Untuk Kalibata City, Pemerintah Berhak Membatalkan Pengoperasian Gedung Jika Izin dan Riilnya Berbeda
Potensi masalah akibat
keberadaan gedung tinggi yang tidak didukung fasilitas memadai dapat
diminimalkan jika aturan tata ruang diterapkan semestinya. Agar tak
berlarut-larut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diminta tegas menindak
para pihak yang melanggar.
Dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) terbaru tahun 2010-2030 sudah ada aturan detail di kawasan mana saja bangunan jangkung boleh berdiri. Ada sederet syarat yang harus dipenuhi pengembang sebelum proyeknya mendapat izin dan pembangunan berjalan.
Ketua Pengurus Nasional Ikatan Ahli Perencana Kota (IAP) Bidang Hubungan Kerja Sama Kelembagaan Dhani Muttaqin, Rabu (1/10), mengatakan, salah satu syarat minimal yang harus dipenuhi jika akan membangun gedung vertikal adalah ketersediaan lahan parkir.
”Jika itu hunian vertikal bagi warga kelas menengah ke bawah, tentu perkiraan lahan parkir untuk mobil, misalnya, tidak akan sebanyak apartemen mewah. Namun, memang ada bangunan yang dulu izinnya hunian kelas menengah bawah, tetapi saat difungsikan dipergunakan oleh orang bermobil,” kata Dhani.
Pernyataan Dhani mengingatkan akan kasus Kalibata City di Jakarta Selatan. Kompleks Kalibata City terdiri dari rumah susun sederhana milik, rusunami plus, dan apartemen. Total ada 18 menara di kompleks yang mulai beroperasi sekitar tahun 2011 itu. Setiap menara rata-rata terdiri atas 800 unit rumah susun atau apartemen.
Kini, setiap hari kawasan itu macet parah. Pemprov DKI Jakarta pun gusar karena parkir mobil penghuni Kalibata City meluber hingga badan jalan. Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menginstruksikan kawasan itu menjadi target utama penertiban parkir liar.
Menurut Dhani, pemerintah bisa menekan ”bencana” serupa jika teliti saat memproses izin mendirikan bangunan (IMB). Selanjutnya, saat gedung sudah jadi, tinggal melihat lagi kesesuaian antara izin dan kondisi riil.
Bahkan, pemerintah berhak menunda dan membatalkan pengoperasian gedung jika persyaratan belum terpenuhi, termasuk ada-tidaknya rencana rekayasa lalu lintas jika bangunan berfungsi. Pengembang dan instansi terkait dengan perizinan dan pengawasan bangunan bertanggung jawab terhadap setiap kekacauan yang terjadi setelah beroperasinya sebuah gedung.
Di atas saluran
Kepala Suku Dinas Pekerjaan Umum Tata Air Jakarta Pusat Herning Wahyuningsih mengatakan, keberadaan gedung tinggi membawa konsekuensi, antara lain penyedotan air tanah dan pembuangan air limbah. ”Idealnya, air limbah dari gedung bertingkat diolah dan digunakan kembali sehingga mengurangi penyedotan air tanah dan pembuangan air ke selokan,” ujarnya.
Herning mengatakan, pembangunan gedung bertingkat kerap tak memperhatikan fasilitas umum, seperti keberadaan saluran air. Di beberapa tempat, seperti di perempatan Slipi, ada apartemen yang berdiri di atas saluran air. Akibatnya, saluran air terputus. Kawasan ini juga kerap dilanda banjir saat hujan.
Di sisi lain, petugas pemberi izin dan pengawas pembangunan gedung bertingkat belum optimal menjalankan tugas. Izin kerap dikeluarkan tanpa melibatkan satuan kerja perangkat dinas di tingkat kota. Sementara pengawasan pembangunan tidak tegas menindak pelanggaran.
Bisa dibongkar
Kepala Dinas Tata Ruang DKI Jakarta Gamal Sinurat, Selasa, mengatakan, pembangunan gedung tinggi, seperti perkantoran atau apartemen, harus menyertakan rencana tata letak bangunan sebagai syarat pengajuan IMB. Di dalam rencana itu tercakup juga pengaturan lalu lintas dan saluran air.
”Jika terjadi pelanggaran di lapangan, pengawasan ada di dinas pengawasan dan penertiban bangunan (P2B),” kata Gamal.
Secara terpisah, Kepala Dinas P2B DKI Jakarta I Putu Ngurah Indiana mengatakan, sebelum IMB dikeluarkan, Dinas Tata Ruang DKI Jakarta terlebih dulu melihat infrastruktur di sekitar gedung, termasuk menentukan berapa koefisien lantai bangunan yang boleh dibangun dan pengaturan lalu lintas (traffic engineering) sebelum menerbitkan analisis mengenai dampak lingkungan.
”Kalau di lapangan tidak sesuai dengan yang diajukan, kami akan menahan sertifikat layak fungsi bangunan itu. Bahkan, kami juga peringatkan untuk membongkar bangunannya. Sertifikat itu digunakan untuk pengurusan penyewaan dan penjualan bangunan. Tanpa sertifikat layak fungsi, sebuah apartemen tidak akan bisa diperjualbelikan,” kata Putu.
Putu mengatakan, setiap bangunan yang dibangun pasti ada beban lingkungan dan dampak negatif yang timbul. Jadi, pengelola atau pemilik gedung disarankan melakukan urban renewal atau perbaikan lingkungan.
”Traffic engineering dilakukan sebagai opsi mengurangi kemacetan. Sementara untuk menanggulangi banjir atau genangan di sekitarnya, harus ada jaringan pengendali banjir untuk meresapkan air ke tanah atau saluran air,” ujar Putu.
Dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) terbaru tahun 2010-2030 sudah ada aturan detail di kawasan mana saja bangunan jangkung boleh berdiri. Ada sederet syarat yang harus dipenuhi pengembang sebelum proyeknya mendapat izin dan pembangunan berjalan.
Ketua Pengurus Nasional Ikatan Ahli Perencana Kota (IAP) Bidang Hubungan Kerja Sama Kelembagaan Dhani Muttaqin, Rabu (1/10), mengatakan, salah satu syarat minimal yang harus dipenuhi jika akan membangun gedung vertikal adalah ketersediaan lahan parkir.
”Jika itu hunian vertikal bagi warga kelas menengah ke bawah, tentu perkiraan lahan parkir untuk mobil, misalnya, tidak akan sebanyak apartemen mewah. Namun, memang ada bangunan yang dulu izinnya hunian kelas menengah bawah, tetapi saat difungsikan dipergunakan oleh orang bermobil,” kata Dhani.
Pernyataan Dhani mengingatkan akan kasus Kalibata City di Jakarta Selatan. Kompleks Kalibata City terdiri dari rumah susun sederhana milik, rusunami plus, dan apartemen. Total ada 18 menara di kompleks yang mulai beroperasi sekitar tahun 2011 itu. Setiap menara rata-rata terdiri atas 800 unit rumah susun atau apartemen.
Kini, setiap hari kawasan itu macet parah. Pemprov DKI Jakarta pun gusar karena parkir mobil penghuni Kalibata City meluber hingga badan jalan. Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menginstruksikan kawasan itu menjadi target utama penertiban parkir liar.
Menurut Dhani, pemerintah bisa menekan ”bencana” serupa jika teliti saat memproses izin mendirikan bangunan (IMB). Selanjutnya, saat gedung sudah jadi, tinggal melihat lagi kesesuaian antara izin dan kondisi riil.
Bahkan, pemerintah berhak menunda dan membatalkan pengoperasian gedung jika persyaratan belum terpenuhi, termasuk ada-tidaknya rencana rekayasa lalu lintas jika bangunan berfungsi. Pengembang dan instansi terkait dengan perizinan dan pengawasan bangunan bertanggung jawab terhadap setiap kekacauan yang terjadi setelah beroperasinya sebuah gedung.
Di atas saluran
Kepala Suku Dinas Pekerjaan Umum Tata Air Jakarta Pusat Herning Wahyuningsih mengatakan, keberadaan gedung tinggi membawa konsekuensi, antara lain penyedotan air tanah dan pembuangan air limbah. ”Idealnya, air limbah dari gedung bertingkat diolah dan digunakan kembali sehingga mengurangi penyedotan air tanah dan pembuangan air ke selokan,” ujarnya.
Herning mengatakan, pembangunan gedung bertingkat kerap tak memperhatikan fasilitas umum, seperti keberadaan saluran air. Di beberapa tempat, seperti di perempatan Slipi, ada apartemen yang berdiri di atas saluran air. Akibatnya, saluran air terputus. Kawasan ini juga kerap dilanda banjir saat hujan.
Di sisi lain, petugas pemberi izin dan pengawas pembangunan gedung bertingkat belum optimal menjalankan tugas. Izin kerap dikeluarkan tanpa melibatkan satuan kerja perangkat dinas di tingkat kota. Sementara pengawasan pembangunan tidak tegas menindak pelanggaran.
Bisa dibongkar
Kepala Dinas Tata Ruang DKI Jakarta Gamal Sinurat, Selasa, mengatakan, pembangunan gedung tinggi, seperti perkantoran atau apartemen, harus menyertakan rencana tata letak bangunan sebagai syarat pengajuan IMB. Di dalam rencana itu tercakup juga pengaturan lalu lintas dan saluran air.
”Jika terjadi pelanggaran di lapangan, pengawasan ada di dinas pengawasan dan penertiban bangunan (P2B),” kata Gamal.
Secara terpisah, Kepala Dinas P2B DKI Jakarta I Putu Ngurah Indiana mengatakan, sebelum IMB dikeluarkan, Dinas Tata Ruang DKI Jakarta terlebih dulu melihat infrastruktur di sekitar gedung, termasuk menentukan berapa koefisien lantai bangunan yang boleh dibangun dan pengaturan lalu lintas (traffic engineering) sebelum menerbitkan analisis mengenai dampak lingkungan.
”Kalau di lapangan tidak sesuai dengan yang diajukan, kami akan menahan sertifikat layak fungsi bangunan itu. Bahkan, kami juga peringatkan untuk membongkar bangunannya. Sertifikat itu digunakan untuk pengurusan penyewaan dan penjualan bangunan. Tanpa sertifikat layak fungsi, sebuah apartemen tidak akan bisa diperjualbelikan,” kata Putu.
Putu mengatakan, setiap bangunan yang dibangun pasti ada beban lingkungan dan dampak negatif yang timbul. Jadi, pengelola atau pemilik gedung disarankan melakukan urban renewal atau perbaikan lingkungan.
”Traffic engineering dilakukan sebagai opsi mengurangi kemacetan. Sementara untuk menanggulangi banjir atau genangan di sekitarnya, harus ada jaringan pengendali banjir untuk meresapkan air ke tanah atau saluran air,” ujar Putu.
Sumber : Kompas