PILGUB DKI : EMANG MESTI HARUS ADA PASANGAN MILITERNYA YA?


Demokrat ngotot bahwa yang menampingi foke haruslah seorang militer, tak peduli ia datang dari parpol manapun dan itu harga mati…wow wow wow? Oleh karenanya Demokrat sudah meyiapkan salah satu kandidatnya yang juga adalah mantan militer yaitu Mayjen (Purn) Nachrowi Ramli mantan kepala Sekolah Sandi Negara untuk bertarung di Pilkada DKI.

Bukan hanya Demokrat, Partai Golkar pun demikian, awalnya akan mengusung Alex – Lulung Lunggana (PPP) tetapi akhirnya berubah menjadi Alex – Nono, Letjen (Purn) Marinir Nono Sampono adalah mantan komandan Paspamres era Presiden Megawati.

Begitu pun dengan PDIP yang melarang kadernya Jokowi untuk maju di pilkada DKI dan kemudian memunculkan mantan militer Mayjen (Purn) Adang Ruhiyatna untuk berduet dengan Foke.

Kita lihat juga beberapa calon independen, sederet nama - nama mantan militer mengisinya, diantaranya adalah Mantan Dan POM Mayjen (Purn) Hendardji Soepandji, Mayjen (Purn) Prijanto, dan lainnya.

Begitulah kenyataannya, sejumlah kandidat yang berasal dari berbagai latar belakang militer sudah mulai unjuk gigi. Namun, berdasarkan hasil survey yang digelar beberapa lembaga survey diantaranya Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), dimana menunjukkan bahwa tingkat elektabilitas tokoh militer, berada jauh di bawah tokoh sipil. Sehingga tabloid monitorindonesia menulisnya dengan judul "Cagub DKI Asal Militer Kurang Laku."

Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Gun Gun Heryanto juga menyebut fenomena pencalonan tokoh dari kalangan militer merupakan warisan orde lama. "Tradisi mapan ini juga membentuk persepsi yang kuat di era demokrasi elektoral, bahwa seolah-olah kandidat berlatarbelakang militer ini 'well-organized' saat diposisikan sebagai posisi DKI 1 ataupun DKI 2," kata Gun Gun. "Stigma 'strong leader' tidak selalu tepat dilekatkan dengan seseorang yang berasal dari latar belakang militer," pungkasnya.

Analis politik dari Charta Politika, Arya Fernandes juga mengatakan calon gubernur berlatar belakang militer tidak menjamin tingkat keterpilihan dalam pemungutan suara bulan Juli mendatang. "Dalam survei kami, calon berlatar belakang militer tidak menjadi faktor utama bagi publik untuk menentukan pilihannya," kata Arya.

Hal yang sama juga dikatakan sejarawan dan budayawan Betawi, Ridwan Saidi, beliau berpendapat bahwa Jakarta membutuhkan pemimpin yang berwibawa dan tegas. Meskipun demikian, bukan berarti Jakarta harus dipimpin seorang gubernur dari kalangan militer. "Jakarta perlu pemimpin yang tegas, tetapi tidak harus militer," kata Ridwan. Ridwan mencontohkan beberapa gubernur dari kalangan sipil yang dinilainya berprestasi dalam membangun Ibu Kota. Ia menyebut nama gubernur pertama Soewirjo, gubernur keempat Samsurijal, dan gubernur keenam Soemarno Sosroatmodjo. "Tentu saja ada Ali Sadikin (dari militer). Yang ke sini-sini (setelah Ali Sadikin) sudah enggak ada yang menonjol," lanjut Ridwan. Premanisme yang berkembang di Jakarta tidak bisa dijadikan alasan untuk memilih gubernur dari kalangan militer.

Memang pernah terbangun stigma di tengah masyarakat Jakarta, bahwa sebagai ibukota negara perlu pengamanaan ekstra, sehingga perlu Gubernur dari Militer maupun mantan Militer. Sebabnya banyak aset vital yang dimiliki oleh pemerintah atau swasta agar terjaga dari ancaman yang tidak diinginkan. Opini tersebut sah-sah saja, namun kini setelah reformasi bergulir pemikiran tersebut sudah usang dan harus di dekonstruksi. Faktor keamanan, menjaga lingkungan, bukan semata dibebankan kepada aparatur negara, dalam hal ini TNI–Polisi, tapi juga merupakan bentuk kesadaran warga untuk bertanggung jawab secara kolektif dalam menjaga lingkungannya.

Tentara yang purnawirawan memang sudah menjadi sipil, namun purnawirawan Indonesia banyak yang belum bisa melepas tabiat militernya ketika masuk politik. Menurut Almarhum Munir, belum ada syarat formal politik Indonesia yang bisa memisahkan antara purnawirawan dengan institusi militer. Purnawirawan militer akan sulit melepas gaya militerisme, karena pengalaman dengan struktur komando yang ketat, tanpa pertanyaan dan sentralisme pengambilan keputusan tanpa pernah ada konsultasi adalah salah satu gaya kepemimpinan militer.

Ada beberapa parpol yang berkilah bahwa memasang jenderal dalam pilkada DKI merupakan hal positif karena kalangan sipil kurang memiliki wewenang dan lemah dalam pengambilan keputusan. Pada tahun- tahun awal jaman Orde Baru, militer memegang sangat banyak posisi. Sebagian besar posisi dalam kabinet ada di tangan militer sementara dua pertiga dari gubernur provinsi adalah jenderal. Perwira dengan pangkat lebih rendah mengambil alih jabatan camat dan kepala desa. Namun setelah reformasi, ada perbaikan untuk itu semua karena sejumlah besar warga sipil yang kompeten menduduki posisi – posisi penting.

Banyak dari mereka merupakan akademisi, mereka mampu menunjukkan bahwa mereka lebih handal daripada perwira dalam menjalankan pemerintahan. Ada banyak contoh negara maju di Asia di mana militer tak pernah memainkan peran penting dalam politik seperti India, Singapura, dan Cina.

Bukan saatnya lagi berpikiran orang berlatar belakang militer selalu lebih baik dari orang sipil. Bukan masanya lagi menilai orang militer selalu lebih tegas dan berani dari sipil. Masalahnya, banyak juga jenderal yang tidak tegas, termasuk beberapa jenderal yang menduduki posisi strategis. Sebaliknya, dulu Bung Karno yang juga sipil, beliau dikagumi banyak orang, tegas disegani dunia internasional, dan mendapat berbagai julukan kebesaran, itu juga bukan karena dia sipil. Tapi, karena dia memang punya kemampuan untuk menjadi pemimpin, persoalannya sama sekali bukan soal sipil atau militer.

Apakah sipil atau mantan militer yang akan memimpin Jakarta? Tentunya sulit memprediksi, karena pertempuran di Pilkada ini dilakukan tidak menggunakan bedil atau meriam.

Oleh karenanya untuk memasuki Proses Pilkada DKI Jakarta mendatang, warga Jakarta sebaiknya tidak perlu lagi terjebak dalam berpikir militer atau sipil. Disamping gagasan tersebut telah usang, sebaiknya dalam merespon pembangun Jakarta ke depan diperlukan sosok kepemimpinan yang "Profesional , Berpengalaman, Suka Bekerja dan Tegas".