Kebijakan Sosial adalah “Anak Kandung” Negara Kesejahteraan


Sejahtera adalah indikator kenyamanan hidup yang paling banyak dipakai sekaligus ingin dicapai oleh setiap manusia atau kelompok manusia. Bagitu pula dalam konteks kepemimpinan dan pengelolaan kekuasaan. Setiap pemimpin atau calon pemimpin secara ideal menginginkan tercapainya kesejahteraan atas rakyat atau negara/ daerah yang dipimpinnnya. Tidak mengherankan ketika jargon sejahtera banyak dipakai calon presiden atau calon kepala daerah maupun caleg partai politik dalam kampanye pemilihan yang berlangsung.

Sesungguhnya cita – cita kesejahteraan atas kepeminpinan suatu bangsa juga sudah dicetuskan oleh Nabi Ibrahim as ribuan tahun yang lalu. Di tanah Mekkah yang panas, Nabi Ibrahim as sudah menancapkan cita – cita kesejahteraan melalui doa “Ya Tuhan Kami, jadikanlah (negeri Mekkah) ini negeri yang aman dan berilah rezeki berupa buah – buahan kepada penduduknya (Q.S 2 : 126). Rasa aman dan ketersediaan kebutuhan pokok bagi penduduk adalah dua indikator utama kesejahteraan suatu negeri. Demikian pula apa yang diwujudkan Nabi Sulaiman dan nabi Yusuf dalam kepemimpinannya. Para pendiri bangsa inipun sadar telah menetapkan visi kesejahteraan dalam membangun Indonesia dengan memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimanan bagian ndalam pembukaan konstitusi kita.


Namun dalam realitasnya, cita – cita kesejahteraan yang dimunculkan dalam jargon seringkali jauh dari kenyataan dalam implementasinya. Jargon sejahtera ternyata tidak diikuti dengan kebijakan yang pro kesejahteraan ketika terpilih jadi pemimpin. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya penyimpangan adalah tidak adanya visi kesejahteraan yang sesungguhnya dari sang pemimpin dalam membuat kebijakan dan program pembangunan bagi masyarakatnya.


Visi kesejahteraan ditandai dengan kebijakan sosial yang menjadi unsur utama dalam kebijakan pembangunan. Dalam konsep negara kesejahteraan (wel-fare state), kebijakan sosial adalah “anak kandung” konsep negara kesejahteraan yang mengamanatkan kesejahteraan dan jaminan sosial bagi warganya.


Salah satu kesalahan mendasar dalam kegagalan mewujudkan kesejahteraan masyarakat pada banyak pemerintahan adalah ketika kebijakan sosial hanya menjadi npelengkap dari kebijakan pembangunan yang dijalankan meskipun jargon sejahtera melekat pada pemerintahan tersebut. Para pengelola kebijakan tersebut terbuai dengan berbagai model kebijakan ekonomi dan target ambisius pembnguan infrastruktur monumental namun menyisihkan kebijakan sosial berorientasi kesejahteraan rakyat.


Modernisasi yang terjadi dengan arus kapitalisme yang demikian besar tidak boleh mengabaikan aspek kesejahteraan masyarakat. Sejarah mencatat bahwa semakin maju dan demokratis suatu negara, semakin tinggi perhatian negara tersebut terhadap pentingnya kebijakan sosial. Kebijakan sosial yang termarjinalkan justru menjadi ciri suatu kepempimpinan yang cenderung otoriter.