Rata – Rata, Tiap Dua Hari Ada Satu Warga Jakarta Yang Tewas Bunuh Diri



Empat tahun yang lalu tepatnya pada tahun 2010, Polda Metro Jaya mencatat kejadian bunuh diri mencapai 176 kasus, trend ini mengalami kenaikan jika dibandingkan pada tahun 2009 yaitu 165 kasus bunuh diri. Jika diasumsikan secara rata-rata, data tersebut mendeskripsikan angka bunuh diri yang hampir mendekati 2 hari sekali, jelas Divisi Humas Polda Metro Jaya saat itu. Kemudian pada 2011, sempat  ada 142 kasus bunuh diri, kemudian pada 2012 naik lagi ke 167 kasus bunuh diri.  Menurut data tersebut, insiden yang paling menyita perhatian adalah loncat dari gedung bertingkat, baik di apartemen, maupun mall-mall mewah di Jakarta. Pada periode 2010, tercatat 7 orang mengakhiri hidup dengan cara konyol bunuh diri terjun dari gedung tinggi. Pemerhati kesehatan jiwa, Albert Maramis menyatakan bahwa  DKI Jakarta adalah provinsi yang menyumbangkan kasus bunuh diri cukup tinggi dari total kasus bunuh diri di Indonesia.  Maramis memperkirakan, prevalensi bunuh diri di Jakarta mencapai enam persen dari total penduduk.
 
Guru Besar Psikologi Sosial, Universitas Indonesia Sarlito Wirawan Sarwono mengatakan, tren bunuh diri dengan cara terjun dari ketinggian, sebenarnya hanya sekedar modus baru. Nah, ketika cara itu mulai disebar-luaskan dari cerita ke cerita, akhirnya menjadi inspirasi pagi dan menduplikasi mereka yang nekat melakukan bunuh diri. Namun, meningkatnya tren bunuh diri di Jakarta, menurutnya sudah menunjukkan adanya peningkatan stres yang tinggi. "Tingkat stres di kota metropolitan lebih besar. Coba di kampung sana, nggak stres seperti di sini (Jakarta)," ujarnya.  Persoalan ekonomi bagi masyarakat kota metropolitan, kata Sarlito, merupakan salah satu faktor pemicu stres yang tinggi. "Di sini (Jakarta) ada orang yang di-PHK, utang banyak, bayar kontrakan nggak bisa, akibatnya tingkat stres naik," imbuhnya. 

Benar, cerita ke cerita atau berita ke berita di media ikut menjadi penyumbang  naiknya tren kasus bunuh diri dengan terjun dari mal bertingkat.  Selaras dengan pernyataan Prof Sarlito Sarwoni,  dokter spesialis kesehatan jiwa dari RS Cipto Mangunkusumo (RSCM), dr Surjo Dharmono juga menyatakan bahwa banyaknya kasus bunuh diri  loncat dari mall atau gedung tinggi merupakan aksi peniruan dari orang-orang yang sedang putus asa. "Orang yang depresi dan putus asa biasanya berpikiran pendek dan miskin ide. Mereka mudah merekam ide, kemudian jadi terpicu untuk melakukannya," paparnya. Ia mengatakan, ”Pemberitaan media massa yang berlebihan mengenai peristiwa bunuh diri cukup berperan dalam menyebarkan ‘tren’ bunuh diri di mal tersebut.” Untuk melaksanakan bunuh diri sebenarnya tidak mudah, orang harus memikirkan bagaimana caranya, apa yang terjadi sesudah mati dan sebagainya. Namun, ketika orang yang sedang putus asa ini membaca berita mengenai kasus bunuh diri di mall atau gedung tinggi, mereka jadi punya ide.  Tren bunuh diri dengan meloncat dari gedung tinggi ini biasanya tidak akan bertahan lama dan sangat dipengaruhi lingkungan atau media. 

Secara wilayah, daerah yang meiliki tingkat bunuh diri tertinggi biasanya terletak memang terletak di kawasan kota metropolitan. Artinya tingkat bunuh diri itu sendiri memang banyak terjadi di wilayah dengan populasi yang tinggi, kegiatan industri dan harga barang yang relatif tinggi bisa menjadi pemicu tingginya persaingan, ditambah dengan kondisi lingkungan perkotaan yang dipenuhi bangunan-bangunan permanen, sehingga tidak mampu menjadi terapi untuk melepas kepenatan mayarakat yang bekerja di pusat perkotaan. 

Di tanah air kejadian bunuh diri sering diberitakan media massa. Berita bunuh diri di Tanah Air begitu bertubi-tubi, meski masih banyak kasus yang tidak terendus media. Banyak yang berpikiran  hidup yang makin sulit bikin orang mudah putus asa dan bunuh diri. Harga bahan pokok kian naik dan mahal sementara pekerjaan sulit didapat. Mereka yang sudah bekerja pun terancam PHK, ini tentu menimbulkan tekanan hidup. Depresi bukan tidak mungkin dialami secara massal oleh masyarakat kita. Sebuah survei pernah dilakukan Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa, hasilnya 94 persen masyarakat Indonesia mengidap depresi dari tingkat ringan sampai paling berat. "Diduga kesehatan mental bangsa kita sudah sangat rendah dengan angka hasil survei itu," ujar Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) saat itu, Fachmi Idris.

Bunuh diri tidak pernah dilakukan secara spontan. Berdasarkan penelitian di berbagai negara, tidak ada tindakan bunuh diri yang langsung dilaksanakan pada pikiran pertama. Artinya, seseorang akan menimbang-nimbang terlebih dahulu sebelum benar-benar melaksanakan niatnya untuk bunuh diri. ”Proses menimbang-nimbang inilah yang sebetulnya bisa dikenali sebagai gejala. Hanya saja, sering kali gejala itu diabaikan oleh orang-orang di sekitarnya,” ujar dr Hervita Diatri, pengajar di Divisi Psikiatri Komunitas dan Trauma Psikososial, Departemen Psikiatri Universitas Indonesia. Hervita menambahkan, pelaku bunuh diri biasanya mengirim sinyal kepada orang-orang terdekatnya. Psikolog analis dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Dharmayati Utoyo Lubis, menambahkan, sinyal itu bisa diungkapkan secara verbal, tetapi juga bisa dilihat dari perubahan perilaku.

Mengapa orang begitu mudah memutuskan bunuh diri padahal ajaran agama jelas melarangnya?  Hidup itu indah karena diwarnai kebahagiaan yang datang silih berganti dengan tantangan dan kepahitan. Buat orang-orang dengan kecenderungan tertentu, tantangan dan kepahitan hidup itu dijawab dengan bunuh diri.  Itulah, hidup ini ternyata memang perlu keseimbangan lewat spritualitas, sehingga pada saat menghadapi tekanan yang sangat kuat tidak mengambil keputusan yangg bertentangan atau mendahului kehendak Tuhan YME. 

Allah SWT secara tegas melarang tindakan bunuh diri. Larangan itu disebutkan, antara lain, dalam surah an-Nisa’ ayat 29 yang artinya, “Janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Mahapenyayang kepadamu.” Ini seperti tertuang pula di surah an-Nisa’ ayat 30.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ad-Dahak disebutkan, “Barang siapa terjun dari sebuah bukit untuk menewaskan dirinya maka kelak ia akan masuk neraka dalam keadaan terlempar jasadnya. Ia kekal dalam neraka selama-lamanya.” 


Lebih jauh lagi, dalam masyarakat heterogen kaum Muslim secara konsisten memperlihatkan tingkat bunuh diri yang lebih rendah daripada non-Muslim.
Sumber :