Seharusnya Normalisasi Ciliwung, Bukan Hanya Sekedar Betonisasi



Berbagai upaya dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengatasi masalah banjir, salah satunya adalah dengan normalisasi Sungai Ciliwung yang membelah ibukota. Oleh karena itu, Pemprov DKI membuat proyek normalisasi Sungai Ciliwung sepanjang 19 km mulai dari Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan sampai dengan Kampung Melayu, Jakarta Timur yang telah dimulai pada Desember 2013 silam.

Normalisasi Sungai Ciliwung sepanjang 19 km yang digadang – gadang sebagai harapan baru yang dapat mengurangi permasalahan banjir di Jakarta, ternyata sampai saat ini baru dapat terselesaikan 1,5 km (8 persen). "Seharusnya normalisasi Ciliwung itu, dari Jembatan TB Simatupang sampai Pintu Air Manggarai. Tapi, baru terselesaikan 1,5 km dan tersisa 17,5 km," kata Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung dan Cisadane (BBWSCC) Kementerian Pekerjaan Umum (PU) T. Iskandar.  Ia menjelaskan, warga Kampung Melayu di bantaran sungai, belum dapat direlokasi. Sebab, masih menunggu penyelesaian pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) di bekas Kantor Suku Dinas PU Jakarta Timur yang terletak di Jalan Jatinegara Barat. Sedangkan, Dinas Perumahan menjanjikan, rusunawa itu dapat rampung pada medio November-Desember ini.

Permasalahan bertambah, ketika ada warga yang terhimpun dalam Komunitas Ciliwung Condet (KCC) menggugat Gubernur DKI Jakarta terkait Proyek Normalisasi Sungai Ciliwung tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.  Ketua KCC, Abdul Kodir dalam surat gugatannya mengatakan proyek normalisasi tersebut justru mengancam usaha konservasi keanekaragaman hayati sepanjang sungai tersebut yang mereka lakukan sepanjang aliran Sungai Ciliwung dari Condet sampai Kalibata dan dalam lahan yang mereka kelola seluas sekitar 7000 meter persegi yang berada di bantaran Sungai Ciliwung Condet.

Proyek normalisasi dapat merusak ekosistem Sungai Ciliwung, hilangnya flora dan fauna khas setempat dan hilangnya budaya masyarakat Condet.  Pemprov DKI juga belum melakukan penyelesaian submer masalah penyebab banjir, salah satunya yaitu penetapan sempadan sungai yang berpengaruh terhadap kegaitan KCC di sempadan Sungai Ciliwung. KCC sendiri mempunyai kegiatan utama yaitu pelestarian Sungai Ciliwung dan perlindungan keanekaragaman hayati melalui pembibitan, penanaman dan pemeliharaan berbagai tanaman lokal seperti salak, duku dan pucung yang statusnya hampir punah. Mereka juga melakukan kegiatan seperti pembuatan lubang resapan biopori, sumur resapan, taman resapan, dan pembuatan sekat rumput. KCC dibentuk untuk menjadikan bantaran dan sungai Ciliwung Condet sebagai kawasan konservasi alam yang berfungsi sebagai kawasan resapan air, wisata air, wisata alam, pendidikan dan hutan kota yang bebas sampah ataupun limbah. Kodir menjelaskan bahwa wilayah Condet yaitu Balekambang, Kampung Tengah dan Batu Ampar telah ditetapkan sebagai wilayah Cagar Budaya dan Budi Daya Tanaman Lokal sejak tahun 1974 oleh pemerintahan Gubernur Ali Sadikin. Dan kawasan itu juga telah ditetapkan sebagai kawasan buah-buahan dalam Putusan Provinsi DKI Jakarta tahun 1975. Kuasa hukum KCC, Istohari Syukur mengatakan banyak pihak seperti LSM, komunitas, akademisi, pengusaha dan instansi pemerintah yang belajar dan bekerjasama dalam usaha konservasi KCC tersebut. Bahkan usaha konservasi KCC telah diakui pemerintah dengan Piagam Penghargaan Kalpataru Pemprov DKI Jakarta Kategori Perintis Lingkungan tahun 2010 dan Piagam Penghargaan Penerima Kalpataru Tingkat Kota Administrasi Jakarta Timur kategori Pembina Lingkungan tahun 2013.

Istohari menjelaskan dalam gugatannya mereka mempertanyakan proyek normalisasi yang tidak dilengkapi dokumen AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan).  “Padahal sesuai dengan UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pasal 22 menyebtukan segala kegiatan pembangunan fisik wajib disertakan Amdal,” katanya ketika dihubungi Mongabay.

Istohari mengatakan upaya mengatasi banjir di Jakarta, bukan dengan melakukan betonisasi Sungai Ciliwung, Justru normalisasi dengan betonisasi bantaran sungai akan mempercepat air sampai ke hilir. “Seharusnya ada upaya lain terlebih dahulu, seperti penyerapan air sebanyak-banyak dari hulu dengan cara memperluas areal tangkapan dan resapan air, seperti memperluas hutan, situ dan embung,” katanya. 

Sidang gugatan sendiri telah memasuki agenda replik penggugat yaitu KCC terhadap jawaban tergugat. Istohari mengatakan agenda sidang selanjutnya yaitu duplik, pembuktian kasus, saksi ahli, kesimpulan sampai dengan keputusan majelis hakim. “Kita juga minta tunda proyek normalisasi, sebagai putusan sebelum putusan pokok,” katanya. Dirinya merasa optimis dapat memenangkan kasus gugatan ini karena mereka mempunyai bukti yang kuat dan pengakuan dari Pemprov DKI bahwa proyek normalisasi sudah dilakukan dan tidak dilengkapi dengan Amdal.

Koordinator Ciliwung Institute, Sudirman Asun, juga menganggap bahwa proyek betonisasi Ciliwung justru hanya akan menambah parah banjir di wilayah Jakarta Pusat dan Utara. Menurutnya dengan pembangunan beton-beton tersebut, air akan lebih deras mengalir ke hilir. Sudirman mengungkapkan bahwa penanganan banjir tidak bisa dilakukan dengan kebijakan temporal atas dasar kepanikan sesaat, kemudian melupakan persoalan yang ada beserta upaya penyelesaiannya setelah bencana banjir sudah lewat.  “Pemulihan sungai di luar negeri itu sudah mengarah ke restorasi (beton dibongkar dan mengembalikan sungai ke kondisi alamiah), itulah normalnya atau alaminya kondisi sungai. Bukan normalisasi versi teknokrat dengan turap beton, sebuah kondisi sungai yang sangat tidak normal,” jelas Sudirman saat dihubungi oleh Greeners, Jakarta.

Menurutnya, kebijakan yang diambil pemerintah harus dilakukan secara terencana dan untuk jangka panjang dalam sebuah master plan. Rencana inti tersebut dirancang secara komprehensif dan terpadu antar kementerian dan berintegrasi dengan pemerintah daerah di sepanjang daerah aliran sungai atau DAS Ciliwung. Penerapan rencana ini nantinya akan lintas sektoral dan struktural, termasuk dalam hal pengawasan dan penegakan aturan hukum. Pemerintah, lanjut Sudirman, harus memperhatikan juga keberlangsungan hutan di hulu Ciliwung dan catchment area (daerah tangkapan air), serta Daerah Aliran Sungai (DAS) karena sungai dengan bentuk alamiah mempunyai fungsi ekologi sebagai resapan air, menstabilkan kecepatan arus sungai, filtrasi pencemar dan sedimen, vegetasi riparian, serta sebagai habitat ekosistem keanekaragaman hayati seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2011 tentang Sungai.

Sungai, lanjutnya, hanyalah indikator. Badan sungai sebagai permukaan tanah terendah (Jakarta) hanyalah penerima akibat dampak diatasnya. Cakupan luas yang harus diperbaiki adalah DAS (Watershed). DAS harus diperbaiki menyeluruh dan komprehensif sehingga air hujan dari permukaan yang turun ke sungai dapat dikurangi secara signifikan dan terserap ke tanah dan pohon oleh ruang terbuka hijau maupun penampungan air situ/waduk.

Penguatan bantaran juga dapat dilakukan dengan pendekatan bio-engineering, misalnya dengan beronjong (perkuatan tebing dengan kawat berisi batu batu kali) dan penanaman pohon di sempadan sungai seperti yang direkomendasikan Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2011 tentang Sungai. DAS-nya harus diperbanyak, Ruang Terbuka Hijau dan Ruang Terbuka Birunya juga diperhatikan, itu yang dikejar bukan betonisasi yang di luar negeri juga sudah dilarang. 

Tanggapan juga datang dari Komunitas Peduli Ciliwung (KPC), pendiri KPC, Hari Yanto menilai, normalisasi yang dilakukan hanya dengan cara membetonisasi bantaran justru malah makin memperparah kondisi Ciliwung. Sebab, karakteristik aliran sungai ini ialah deras dan curam dari hulu menuju hilir. "Jangan betonisasi, tapi justru biarkan tanah-tanah yang kaya sekarang biar ada resapan. Terus ditumbuhi rindangan pohon di bantarannya. Paling tidak (air) masih bisa diserap oleh tanah. Kalau saat ini kan, jadi alih fungsi, privatisasi yang menyebabkan makan korban (jiwa)," kata Hari kepada merdeka.com. Maka dari itu, Hari mengharapkan agar KemenPU tidak sewenang-wenang melakukan normalisasi dengan caranya sendiri. Lantaran, bila bantaran sungai dibeton, maka derasnya aliran bakal bertambah cepat menuju hilirnya. "Kembalikan lagi ke alamnya. Kalau beton, semakin cepat (aliran air) ke hilirnya," tegasnya.

Sumber : 
JakartaBisnis