Ego dan Superior Jakarta itu Menghancurkan




Salah satu kegagalan besar Pemprov DKI selama ini adalah karena kurangnya kerja sama dengan pemerintah daerah di sekitarnya. Mentang – mentang mempunyai APBD yang sangat besar, tahun 2014 sebesar Rp 72 triliun. Sebelumnya di tahun 2013, APBD Jakarta adalah Rp 50,1 triliun, tahun 2012 sebesar 41,3 triliun,  tahun 2011 sebesar Rp 27.95 triilun. APBD yang besar dan terus naik setiap tahun menjadikan Jakarta merasa bisa memecahkan persoalannya sendiri. Ego dan superior itulah, justru yang selanjutnya dapat menghancurkan Jakarta itu sendiri. Bencana banjir, tumpukan sampah, dan merebaknya sektor informal di Jakarta menjadi salah satunya contohnya. “Jakarta gagal melakukan redistribusi. Semua ingin dilakukannya sendiri, yang akhirnya jadi beban buat Jakarta, “ kata dosen Planologi Universitas Trisakti Jakarta, Yayat Supriatna.

Pemprov Jakarta juga dengan dalih sebagai kota jasa dan perdagangan “seenaknya” mengijinkan pembangunan pusat perbelanjaan. Sampai akhir 2013 kemarin, kurang lebih sudah ada 173 mall atau pusat perbelanjaan di Jakarta, belum lagi pembangunan apartemen serta perkantoran baru terus berjalan di Jakarta. Sementara kerja sama transportasi publik belum berjalan maksimal saat ini, hanya pengoperasian Transjabodetabek busline rute daerah sekitar Jakarta ke Jakarta. Idealnya Pemerintah DKI menyediakan transportasi publik yang memadai buat masyarakat di daerah peyangga yang dikembangkan Jakarta. Sehingga daerah – daerah penyangga juga dapat menjadi bagian dari pengembangan transportasi kota megapolitan Jakarta. Seyogyanya, daerah – daerah penyangga dan Jakarta perlu menjalin kerja sama dalam penyedian transportasi massal yang terintegrasi dan murah meriah.

“Pajak ingin dikeruk sebesar-besarnya dari kegiatan jasa dan perdagangan. Daerah – daerah sekitar nyaris tidak dipedulikan,” kata Erman Rustiadi, Direktur Pusat Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, IPB. Ironisnya di sisi lain, daerah sekitar Jakarta dijadikan daerah konservasi pencegah banjir, dan juga sebagai tempat pembuangan sampah. Nyaris tidak ada manfaat yang diperoleh daerah- daerah sekitar Jakarta dari aktivitas di Jakarta. Pembangunan dan penggusuran rumah warga di kampung kumuh di Jakarta,  juga akan berdampak pada daerah peyangga Jakarta. Warga Jakarta korban gusuran kebanyakan akan berpindah ke daerah pinggiran Jakarta.

Jakarta harus menghilangkan egonya, tujuh kabupaten dan kota di sekitar Jakarta harus mendapat manfaat dari aktivitas yang berlangsung di Jakarta. Pemimpin Jakarta harus berbicara informal secara periodik dengan bupati dan walikota sekitar Jakarta untuk membahas persoalan bersama. Sekat – sekat struktural harus dihilangkan karena kenyataannya para Bupati dan Walikota sekitar Jakarta (Bodetabek) merupakan pimpinan daerah otonom yang tidak berada di bawah Pemprov DKI Jakarta. Tidak mungkin DKI Jakarta membangun sendiri tanpa dukungan daerah sekitarnya. Institusi yang sekarang ada, yakni Badan Kerja Sama Pembangunan Jabodetabek, tidak efektif karena tidak ada dana, lemah dalam koordinasi, ketidak jelasan peran, serta masing - masing punya kepentingan sendiri – sendiri.

Terlebih lagi masalah banjir, tidak elok persoalan banjir dibebankan seluruhnya kepada kondisi daerah penyangga ibukota. Jakarta juga harus melakukan perbaikan akan tata kotanya. Jakarta harus menjadi kota yang baik bagi air, tidak membangun gedung-gedung seenaknya tanpa memperhatikan lingkungan.

Sikap egois Pemprov Jakarta menyebabkan ketidakseimbangan regional dan Jakarta jadi kelebihan beban. Kini masyarakat berpenghasilan menengah ke atas, merasa Jakarta sudah menjadi sangat sumpek dan tidak nyaman. Mereka mencari kawasan – kawasan baru di pinggiran Jakarta, seperti juga yang dilakukan sejumlah tokoh nasional. Mereka tinggal di wilayah Jawa Barat atau Banten, tetapi menikmati fasilitas yang dibangun Jakarta. Oleh karenanya Gubernur DKI Jakarta harus berlapang dada dan tulus membagi “kue pembangunan” dengan daerah – daerah disekitarnya.

disarikan dari beberapa sumber.