Jadinya Kapan ERP Diterapkan di Jakarta ?
Pemprov DKI Jakarta telah
membatalkan "wacana" menerapkan sistem ganjil-genap untuk mengendalikan jumlah kendaraan
yang sebelumnya sudah diumumkannya ke publik. Sebagai ganti ganjil-genap kemudian
datanglah "wacana baru" Electronic Road Pricing
(ERP).
Pemerintah DKI
Jakarta akan menerapkan kebijakan jalan berbayar atau Electronic Road Pricing
(ERP) katanya mulai Januari 2014. Namun sampai bulan Januari habis, kita belum
melihat dan mendengar lagi sudah sampai mana prosesnya. Terakhir proyek ini diundur lagi penerapanya menjadi
April 2014 atau kuartal pertama di 2014. Kita tidak tahu mentoknya dimana, mungkin
masih tarik ulur dalam menghitung model bisnisnya yang lebih murah, tapi keuntungan yang
dihasilkan bisa lebih banyak. Karenanya anggarannya juga memang tidak kecil,
butuh sampai angka Rp 2 triliun. Metode
pembayarannya seperti apa, juga belum dapat dipastikan apakah menggunakan kartu
debit, e-money, e-toll atau ada kartu khusus yang lain. Kalau diundur terus, warga Jakarta bisa - bisa tua di jalan.
Tuntutan untuk segera diimplementasikannya model
pengendalian kepadatan lalu-lintas melalui penerapan penggunaan jalur jalan berbayar
(Electronic Road Pricing) di Jakarta semakin gencar dari berbagai pihak. sampai Wakil Presiden pun
juga ikut – ikutan merekomendasikan
untuk penerapan ERP untuk mengatasi
kemacetan Jakarta. Namun sampai saat ini pemerintah belum mengeluarkan
Peraturan Pemerintah (PP) yang menjadi acuan penerapan ERP ini sebagai peraturan
pelaksana dari UU No. 22 Tahun 2009. Padahal PP ini diharapkan dapat memberikan
panduan yang lebih jelas bagi daerah dalam menerapkan ERP, khususnya terkait
mekanisme penarikan pembayaran dan besaran pungutan (congestion charging) yang
dikenakan. Apalagi dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan
Retribusi Daerah juga belum disebutkan secara khusus bentuk pungutan (pajak
atau retribusi) atas jalan berbayar ini dan Peraturan Pemerintah sebagai
penerapan aplikatif dari UU No. 28 Tahun 2009 juga belum dikeluarkan.
Kebutuhan untuk penerapan ERP dalam mengatasi kemacetan
sendiri sudah sangat mendesak. Kemacetan di Jakarta sudah dalam taraf akut dan menimbulkan
kerugian yang sangat besar. Sistem transportasi belum efisien sehingga menghambat
aktifitas ekonomi. Dari total waktu
perjalanan pada beberapa ruas jalan, 40%
merupakan waktu bergerak dan 60% merupakan waktu hambatan. Kecepatan rata-rata lalu-lintas
adalah 20.21 km/jam. Studi yang dilakukan USAID memperkirakan Kerugian ekonomi
akibat kemacetan yang mencapai 27,76 triliun.
Di tengah berbagai upaya dan cara yang dilakukan untuk
mengatasi persoalan kemacetan di Jakarta, penerapan ERP menjadi salah satu alternatif
karena dinilai sesuai dengan kondisi Jakarta. ERP tidak membutuhkan adanya
penambahan infrastruktur khusus, lahan baru dan biaya besar. ERP sesuai dengan kondisi
Jakarta yang mengalami masalah dimana sangat sulit meningkatkan rasio jalan
terhadap jumlah kendaraan karena keterbatasan dan mahalnya harga lahan di
Jakarta. Dengan kondisi demikian, strategi yang dapat dilakukan adalah
mengendalikan perjalanan Transport
Demand Management (TDM). TDM
merupakan usaha untuk memperkecil kebutuhan akan transportasi sehingga pergerakan
yang ditimbulkannya masih berada dalam syarat batas kondisi sosial, lingkungan
dan operasional Electronic Road Pricing (ERP) merupakan bagian dari TDM yang berupa usaha pembatasan kendaraan pada waktu dan
lokasi tertentu dengan memperhitungkan kondisi lalu-lintas, ketersediaan
angkutan umum dan kualitas lingkungan sehingga diharapkan terjadi keseimbangan antara
demand (lalu-lintas) dengan supply (ruang jalan)”.
Meskipun dinilai memiliki beberapa keunggulan sebagai
alternatif mengatasi persoalan kemacetan dengan pendekatan Transport Demand Management, namun implementasi ERP harus melihat beberapa
tantangan, diantaranya adalah:
Pertama, apakah memang ERP merupakan alternatif yang paling
baik dari strategi TDM lainnya? Amerika Serikat menerapkan beberapa alternatif
penerapan Congestion Charging untuk pengendalian kemacetan dengan strategi TDM
yaitu (i) pembedaan pajak kendaraan (differentialfuel taxation), (ii) pajak karyawan (employee tax), (iii) pajak parkir (parking tax), (iv) tiket harian (daily licences), dan (v) pembiayaan langsung (direct pricing). ERP sendiri sebagai TDM memiliki kelebihan dan
kekurangan. Kelebihan ERP adalah mendorong pengurangan penggunaan kendaraan pribadi
pada jalur utama dan jam sibuk dan ada/didapatinya penerimaan yang bisa
digunakan untuk pembangunan transportasi publik. Kekurangan ERP adalah ada
biaya yang harus dibayar publik pengguna jalan yang menjadi jalur ERP dan
potensial terjadinya penumpukan lalu-lintas pada jalur non ERP. Sisi positif
lanjutannya adalah, dana yang dikumpulkan dari publik dapat dikelola secara earmarking policy dengan mengalokasikannya secara khusus bagi
pemeliharaan dan penambahan sarana transportasi massal.
Kedua, Bagaimana tingkat keberhasilan dalam mengendalikan lalu-lintas? Pengalaman
penerapan ERP di Kota London, Inggris menunjukkan ERP berhasil menurunkan volume
lalu-lintas kendaraan pada jalur utama yang diterapkan ERP sampai 15 %. ERP
juga berhasil menurunkan kemacetan di jalan sampai 30%.Dari sisi dampaknya terhadp
kualitas udara, penetapan ERP yang mengurangi volume lalu-lintas juga berdampak
pada penurunan polusi sampai 12%. Penerapan ERP di Stockholm,
Swedia menunjukkan menurunnya prosentase lalu-lintas ke/dari pusat kota dari
20-25% menjadi 10-15% sejak diberlakukannya ERP pada ruas jalan utama.
Sementara pengalaman penerapan ERP di Singapura sejak 1989 menunjukkan volume
lalu-lintas yang masuk ke kawasan pembatasan turun sampai 20-24% dari 271.000
menjadi 206.000 per hari. Tingkat kecepatan kendaraan juga meningkat dari 30-
35 km/jam menjadi 40-45 km/jam. Terjadi peningkatan kecepatan kendaraan rata-rata
sebesar 22%.
Dinas Perhubungan DKI
Jakarta pun saat ini masih mengkaji sistem
Electronic Road Pricing (ERP) yang akan diterapkan di Ibu Kota, yang mana
merupakan gabungan dari Singapura dan Stockholm, Swedia.
Ketiga, bagaimana penentuan koridor yang akan dijadikan jalur penerapan ERP? Hak ini terkait dengan juga dengan pertanyaan bagaimana “relasinya” dengan koridor busway yang sudah ada? Bagaimana kaitannya dengan manajemen dan pengaturan perparkiran khususnya masih banyaknya parkir on street di ruas jalan di Jakarta?
Keempat, Apakah ERP perlu didukung sistem lain untuk mengurangi
dampaknya? Salah satu bentuk kombinasi pengaturan ERP adalah dengan dikombinasi
dengan pengaturan nomor kendaraan (ganjil/genap) pada koridor lain. Apakah
kombinasi seperti ini akan atau bisa diterapkan? Pengalaman London : sistem
pembiayaan berbasiskan wilayah (di pusat kota London), waktu (jam – jam kerja)
dan penggunaan izin tambahan (supplementary licences). Di Singapura ERP
dilakukan dengan system “entry
licensing” atau “point based charge”. Aplikasi ERP juga didukung dengan kebijakan VQS
(Vehicle Quota System) yang mengatur pertumbuhan jumlah kendaraan secara
nasional sesuai kapasitas jaringan jalan melalui aturan fiskal dan izin
pembelian kendaraan baru dilakukan dengan mekanisme tender.
Kelima, Bagaimana kesiapan transportasi publik untuk mengantisipasi
pengalihan moda? Hal ini terkait dengan kemungkinan alih penggunaan moda
transportasi jika diberlakukan ERP pada ruas jalan utama. Pengalaman respon
penerapan ERP di negara lain menunjukkan terjadinya beberapa alternatif pola
perubahan perilaku penggunaan moda dengan diberlakukannya ERP yaitu (i) melalui
jalur ERP dan membayar ERP, (ii) merubah waktu perjalanan, (iii) merubah rute
perjalanan, (iv) menggunakan moda lain, (v) menggunakan fasilitas park-and-ride, (vi) meningkatkan keterisian penumpang didalam
kendaraan atau (vii) membatalkan perjalanannya.
Hasil Studi terhadap rencana penerapan pengendalian
lalu-lintas berbayar (Nanang dan Ofyar) : 45% memilih menggunakan kendaraan
umum dan 37,5% tetap bertahan menggunakan kendaraan pribadi.
Keenam, tantangan menyangkut berapa besaran tariff ERP yang
tepat untuk diberlakukan? Studi Nanang dan Ofyar, lebih dari 70%
responden menerimanya jika besaran charging berada pada level Rp. 3.000 ke bawah. Perlu dikaji juga perbandingannya
dengan tarif parkir di jalan. Dalam implementasinya, penerapan Congestion Charging di berbagai kota di dunia ternyata tetap memerlukan
adanya penegakan hukum untuk memonitor dan mengendalikan sistem pembayaran (charging).
Ketujuh, tantangan yang terkait dengan kesiapan penggunaan
teknologinya. Teknologi diperlukan untuk mengintegrasikan sistem pengumpulan
biaya (feecollection system) dengan penegakan hukum. Teknologinya harus
menjamin diperoleh ketelitian dan keandalan yang tinggi (accuracy and reliability) dan menjaga kerahasiaan transaksi masing-masing
pengendara, dan keamanan terhadap pencolengan (vandalisme). Singapura menggunakan transponder dengan sistem electronic cash dengan smart card.
Kedelapan, bagaimana perbandingan antara cost dengan revenue yang akan didapat? Hal ini mengingat infrastruktur ERP tergolong cukup
mahal. Infrastruktur ERP terdiri dari (i) Cash Card, yaitu peralatan yang terdapat di dalam kendaraan atau IU (in-vehicle unit) yang dilengkapi dengan smart card, (ii) Gerbang ERP, yaitu berupa control point yang berlokasi pada wilayah koridor dan ruas jalan sebagai
pintu-pintu masuk ke wilayah pembatasan lalulintas, (iii) pusat pengendalian,
merupakan alat pengendali yang sekaligus memantau setiap penjuru wilayah pembatasan
lalu- lintas, (iv) Sistem Data Base, yang merupakan pendukung pengendalian data
kendaraan sekaligus mendukung deteksi pada gerbang ERP.
Kesembilan, bagaimana mengantisipasi kemacetan pada daerah
diluar area ERP? Pengalaman di London, tidak terjadi dampak lalu-lintas yang
besar di daerah diluar area congestion
charging. Pengalaman Stockholm
(Swedia): meningkatnya aksesibilitas yang ditandai dengan penurunan antrian di
pusat kota dan daerah-daerah dekat pusat kota sebesar 30-50%.
Kesepuluh, terkait dengan timeframe untuk implementasinya, apakah bisa diterapkan April 2014 mengingat
kemacetan semakin akut? Terobosan payung hukum yang dapat dilakukan untuk mengatasi
belum terbitnya PP? Bisakah dengan Pergub yang bersifat sementara? Bagaimana
pengelolaan pungutannya dalam mekanisme keuangan daerah? Hal-hal ini harus
dijawab oleh Pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam penerapan ERP di Jakarta.
Dari sisi persiapan teknis, time
frame ini menyangkut bagaimana
hasil Studi Detail Engineering Design
(DED) yang dilakukan?
Bagai Studi Master Plannya? Kapan rencana akan dilakukan ujicoba untuk penerapan?
Bagaimana mengantisipasi PP Operasional (turunan UU 22/2009) dan PP pungutan
biaya (turunan UU 28/2009) yang belum keluar? Hal-hal tersebut juga harus
terjawab dan harus jelas terlebih dahulu bagi publik sebelum melakukan
implementasi ERP.
Sementara Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya
menyatakan hingga kini konsep ERP masih dalam proses pembahasan lanjut di Unit
Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Payung hukum penerapan sistem itu sendiri juga
masih dalam proses di Pemda sebagai pihak yang mengeluarkan perda dan
persetujuan dari Kemenkeu.
Direktur Jenderal
Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Marwanto Harjowiryono, mengatakan
sebelum jalan berbayar diterapkan, DKI perlu merumuskan peraturan daerah
tentang sistem itu. Peraturan tersebut mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor
97 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas. “Tindak lanjut dari
peraturan pemerintah itu adalah peraturan daerah,” ujarnya.
Sementara Dishub DKI
menginginkan semua kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat juga
diatur agar dikenakan tarif ERP. Sayangnya dalam Peraturan Pemerintah (PP) No
97/2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan
Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing, kendaraan bermotor yang tidak dikenakan
retribusi yaitu motor. Kemudian dalam Undang-Undang No 28/2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah (PDRB) juga belum diatur pendapatan dari ERP
dimasukkan ke dalam pos khusus transportasi.
Dua aspek legal ini, PP No 97/2012 dan UU No 28/2009 harus dilakukan
revisi peraturan supaya motor bisa dimasukkan ke dalam kebijakan ERP dan
pendapatan ERP bisa dimasukkan ke pos transportasi umum.
Perda yang mengatur pelaksanaan ERP juga harus segera di susun. Aturan pelaksanaan ERP harusnya bisa digabungkan menjadi satu dalam rancangan perda transportasi, seperti t arif, ruas jalan atau kawasannya dan pemanfaatan dananya nanti diatur dalam perda. Retribusi yang diambil lewat mekanisme ERP tersebut juga harus digunakan untuk peningkatan pelayanan angkutan umum, sebagaimana disebutkan pada UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan yang tertuang dalam pasal 133 ayat 3.
Dirangkum dari beberapa sumber