bisnis parkir liar karena keuntungannya menjanjikan, istilahnya bisa mandi uang gara - gara parkir. Parkir merupakan bisnis yang sangat menguntungkan, asalkan punya lahan yang strategis dan mau ngelolanya aja pasti lembaran rupiah bakal datang tiap saat tanpa aba-aba. Anggap aja kita punya lahan parkir untuk parkir 150 motor dengan tarif Rp 1500,-/Jam/Motor. Dri kuota 150 motor kita anggap aja, rata - rata diisi 100 motor per jamnya dan waktu parkiran buka adalah jam 09.00 - 22.00 (13 jam). 

Rp 1500 x 100 motor x 13 jam = Rp 1.800.000/Hari
Rp 1.800.000 X 30 = Rp 54.000.000/Bulan (WowW!!)

Dengan lahan yang tidak terlalu luas, kita bisa dapet hasil kotor Rp 54.000.000 . Kalau pun harus dikurangi biaya perawatan dan gaji karyawan yang totalnya 15juta/Bulan aja, kita masih dapat 39juta sebulan (Hhhhhhhmmmm..... ). Itu baru hitung - hitungan dengan lahan yang kecil dan cuma motor saja. 

Oleh karena keuantungannya itu, karena masalah rebutan lahan parkir maka urusannya bsia sampai tawuran dan bunuh - bunuhan. Tidak jarang akibat dari tawuran orams penguasa parkiran tersebut,  selain rusaknya fasilitas umum juga hilangnya nyawa pelaku tawuran. 

Seperti yang pernah disampaikan oleh seorang Ulama, bahwa masyarakat Indonesia sekarang ini mirip dengan daun kering. Kenapa menyerupai dengan daun kering? Karena masyarakat sekarang ini mudah sekali dikumpulkan, kalau sudah kumpul pasti berisik, dan sangat mudah dibakar. Dibakar yang dimaksud di sini adalah dibakar amarahnya, masyarakat Indonesia sekarang ini dengan mudah tersulut amarah dan emosinya, yang akhirnya dapat mengakibatkan kerusuhan. Dengan menambah kegiatan di bidang keagamaan dan sosial mungkin bisa membantu untuk mencegah maraknya perilaku tawuran antar penguasa parkir.

Inilah yang terjadi di Kalibata Pancoran, beberapa tahun yang lalu muncul tawuran antara ormas yang satu dengan ormas yang lain gara - gara masalah lahan parkir. Belum lagi antara anggota ormas itu sendiri yang berantem gara - gara parkiran. Sampai terakhir ada kasus yang pelakunya baru tertangkap, seorang paman membunuh keponakannya karena rebutan lahan parkir.  Melayangnya nyawa warga negara terus menerus, gara - gara urusan lahan parkir tentunya tidak boleh didiamkan terus. Pemprov sebagai otoritas tertinggi harus dapat mencarikan solusinya sehingga segenap tumpah darah warganya dapat terlindungi.

Sumber :