Maka Berbahagia dan Banggalah Menjadi Ibu Rumah Tangga
Tingkat partisipasi angkatan
kerja (TPAK) perempuan setiap tahun cenderung meningkat. Pada tahun 1996 sudah
mencapai 50 persen, pada tahun
2000 menjadi 70 persen.
Mereka menjadi mayoritas di sektor tembakau, tekstil, pakaian jadi, sepatu,
kimia, plastik, elektronik, dan peralatan profesional/ilmu pengetahuan. Belum lagi bila menyimak tenaga
kerja perempuan di sektor jasa, dan informal seperti pasar swalayan, biro-biro
perjalanan, pariwisata, pendidikan, dan lain-lain maka angkanya bisa jadi akan lebih besar.
Dengan kondisi yang seperti
ini, tidak aneh bila sangat sedikit perempuan yang berminat untuk beraktivitas
di rumah, mengurus rumah tangga, mendidik anak-anaknya. Malahan kini justru
dianggap aneh bila ada seorang perempuan (apalagi bila ia telah menyelesaikan
pendidikan tinggi) yang purnawaktu (full time) bekerja di rumah, menjadi ibu
rumah tangga, menjadi pengelola rumah tangga (domestic manager).
Sementara gerakan ke luar
rumah sudah mulai ditinggalkan oleh perempuan-perempuan di negara maju (yang
kerap dijadikan acuan oleh perempuan kita). Kini, perempuan global justru kian menggaungkan
ajakan back to family. Di Amerika Serikat kesadaran itu dimulai antara
lain dengan berdirinya yayasan ''Mothers at Home''. Yayasan yang
ketika baru berdiri hanya beranggotakan 700 orang namun sekarang telah mencapai
puluhan ribu orang, yayasan ini mengajak para ibu untuk bekerja di dalam rumah,
mendidik anak, dan merawat keluarganya.
Semestinya kita bertanya, ''Mengapa mereka membuat langkah spektakuler tersebut?'' Tak pelak karena mereka telah merasakan dampak dari gerakan ke luar rumah bagi keberdayaan anak-anak. Hasil penelitian terhadap 2.000 anak Amerika memperlihatkan adanya kecenderungan terjadi kemerosotan ketrampilan emosional maupun sosial dasar. Anak-anak tampak lebih resah, gampang marah, lebih murung, tidak bersemangat, lebih depresi dan kesepian, lebih mudah menurutkan kata hati dan tidak patuh, dan lain sebagainya.
Pada hakekatnya seorang ibu mempunyai tugas utama
yaitu mengatur urusan rumah tangga termasuk mengawasi, mengatur dan membimbing
anak-anak. Apalagi jika ibu mempunyai anak yang masih kecil atau balita maka
seorang ibu harus tahu betul bagaimana mengatur waktu dengan bijaksana. Seorang
anak usia 0-5 tahun masih sangat tergantung dengan ibunya. Karena anak usia 0-5
tahun belum dapat melakukan tugas pribadinya seperti makan, mandi, belajar, dan
sebagainya. Mereka masih perlu bantuan dari orang tua dalam melakukan
pekerjaan-pekerjaan tersebut. Bila anak itu dititipkan pada seorang pembantu
maka orang tua atau khususnya ibu harus tahu betul bahwa pembantu tersebut
mampu membimbing dan membantu anak-anak dalam melakukan pekerjaannya. Kalau pembantu ternyata tidak dapat melakukannya maka
anak-anak yang akan menderita kerugian.
Dari Abu Hurairah berkata,
seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw, dia berkata, ?Ya Rasulullah,
siapa orang yang paling berhak mendapat kebaikanku?? Rasulullah saw menjawab,?
Ibumu.? Dia bertanya, ?Kemudian siapa?? Rasulullah saw menjawab, ?Ibumu.? Dia
bertanya,? Kemudian siapa?? Rasulullah saw menjawab, ?Ibumu.? Dia bertanya,
?Kemudian siapa?? Rasulullah saw menjawab, ?Kemudian bapakmu.? Sebagian ulama
berkata, ?Hal itu karena ibu memiliki tiga perkara yang sangat mahal yang tidak
dimiliki oleh bapak: mengandung, melahirkan dan menyusui.?
Pembentukan kepribadian seorang anak dimulai ketika anak berusia 0-5 tahun. Anak akan belajar dari orang-orang dan lingkungan sekitarnya tentang hal-hal yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya. Kadang-kadang hanya karena lingkungan yang kurang mendukung sewaktu anak masih kecil akan mengakibatkan dampak yang negatif bagi pertumbuhan kepribadian anak pada usia selanjutnya. Seperti kasus-kasus kenakalan remaja, keterlibatan anak dalam dunia narkoba, dan sebagainya bisa jadi karena pembentukan kepribadian di masa kanak-kanak yang tidak terbentuk dengan baik.
Pembentukan kepribadian seorang anak dimulai ketika anak berusia 0-5 tahun. Anak akan belajar dari orang-orang dan lingkungan sekitarnya tentang hal-hal yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya. Kadang-kadang hanya karena lingkungan yang kurang mendukung sewaktu anak masih kecil akan mengakibatkan dampak yang negatif bagi pertumbuhan kepribadian anak pada usia selanjutnya. Seperti kasus-kasus kenakalan remaja, keterlibatan anak dalam dunia narkoba, dan sebagainya bisa jadi karena pembentukan kepribadian di masa kanak-kanak yang tidak terbentuk dengan baik.
Sebagaimana kita ketahui
bersama, beberapa peristiwa yang melibatkan anak atau pelajar seperti Geng
Motor di Bandung Jawa Barat, Geng Nero di Pati Jawa Tengah, Kekerasan di STPDN,
tindak kekerasan di SMA 70 Jakarta, serta baru – baru ini ada fenomena ospek di
ITN, itu semua menunjukkan betapa generasi penerus bangsa ini begitu buas dan
bengis. Ia tidak segan untuk menampar, memukul, bahkan meraba alat-alat vital
atas nama senioritas. Mereka bak seorang ”komandan” yang tak pernah salah dan
dipersalahkan.
Peristiwa-peristiwa tersebut
sudah saatnya diselesaikan atau dicarikan jalan keluar dengan baik dan bijak.
Salah satunya adalah mengubah pola pengasuhan yang selama ini diserahkan kepada
pembantu rumah tangga kepada Ibu. Napoleon Bonaparte pernah berkata, ''Prancis
lebih memerlukan seorang ibu sebelum memerlukan sesuatu yang lain''.
Tidakkah demikian juga dengan bangsa kita?
Sebuah data menunjukkan,
pergeseran pola pengasuhan dan pendidikan sudah terjadi di Indonesia. Jika pada
dekade tahun 1970-an hingga medio 1990-an pola pendidikan diasuh 60 persen oleh
Ibu dan keluarga dan 40 persen di sekolah dan masyarakat, kini sudah terbalik.
70 persen lebih dilakukan di sekolah dan masyarakat dan 30 persen dilakukan di
rumah. Maka tidak aneh, jika sekarang ini slogan ”rumahku surgaku” tidak begitu
populer.
Guna menyelesaikan persoalan tersebut di atas, sudah saatnya keluarga atau dalam hal ini Ibu Rumah Tangga kembali ke rumah. Mereka harus mendidik anak-anaknya menjadi insan mandiri yang berkepribadian. Namun, sebelum mereka harus mendidik generasi penerus bangsa ini, Ibu Rumah Tangga harus dibekali pendidikan, ilmu pengetahuan dan keterampilan yang cukup.
Ibu adalah madrasah
Jika kamu menyiapkannya
Maka dia menyiapkan generasi berkarakter baik
Apabila para ibu tumbuh dalam ketidaktahuan
Maka anak-anak akan menyusu kebodohan dan
keterbelakangan
Perempuan sebagai calon Ibu harus diberi
pendidikan yang lebih. Hal ini dikarenakan, merekalah yang akan melahirkan
generasi-generasi penerus bangsa yang tangguh. Bagaimana mungkin bangsa ini
mampu melahirkan generasi yang cerdas dan tangguh jika perempuan yang nantinya
menjadi Ibu Rumah Tangga lemah dan tidak berdaya.
Maka, meningkatkan kuantitas dan kualitas pendidikan bagi perempuan menjadi sebuah keniscayaan. Perempuan perlu terus didorong untuk melanjutkan studi mereka. Perempuan yang nantinya menjadi Ibu Rumah Tangga bukanlah pekerjaan ringan, sebagaimana ada di dalam masyarakat selama ini. Mereka adalah ujung tombak masa depan bangsa ini. Dari rahim merekalah akan lahir generasi muda yang akan memimpin bangsa ini.
Maka, meningkatkan kuantitas dan kualitas pendidikan bagi perempuan menjadi sebuah keniscayaan. Perempuan perlu terus didorong untuk melanjutkan studi mereka. Perempuan yang nantinya menjadi Ibu Rumah Tangga bukanlah pekerjaan ringan, sebagaimana ada di dalam masyarakat selama ini. Mereka adalah ujung tombak masa depan bangsa ini. Dari rahim merekalah akan lahir generasi muda yang akan memimpin bangsa ini.
Dengan semakin banyaknya perempuan menempuh pendidikan tinggi dan juga bekal agama yang cukup, maka, akan lahir generasi muda yang berkepribadian, cerdas, mandiri dan berakhlak. Generasi muda ini tidak akan mudah terpengaruh oleh pergaulan bebas yang akan mengantarkan mereka ke jurang kehinaan. Hal ini dikarenakan, generasi muda ini dididik dengan kasih sayang dan kelembutan orangtua. Pendidikan dengan kasih sayang inilah yang akan menghasilkan generasi muda yang bertanggung jawab.
Karena ibu adalah sekolah bagi anak – anak maka
dia dituntut memiliki kemampuan-kemampuan dasar agar mampu memerankan fungsinya
secara positif dan berarti kepada anaknya. Di antara kemampuan-kemampuan
tersebut adalah:
1. Kemampuan dasar agama khususnya yang berkaitan
dengan ibadah-ibadah praktis sehari-hari seperti wudhu, adab buang hajat, doa
sehari-hari dan sebagainya.
2. Kemampuan dasar calistung (membaca, menulis dan
berhitung) disertai pengetahuan tentang metode pengajarannya kepada anak.
3. Kemampuan dasar bermain
yang edukatif karena dunia anak adalah dunia bermain dan tidak semua permainan
memiliki nilai positif, di sini ibu yang memilah.
4. Pengetahuan dasar-dasar akhlak yang baik dan
metode penamaannya pada anak.
5. Pengetahuan dasar tumbuh kembang anak dan
faktor penunjanganya. Hal ini untuk mengoptimalkan pertumbuhan anak sehingga
dia menjadi anak yang sehat karena kesehatan fisik menunjang perkembangan
sisi-sisi anak yang lain.
Maka, berbahagia dan banggalah menjadi Ibu Rumah
Tangga yang senantiasa dapat mendidik dan mengawasi tumbuh kembang anak dari
detik ke detik, menit ke menit, jam ke jam, hari ke hari dan seterusnya, karena
masa depan bangsa ini ditanganmu.
Untuk itu maka ibu yang bekerja di luar rumah
harus bijaksana mengatur waktu. Bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga
memang sangat mulia, tetapi tetap harus diingat bahwa tugas utama seorang ibu
adalah mengatur rumah tangga. Ibu yang harus berangkat bekerja pagi hari dan
pulang pada sore hari tetap harus meluangkan waktu untuk berkomunikasi,
bercanda, memeriksa tugas-tugas sekolahnya meskipun ibu sangat capek setelah
seharian bekerja di luar rumah. Tetapi pengorbanan tersebut akan menjadi suatu
kebahagiaan jika melihat anak-anaknya bertumbuh menjadi pribadi yang kuat dan stabil.
Disarikan dari beberapa
sumber.