Perjuangan Anti Korupsi itu Ternyata 'Pembersihan' Barisan Lawan
Sebagaimana diketahui,
kehidupan sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia saat ini diwarnai dengan
ketidakpastian dan kemajemukan permasalahan. Wajar memang suatu Negara berjalan
dengan permasalahan. Tetapi bila tenggelam dalam permasalahan terus – menerus,
itulah yang menjadikan permasalahan di Indonesia menjadi tidak wajar.
Pertentangan antar elite semakin hari semakin memuakan dan
menjemukan. Masing – masing pihak sepertinya melupakan esensi kehadiran mereka di
pentas kepemimpinan nasional; bahwa mereka hadir bukan untuk ‘belajar’ dan ‘merasa
besar’; bahwa mereka hadir adalah bukan untuk mempertentangkan kepentingan
pribadi dan melakukan pembelaan – pembelaan dan kepanikan terbuka! Tetapi lebih
pada kepercayaan akan kematangan dan kedewasaan berpikir dan bersikap.
Hampir tidak pernah lagi kita mendengar perdebatan yang
mengedepankan kepentingan umum, semuanya bersifat self centered, orientasi
pribadi dan golongan. Sebagian hal memang diperbincangkan, keadilan dan
penegakan hukum memang dipermasalahkan. Tetapi rasanya hanya digunakan sebagai
lips service saja. Bahkan yang lebih parahnya, digunakan sebagai muntahan –
muntahan peluru yang ditembakan kepada mereka yang berseberangan.
Semangat memberantas KKN dan korupsi adalah bukan karena
bagian dari perjuangan antikorupsi dan bukan untuk membersihkan negeri ini dari
kutu – kutu dan bajing loncat. Tetapi lebih pada ‘pembersihan’ barisan lawan.
Panggung politik dijadikan sarana untuk pembelaan diri, cuci – cuci baju dan
bagi – bagi barang dagangan. Hal ini tentu saja lebih buruk ketimbang
penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan itu sendiri.
Capek kita menyaksikan pementasan drama tanpa ada babak
akhir. Capek rasanya kita menanatikan judul berganti. Alih – alih peralihan
kepemimpinan adalah sesuatu hal
yang ditunggu, demi sebuah apa yang disebut perbaikan dan pembenahan, yang
terjadi justru kecemasan dan ketakutan; cemas bila penggantinya adalah mereka
yang lagi – lagi masih harus ‘belajar’; cemas dan takut bila mereka yang
menggantikan justru mempunyai kelebihan, kelebihan pada keburukannya bukan pada
kebaikan. Yakni lebih tidak mau tergantikan, lebih ‘buas’, lebih keras kepala,
lebih otoriter dan lebih serakah; cemas dan takut apabila kelak yang menggantikan
kepemimpinan yang ada ini adalah mereka
yang merasa besar dan bukan yang berjiwa besar.
Sambil menunggu hadirnya pemimpin yang sehati dengan nasib
rakyat kebanyakan, maka sebaiknya kita tidak menunggunya! Sambil menunggu
datangnya pemimpin yang arif nan shaleh, maka sebaiknya kita tidak
mengharapkannya! Lho? Maksudnya apa ini? Maksudnya, ya tidak usah menunggu
hadirnya pemimpin seperti itu! Berjalan saja yang benar dan baik, hingga Dia
memberikan kita yang terbaik, termasuk masalah pemimpin bangsa.
Masa depan sepenuhnya ada di tangan sendiri. Buang jauh –
jauh mimpi akan datangnya Satria Piningit ataupun Ratu Adil dan bermimpi bisa
menggantungkan masa depan kepada satu, dua, atau tiga orang saja din negeri ini.
Kendali nasib hanya ada di motivasi yang
kuat akan keinginan mengubah hidup dan kehidupan menjadi lebih baik, bukan pada
janji yang tak pernah terbukti. Satria Piningit dan Ratu Adil adalah motivasi
hati.
Pada akhirnya, bila ini disepakati kita semua memang harus
berpijak pada kaki kita sendiri dan berusaha menggapai kebahagiaan dengan
tangan kita sendiri dan berhenti menjadi bangsa pengeluh, yang mengemis bantuan
ke sana kemari.
Hanya kepada Yang Satu kita semua boleh berharap, yaitu
kepada Allah Rabbul ‘Alamin, Tuhan Pemilik alam ini.Karena siapa pun yang
menjadi pemimpin bangsa ini tentu tetaplah ia seorang manusia, bukan Tuhan! Dan
manusia adalah manusia. Seberapa agungnya pun kekuasaan dia, seberapa luas pun
ilmu dan kebijaksanaannya, dan seberapa banyak pun hartanya, tetaplah ia adalah
manusia. Manusia kerap ada dustanya. Manusia pasti ada batasnya.
di sadur dari Buku Membumikan Rahmat Allah karya Ust. Yusuf Mansur hal xxiv - xxvii