Jakarta, Bisakah Meniru Manila dalam Melarang Iklan Pakaian Dalam di Jalanan Kota ?

Empat tahun yang lalu, Pemerintah Kota Manila membuat kebijakan yang cukup unik dengan mencabut poster iklan yang memperagakan celana dalam pria di pinggir jalan raya utama kota Manila, karena dianggap tidak sopan. Pemerintah kota Manila memutuskan untuk mencabut semua iklan gambar pria yang memperagakan celana dalam, apalagi dengan pose merangsang di jalanan kota.

Poster iklan pakaian dalam ini ternyata menyulut banyak kecaman warga karena dianggap vulgar, tidak sopan dan terlalu terbuka. Apalagi ada yang dipasang tepat di muka sebuah seminari Katholik yang besar.  Seorang bloger juga menyebut iklan itu sebagai "pembuat macet lalu lintas". Dia harus menutup mata keponakan-keponakan nya ketika melewati jalan itu.. “Jadi,Saya punya kewajiban untuk berbuat sesuatu guna menanggapi keluhan tersebut." Yang lewat jalanan kota tentu bukan hanya monopoli orang dewasa, banyak juga anak - anak yang melewati jalan itu.

Yang kurang pada kebijakan pemerintah kota Manila adalah ia hanya membatasi untuk iklan pakaian dalam pria saja, sementara iklan yang pakaian dalam wanita dibiarkan begitu saja. Sehingga ada yang mempolitisasinya ke arah masalah gender. Kalau saja semua iklan pakaian dalam pria dan wanita bisa dilarang semuanya, tentu bisa diterima semua pihak.

Kebijakan pelarangan baliho yang menampilkan iklan seronok dan seksi seperti pakaian dalam pria maupun wanita sudah dilakukan oleh Pemerintah Kota Depok. Sebelum mengeluarkannya, Pemkot Depok membahas hal itu dengan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan juga Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok. Sehingga kebijakan tersebut didukung penuh oleh para tokoh gama dan juga tokoh masyarakat.

“Bagian mana saja yang enggak boleh, kalau secara detail UU pornografi memang enggak ada, apa sih pornografi itu, ini kan masalahnya ada pengaduan masyarakat dari sisi amoral di jalan protokol. Kalau ukuran religius itu kita punya FKUB, disitu berbagai agama ada, Budha pun juga menilai ada pakaian yang tak pas,” tegas H. Idris Abdul Somad, wakil Walikota Depok.

Tidak hanya pakaian seksi, namun Pemkot Depok juga melarang baliho iklan rokok dipajang di sepanjang jalan Margonda. “Ada kebijakan tak ada iklan rokok sementara untuk di Jalan Margonda saja, ini menyangkut kesehatan dunia, sepakat kalau merokok ganggu kesehatan, kalau karena baliho wanita yang membuka aurat dan kami digugat itu memang ada kewenangan kepala daerah,” paparnya.

Selain di Manila dan di Depok, masyarakat Inggris juga tidak lagi menemukan gambar iklan seksi atau gambar berbau cabul bertebaran di jalanan. Pasalnya, pemerintahnya sudah menerapkan larangan gambar atau papan reklame bergambar seksi dan seronok demi melindungi anak-anak. Kebijakan demi menjaga moral anak-anak itu digagas oleh Otoritas Standar Periklanan (ASA).  Gambaran wanita-wanita seksi maupun seronok yang sudah jelas di billboard dijauhkan dari sekolah, sementara poster X-rated akan dilarang keseluruhannya. Bahkan berdasarkan aturan ASA yang baru, model dengan pose menggunakan pakaian dalam juga dilarang. Tidak hanya model yang sedang berpose menggunakan pakaian dalam saja yang dilarang,  model berpose dengan tangan mereka di pinggul atau poster pasangan berpakaian penuh pun bisa dilarang jika ditampilkan dalam pagutan “penuh gairah”.

Pelarangan iklan dengan model berbusana seksi ini untuk mencegah terjadinya kejahatan seksual pada anak-anak. Gambar-gambar yang mengandung unsur tersebut akan dicopot, bahkan untuk yang terlalu seksi atau menggairahkan tidak boleh dipasang sama sekali. Pengumuman ASA datang setelah perwakilan dari otoritas berbicara kepada orang tua dan anak-anak di Cardiff County of Wales untuk mengetahui apakah aturan-aturan yang mengatur billboard harus diperketat.

Sebelumnya, sebuah kota di tepi pantai di Italia juga mengusulkan hal larangan mengenakan rok mini maupun busana minim lainnya. Larangan itu demi memulihkan kesopanan dan memfasilitasi hidup berdampingan yang lebih baik bagi masyarakat sipil.  Kota “Castellammare-di-Stabia” adalah kota terbaru di Italia yang menerapkan larangan minum-minum di jalan, main sepak bola di tempat umum, mengatakan kata-kata hujatan, bahkan berjemur diri di pantai. Peraturan itu akan melarang orang berjalan-jalan dengan mengenakan rok mini atau jeans potongan rendah. Seperti dikutip BBC, mereka yang membandel aturan larangan akan terancam denda antara Rp350 ribu hingga sekitar Rp8 juta. Di kota-kota lain di Italia, larangan bahkan mencakup berciuman di dalam kendaraan, memberi makan kucing liar, dan penggunaan mesin pemotong rumput di akhir pekan.

Peraturan serupa juga sedang dipertimbangkan di Sri Lanka. Sekretaris Kementerian Budaya Sri Lanka, Nama Rubasinghe mengatakan menerima masukan dari masyarakat yang meminta pelarangan rok mini. Sri Lanka juga melarang iklan yang menampilkan perempuan seksi yang mengenakan baju belahan dada rendah. Larangan bukan hanya berlaku di kota kecil tapi juga di ibu kota Sri Lanka, Kolombo. Menanggapi pelarangan tersebut, Sebuah harian Sri Lanka menulis tahun baru adalah era baru yang membawa kemurnian moral kembali.

Sepertinya pemerintah kota sekarang perlu membentuk sebuah komite khusus guna mengatur iklan-iklan di masa datang, membantu tugas KPI yang sudah ada sebelumnya. Sebuah kota memang harus memiliki ciri, salah satunya adalah kepatuhan.  Untuk menggenapkan kultur kota, otoritas kota  mutlak  menggiatkan kepatuhan sebagai  kesholehan sosial  komunitas  yang humanis, tertib, dan patuh aturan.  Kesholehan sosial itu dari kawasan, diharap  menyebar ke luar kawasan  dan menyumbang kepatuhan aturan warga pada ruang sosial kota. Soal ini  penting disemaikan  walaupun  berlipat ganda lebih sulit dari membangun citra fisik kota. Membangun kota bukan sekadar melengkapkan  bagunan fisik,  fasilitas dan infrasturktur kota yang nyaman dan moderen. Agenda terpenting justru membenihkan kepatuhan, membangun kultur kota, menciptakan citra dan moral kota.  Otoritas kota mesti tangguh dan tabah membangitkan kultur warga  bersamaan dengan ketabahan menegakkan aturan sebagai struktur formal.  Warga akan terinspirasi dan bergiat jika otoritas kota tak hanya memperbanyak struktur (aturan) dari belakang meja, namun  enggan  menjemput  kekuatan  “kultur” partisipatif  warga  dari  lapangan, sudut jalan,  bantaran sungai, pasar pagi, ataupun taman hiburan malam.

Hukum hanyalah norma, maka rekayasa hukum membutuhkan kepemimpinan yang kuat, konsisten, dan keteladanan yang otentik. Bukan kepemimpinan palsu dan instruksional.  Jika tidak,  aturan kota menjadi “macan kertas”, yang   diragukan keberlakuannya. Kota memerlukan otoritas yang tabah membenihkan kepatuhan. Menjaga kota dari kekumuhan kelakuan moral para penghuninya. 

Referensi :



http://www.fimadani.com/beda-dengan-indonesia-inggris-akan-larang-iklan-sensual/