Menaikan BBM Bisa Cepat, Tetapi Menyediakan Transportasi Massal Masih Lambat



Transportasi massal Ibukota semakin semrawut. Buruknya pelayanan, kemacetan dan tingginya kriminalitas membuat warga Jakarta stres. Dari tahun ke tahun layanan transportasi massal ibukota, ada perbaikan tapi kurang signifikan. Pemerintah diminta segera lebih membenahi transportasi massal.

Retno Sari, warga ibukota mengatakan, “Angkutan umum sekarang banyak copetnya. Malahan di angkutan itu kadang copetnya lebih banyak dari penumpang. Angkutan yang paling tidak aman itu, metromini dan mikrolet,” katanya kepada Rakyat Merdeka. “Kalau hujan angkot atapnya sering bocor kursinya banyak rusak, pokoknya tidak enak diduduki. Angkot juga sering mogok karena rata-rata berusia tua,” keluhnya. Akhirnya Retno mulai berpikir beralih menggunakan kendaraan pribadi untuk pergi ke kantor. “Saya stres makin banyak perkosaan dan penculikan di angkot. Tak ada jaminan keamanan bikin saya takut naik angkutan umum,” katanya.

Budiman, warga Cakung yang setiap hari menggunakan bus Transjakarta untuk pulang-pergi ke kantor mengeluhkan pelayanan transportasi massal di Jakarta. Kata dia, bus Transjakarta dan Kopaja ACnya sering mati. “Nunggu juga lama. Jadi penumpang itu kerjanya capek nunggu,” katanya. Menurut Budiman, pemerintah DKI Jakarta tidak pernah memperhatikan unsur kenyamanan, keamanan, dan efisiensi waktu dalam menyusun program tranportasi massal bagi warganya. “Contoh, penumpang umumnya berdesakan, akibatnya sampai kantor sudah capek, produktifitas rendah. Pemerintah kita tutup mata hal - hal begitu padahal penting,” kritiknya.

Pengamat transportasi Jakarta Dharmaningtyas menilai, standar pelayanan minimum (SPM) transportasi massal termasuk bus Transjakarta di DKI Jakarta sampai sekarang belum sesuai harapan,  “… dalam pelaksanaan di lapangan, masih banyak kekurangan dalam pengelolaanya. Transjakarta terlalu dipaksakan secara simultan, akibatnya penumpang berjubel, karena jumlah armada yang juga sangat kurang. Masalah dilapangan ini perlu dibenahi,” katanya.

Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Suroyo Alimoeso juga mengakui penanganan transportasi massal secara nasional terutama di Jakarta mengalami kemunduran.

Anggota Komisi V DPR dari PKS, Yudi Widiana menilai buruknya transportasi massal di Jakarta telah menimbulkan kerugian dari sisi sosial, ekonomi, budaya dan kesehatan. Terdapat beberapa langkah  antisipasi agar tidak terus berulang di masa yang akan datang. Langkah itu diantaranya  meningkatkan kualitas prasarana transportasi massal. Pembangunan sistem transportasi harus mulai memperhitungkan rasio pertumbuhan penduduk dan moda transportasi secara cermat. Langkah yang tak kalah penting, lanjut dia, pemerintah melakukan peremajaan moda transportasi massal agar nyaman, aman, cepat, dan murah. Dengan cara ini masyarakat lebih mengutamakan naik kendaraan umum dibanding kendaraan pribadi. “Membenahi, permasalahan transportasi harus komprehensif tidak bisa setengah-setengah. Harus ada perhatian yang serius dan dibuat aturan yang komprehensif bukan parsial. Perlu revolusi kebijakan untuk membenahi sistem transportasi,” pungkasnya.

Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Triwisaksana mengusulkan kompensasi pembatasan BBM bersubsidi dialihkan untuk penyediaan transportasi massal. Menurut dia, kebijakan pembatasan yang menyebabkan pengalihan dari premium ke pertamax mengakibatkan biaya hidup masyarakat naik. “Jika kompensasi tidak diperuntukkan bagi perbaikan sarana transportasi massal, masyarakat tidak merasakan dampak langsung dari kebijakan pemerintah tersebut,” kata Triwisaksana.

Politikus PKS ini mengungkapkan, jika penghematan anggaran dialihkan ke transportasi di Jabodetabek, dana tersebut dapat digunakan untuk menambah koridor baru beserta armada bus Transjakarta, memperbaiki integrasi antarmoda, meremajakan angkutan umum, dan memperbaiki sarana jalan. Hal ini harus dilakukan secara komprehensif dan tepat sasaran. “Perbaikan transportasi yang masif bukan hanya dengan mempersempit ruang gerak kendaraan pribadi, tapi juga perbaikan manajemen transportasi dengan meningkatkan kualitas pelayanan, kuantitas, insentif, dan penegakan hukumnya,” tegasnya.

Pengurus Harian Institut Studi Transportasi (Instran) Izzul Waro mengungkapkan, pembatasan subsidi BBM merupakan akibat kegagalan pemerintah menyediakan sarana dan prasarana umum seperti transportasi massal. Ketika pemerintah gagal menyediakan transportasi umum, masyarakat berusaha membeli kendaraan dan mengakibatkan lonjakan permintaan BBM. “Sementara jika pemerintah menaikkan harga BBM, efeknya akan sangat luas. Secara politis, jika pemerintah menaikkan harga BBM, akan memberi poin buruk,” ungkapnya. Pihaknya juga sependapat jika pemerintah harus mengalokasikan kompensasi anggaran pembatasan BBM untuk perbaikan transportasi massal. Dengan demikian, masyarakat kembali menggunakan kendaraan umum.

Wajar jika Jakarta juga meminta bagian dari hasil penghematan dari pembatasan penjualan bahan bakar minyak (BBM) jenis premium di Ibu Kota guna peningkatan sarana angkutan umum massal. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta Triwisaksana (Fraksi PKS) mengatakan permintaan itu mengacu besarnya hasil penghematan dana pembatasan penjualan premium di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). "Hasil penghematan yang mencapai sekitar Rp 28 triliun itu dapat dialihkan ke transportasi di Jabodetabek," katanya.

Dia mengungkapkan program pembatasan pembelian BBM premium diperkirakan mendongkrak biaya hidup masyarakat DKI Jakarta hingga 50% dari kondisi sebelumnya. Triwisaksana menuturkan perbaikan transportasi massal merupakan keharusan guna mendorong peralihan penggunaan kendaraan pribadi ke angkutan umum. 

Referensi :