Menyaksikan Karakter "Penghuni Kapal Selam"
“Dobrak! Dobrak! Dobrak! Kita harus dobrak pintu ini. Harus! Dobrak!
Dobrak!” teriak seorang lelaki bernama Mutholib berusaha mendobrak pintu
sebuah ruangan penjara bawah tanah yang lembab dan jauh dari peradaban.
Ruang penjara bawah tanah inilah yang dibawa oleh Zak Sorga, sebagai
penulis naskah dan sutradara, ke atas pentas Gedung Kesenian Jakarta tanggal 21 hingga 23 Oktober 2014. Teater Kanvas akan mengelar pementasan produksi ke-99 berjudul
'Penghuni Kapal Selam' selama tiga hari
berturut-turut, mulai malam nanti.
Naskah yang awalnya berjudul Melawan Arus ini ditulis pada tahun 1999
sebagai respon atas kondisi di sebuah negeri dimana tiran dan kekuasaan
menjadi dominan, menginjak rakyat yang ratusan juta banyaknya, namun
termarjinalkan. Merasa tema ini masih aktual dan timeless, Zak Sorga
kemudian menulis ulang naskah pada tahun 2009. Dengan pemantapan
struktur dan akhir ceritanya, naskah ini kemudian bertransformasi dengan judul Penghuni Kapal Selam.
"Ini merupakan perumpamaan realitas kehidupan dalam penjara yang
sengaja disembunyikan," kata Pendiri Teater Kanvas, Zak Sorga di
Jakarta. Naskah yang direlease pada 2008 tersebut, menceritakan sekelompok orang
dari berbagai profesi, mulai aktivis dakwah, koruptor, mahasiswa,
tukang es, politikus dan mantan perampok yang bertobat. Dalam cerita
'Penghuni Kapal Selam' ini, para penguni penjara mendapat intimidasi dan
penyiksaan fisik juga mental oleh sipir penjara secara semena-mena.
Dalam naskah drama ini, banyak diskusi tentang pemikiran
maupun ideologi masing-masing tahanan. Mulai dari pemikiran pedagang es
sampai pemuka agama. "Semua tokoh memiliki karakter dan keistimewaan
tersendiri. Namun semua saling menguatkan dalam satu cerita sehingga
penonton dapat menikmati pementasan ini," ujar Zak Sorga. Dengan menggunakan kata-kata santun ini, kata dia, penonton dapat
menyaksikan dengan nyaman tanpa disuguhi dialog yang tidak memaki tidak
menghujat atau tidak menfitnah. "Mudah-mudahan dengan pementasan ini,
inilah awal kebangkitan seniman Indonesia untuk kembali bergairah berseni,
berkarya dalam masyarakat," katanya.
Analogi penjara bawah tanah sebagai kapal selam, dimana penghuninya
jauh mencapai permukaan, agaknya tepat karena dalam kehidupan nyata
banyak orang yang dibungkam dan tak jelas rimbanya, mereka seperti
hilang ditelan bumi. Massa dan berita mudah muncul dengan segala opininya, mudah pula tenggelam, begitu seterusnya seperti buih.
Siapa sebenarnya para penghuni penjara bawah tanah itu? Siapa pula
yang menjebloskan mereka? Sampai kapan mereka diasingkan? Apa pula yang
dicari di negeri penuh kepalsuan dan kekerasan tanpa mengenal waktu?
Melalui Penghuni Kapal Selam, Teater Kanvasmenyuguhkan suatu tontonan satir nan segar yang bisa jadi perenungan banyak orang.
Penguni Kapal Selam menceritakan sekelompok orang pergerakan dari
berbagai aliran ideologi ada Islam, sosialis, nasionalis dan lain-lain,
juga beberapa orang rakyat jelata dan mahasiswa telah ditangkap dan
dipenjarakan di penjara bawah tanah yang terkenal dengan sebutan
“Penjara Kapal Selam”. Mereka semua setiap hari menjalani intimidasi dan penyiksaan yang tak
terperikan, baik secara fisik maupun mental, sampai diantara mereka ada
yang buta, pincang, lumpuh, stress, gila dan mengalami ketakutan yang
amat sangat selama bertahun-tahun. Bahkan ada juga yang sampai mati
bunuh diri.
Penghuni Kapal Selam berisikan sepuluh orang ‘berbahaya’ dan
pengintimidasi yang culas; Abdul Ghofar, aktivis dakwah senior dengan
karakternya yang tenang dan berwibawa, ia adalah orang yang paling
ditakuti oleh para sipir; Abdul Muthalib, politikus tua yang stres berat
karena dipenjara bertahun-tahun, selalu menggedor-gedor pintu sel,
sambil mengacungkan pisaunya dan berteriak-teriak ingin membunuh orang
yang telah menangkapnya; Jerio, orator dan aktifis politik yang
ambisius, selalu bermimpi jadi orang besar yang akan memimpin negeri
ini, berlagak suci dan kuat, padahal sejatinya dia suka menangis
sendirian karena menyesali nasibnya; Yon, aktivis dakwah, dipenjara
sejak muda, wajahnya bopeng akibat siksaan dan disunduti rokok oleh para
algojo saat diinterogasi, ia labil dan gampang percaya pada kebaikan
orang; Kukuh, mahasiswa separuh gila akibat siksaan saat diinterogasi,
ia selalu ketakutan dan terus berlari-lari karena merasa dikejar-kejar
oleh aparat; Pi’i, mantan tukang es yang bercita- cita untuk terus
jualan es kalau sudah bebas nanti; Prawoto, mantan pemimpin perampok
yang ingin bertobat, tapi malah diciduk dan dijebloskan dalam penjara,
ia telah disiksa sampai buta; Sokle, tukang bengkel elektronik yang
dituduh sebagai penggerak massa, jalannya menggelesot-gelesot karena
kakinya lumpuh akibat siksaan; Sang Sipir, merasa berkuasa dan kuat
dengan mengintimidasi para tahanan, namun dalam hati bertanya siapa yang
terpenjara; Juru Runding, berpenampilan perlente, dia pintar sekaligus
licik; Si Kutu Buku, pendiam dan misterius.
Namun ada penghuni penjara kapal selam yang tetap tabah dan sabar, dia adalah
Ustadz Abdul Ghofar, seorang lelaki tua yang karena kekuatan imannya
seolah tak pernah tersentuh oleh siksaan dan teror macam apa pun. Ustadz
Abdul Ghofar ini senantiasa memberikan motivasi kepada tahanan yang
lain, meski mereka berseberangan politik dan ideologi. Karena ketabahan Ustadz Abdul Ghofar inilah, para sipir dan algojo
yang menyiksanya jadi frustasi, mereka ragu-ragu sebenarnya yang
dipenjara itu Abdul Ghofar atau diri mereka sendiri? Apa bedanya diri
mereka dengan Abdul Ghofar? Siapa sebenarnya penguasa penjara ini?
Sampai diantara mereka ada yang menyatakan diri untuk keluar dari korp
dan melepaskan jabatannya, mereka tak peduli meski dituduh desersi dan
dihukum mati. Kehidupan dalam penjara itu terus berlanjut dari zaman ke zaman dan
para pejuang dari generasi demi generasi keluar masuk jadi penghuni,
tapi Ustadz Abdul Ghofar terus tabah dalam kemenangan imannya.
Sumber Info :