Pancoran, Wilayah Dengan Jumlah Taman Paling Sedikit di Jakarta Selatan



Sederet berita yang kita saksikan kemarin dan hari ini harusnya menyadarkan kita bahwa Jakarta, tengah menuju gejala bunuh diri ekologis dan bunuh diri perkotaan.

Saat banyak warga sudah trauma dengan dampak banjir seperti kemarin – kemarin, saat banyak yang mengungsi serta korban berjatuhan, Ruang Terbuka Hijau (RTH) banyak dirindukan dan banyak dijanjikan oleh para elite. Namun saat banjir atau musim hujan sudah reda, maka semua janji itu seperti menguap ke angkasa.  

Pemerintah pun sering obral janji lagi untuk membenahi lingkungan. Padahal yang kita lihat sebenarnya tidak ada hal baru dalam permasalahan dan pembenahan ibu kota kita ini. Yang kita rasakan saat ini, pemerintah daerah tidak banyak melakukan terobosan cerdas dan kreatif dalam membenahi lingkungan dan juga RTH. Ujung – ujungnya wargalah yang selalu dituntut siap mengalami déjà vu bencana ekologis setiap tahunnya.

Pada musim hujan yang lalu maupun yang akan datang, akan banyak terjadi genangan dimana – mana dengan area yang juga semakin meluas. Ini adalah akibat RTH yang sudah semakin sempit dan terus diabaikan. Misalnya saja taman Bangka seluas 26.791 M2 di Kelurahan Duren Tiga yang masih terbengkalai.

Menurut Kepala Suku Dinas Pertamanan Jakarta Selatan, Marfuah mengatakan bahwa Pancoran adalah wilayah di Jakarta Selatan dengan jumlah RTH paling sedikit,  tidak mencapai 10 persen. Sementara Wakil Gubernur DKI Jakarta juga berjanji menargetkan pada tahun 2015 mendatang, RTH di Ibukota dapat bertambah hingga 50 hektare. 

Ironinya, janji elite Jakarta ini tidak dibarengi oleh kepedulian para pengembang dalam melakukan penghijauan lingkungan sebagai kewajiban fasilitas sosial (fasos) maupun fasilitas umum (fasum). Misalnya untuk pembangunan dan pemeliharaan taman maupun ruang terbuka hijau di lokasi masing-masing. Contohnya saja pengembang Kalibata Residence dan pengembang Plaza Kalibata yang masih cuek untuk menyerahkan fasos dan fasumnya dengan membuat taman. Akibatnya lingkungan di sini tepatnya di jalan layang Kalibata masih terlihat gersang. 

Jakarta makin padat, makin miskin ruang terbuka hijau (RTH). Padahal RTH sangat penting untuk medukung kegiatan sosial, ekonomi, dan kebudayaan warga DKI Jakarta. Selain menjadi tempat yang nyaman bagi interaksi sosial warga, RTH juga mampu mengurangi persoalan polusi serta banjir.

Jakarta sebaiknya jangan hanya dibangun berdasarkan motivasi bisnis dan keuntungan semata. Pemerintah daerah jangan hanya berpihak kepada pihak – pihak yang mencari keuntungan saja tanpa memperhatikan masa depan Jakarta.

Beberapa kali kita jumpai, penutupan lahan dan ruang terbuka dilakukan secara sembarangan, sehingga pori – pori tanah pun berkurang. Jakarta adalah salah satu kota yang berada pada peringkat teratas di antara 11 kota besar Asia yang rawan terkena dampak perubahan iklim. 

RTH sebagai penyeimbang ekosistem kota, baik itu system hidrologi, klimatologi, keaneragaman hayati, maupun system ekologi lainnya, bertujuan meningkatkan kualitas lingkungan hidup, estetika kota, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat.

Ada banyak peraturan perundang – undangan yang mendukung tersedianya RTH ini, diantaranya UU No. 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, UU No.24/2007 tentang penanggulangan bencana  , UU No. 26/2007 tentang penataan ruang, UU No 7/2004 tentang pengelolaan sumber daya air, serta UU No. 28/2002 tentang bangunan gedung. Dalam UU No.24/2007 disebutkan bahwa ruang evakuasi bencana merupakan bagian dari RTH kota. Kemudian dalam UU NO.26/2007  juga disebutkan bahwa penataan ruang kota disyaratkan memiliki RTH minimal 30 persen dari total luas kota secara keseluruhan.

Banyak hal yang masih kadang menjadi alasan untuk menunda sebuah kota mempunyai RTH 30 persen, diantaranya adalah keterbatasan lahan, dana yang tersedia, dan mahalnya harga tanah. Padahal kalau Pemerintah daerah kreatif, lahan – lahan yang selama ini terlantar dapat disulap menjadi taman dan jalur hijau sebagai daerah resapan air dan paru – paru kota. Pemda harus membuang cara berpikir “pesimis defensive” dengan berbagai alasannya di atas, tetapi sebaliknya Pemda harus berpikir “optimis progresif” dalam mencapai RTH 30 persen. Mungkin Pemprov DKI perlu sedikit mencontek Curitiba di Brasil, yang mana disana busway nya sukses dan RTH nya juga sukses. 

Kini ada anggaran sebesar Rp 19 Miliar dan akan digunakan oleh dinas pertamanan untuk memperbaiki serta menambah RTH yang ada. Mari kita awasi penggunaan anggaran ini, karena sesungguhnya dana tersebut adalah dari rakyat yang harus digunakan sepenuhnya untuk kepentingan, keamanan, kenyamanan dan keselamatan rakyat.

Sumber :