Sumber Daya Alam: Berkah atau Kutukan ?
Sumber daya alam yang berlimpah
sering dianggap sebagai keuntungan, keberkahan atau anugerah bagi suatu daerah
atau Negara. Arab Saudi dan Norwegia
berhak dianggap negara kaya, karena memimpin dalam hal produksi minyak dan gas.
Rakyatnya juga sangat kaya – kaya, PDB perkapitanya sangat tinggi. Aliran uang
dari sumber daya alam membantu ekonomi, bahkan sampai mampu menciptakan rasa
aman warganya. Selain itu, sumber daya alam
pertanian juga dimainkan secara apik oleh Amerika dan Perancis, dengan
mengekspor hasil pertaniannya ke seluruh dunia.
Selain industri mobil, minyak juga masih menjadi komoditi ekspor utama negara
Inggris. Sementara Belanda melakukan
ekspor besar – besaran gas laut utaranya.
Namun sumber daya alam tidak
serta merta langsung menciptakan kemapanan, kesejahteraan dan juga rasa aman
rakyat. Contohnya adalah Irak, ia
memiliki cadangan minyak yang besar tetapi sayangnya tidak termanfaatkan secara
optimal. Rusia pun begitu, memiliki jumlah keanekaragaman terbesar dalam hal
sumber daya alam tetapi belum dikelola
maksimal sehingga belum sangat kompetitif. Negara – Negara yang mengikuti pola yang sama
adalah Afrika Selatan, Brasil, India, termasuk juga Indonesia. Kesemuanya itu
adalah Negara – Negara yang sangat kaya dalam hal sumber daya alam tetapi
ketinggalan dalam pengembangannya.
Negara – Negara itu terlalu fokus dan tergantung pada penggalian sumber
daya alam untuk kemakmuran, tetapi tidak fokus untuk mengelola sumber daya alam
tersebut menjadi produk lain yang punya daya saing lebih.
Jadi, memiliki sumber daya alam
itu merupakan “anugerah” atau “kutukan” ? Kita bisa menengok sebentar ke Negara
– Negara yang “lebih miskin” sumber daya alamnya, seperti Singapura, Jepang,
Swiss dan Irlandia, mereka terlihat lebih maju dalam hal daya saing negaranya.
Mereka sangat fokus pada transformasi sumber daya alam yang mereka impor menjadi produk lain yang mempunyai
nilai daya saing lebih.
Salah satu sumber daya alam
berupa hutan, apabila dikelola sebagai sumber daya alam yang terus diperbaharui
dan diatur secara ketat penebangannya maka itu akan menghasilkan sebuah daya
saing. Misalnya, pohon tidak boleh di tebang sebelum mencapai
usia tertentu dan penanaman pohon baru
adalah wajib. Di Eropa saat ini, lebih dari 31 % permukaan wilayahnya telah
ditutupi oleh hutan dan ini terus meningkat persentasenya tiap tahun, sebagai
akibatnya kini di Eropa lebih banyak pohon di banding seratus tahun yang lalu.
Alangkah bagusnya, kalau kebijakan seperti itu diterapkan juga di Indonesia
sehingga penebangan hutan menjadi terkendali, teratur. Skema penanaman kembali
pohon juga akan tercukupi dengan kebijakan seperti itu. Negara bekas Jerman timur pernah mengalami
tingkat kerusakan hutan tertinggi sewaktu masih menjadi Negara komunis. Bagian Jerman
Timur merupakan tanah yang tandus akibat polusi ekspoitasi sumber daya yang
tidak bertanggung jawab. Namun setelah
reunifikasi Jerman, terbukti Negara ini mencapai kesuksesan, meski dengan biaya
lingkungan yang tinggi.
Jika fokus pengelolaan sumber
daya alam yang tidak bisa diperbaharui
tidak diarahkan untuk investasi
pembangunan daya saing di masa depan maka ini akan menghilangkan
eksistensi kekayaan pada generasi mendatang. Walaupun godaan sumbangan PDB yang
besar dari ekspor sumber daya alam yang
tidak dapat diperbaharui begitu sangat besar, namun tetap saja itu bukan
penggerak daya saing. Hasil eksploitasi
sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui ini harus diinvestasikan pada
alat – alat produksi masa depan, seperti modal sumber daya manusia, pabrik, dan
juga peralatan. Mari kita lihat Dubai, yang
merupakan tetangganya Abu Dhabi “yang makmur”
itu. Dubai merupakan salah satu Negara Uni Emirat Arab yang hanya
memiliki jumlah minyak terbatas, mungkin hanya tersisa kurang dari 20 tahun
lagi. Maka para pemimpin Dubai kemudian memutuskan menggunakan keuntungan
minyaknya saat itu untuk melakukan penganekaragaman ekonomi, mempromosikan
pengembangan kegiatan berbasis teknologi, seperti internet dan multimedia,
pusat keuangan lepas pantai serta industri pariwisata secara besar – besaran. Hasilnya
kita bisa bandingkan saat ini, daya saing antara Dubai dan Abu Dhabi. Selain itu, kita juga mengetahui bahwa
Norwegia melakukan tujuan yang sama dengan strategi yang sedikit berbeda.
Negaralah yang terutama harus
memiliki kebijakan dalam hal sumber daya
alam. Kesinambungan merupakan daya tarik tersendiri bagi semua pihak. Dalam sistem
nilai modern, kita mengetahui bahwa sesungguhnya kita tidak memiliki asset
sumber daya alam saat ini, kita hanyalah pelindung dan penjaga generasi yang
akan datang. Oleh karenanya untuk wilayah Jakarta ini kita harus fokus untuk membangun manusianya dengan semua fasilitas yang mendukung dan menyertainya. Hal ini karena Jakarta itu begitu miskinnya dengan sumber daya alam, maka roadmap pengembangan Jakarta harus diarahkan menuju pengembangan dan pembangunan sumber daya manusianya, meningkatkan daya saing manusianya.
dari beberapa sumber.