Suara Terbanyak ?
suara terbanyak, begitulah berita saat ini yang sedang marak berkaitan dengan pencalegan untuk sebuah partai politik. Beberapa parpol besar yang yang pada tahun 2008 berjuang habis - habisan menentang usulan suara terbanyak tentang pencalegan saat membahas Undang - undang Pemilu di DPR, saat ini sudah mulai kehilangan orientasinya. Mereka ikut- ikutan menyuarakan mekanisme suara terbanyak untuk para calegnya. Padahal duulu mereka yang menentang habis usulan tentang suara terbanyak, benar - benar PLIN PLAN.
Dalam undang - undang nya sendiri telah jelas disebutkan bahwa apabila tidak ada calon yang memenuhi bilangan pembagi, maka selanjutnya adalah caleg yang jadi adalah yang memperoleh 30 persen suara, apabila tidak ada yang memenuhi 30 persen maka akan ditentukan berdasar nomor urut. Kata kuncinya adalah nomor urut, bukan suara terbanyak, terus bagaimana nanti apabila ada caleg yang dia dinomor urut pertama tetapi hasilnya sedikit sementara nomor urut terakhir hasilnya banyak (kurang dari 30 %), kemudian parpol menentukan dan menetapkan si nomor terakhir itulah yang menjadi aleg dari parpolnya. Ada dua kemungkinan, yang pertama si caleg nomor pertama tersebut adem - adem saja, tidak begitu mempersoalkan, tetapi yang menyeramkan adalah ketika calon pertama tadi tidak terima kemudian mengajukan gugatan sengketa ke pengadilan. Akibatnya akan bisa diprediksi diantaranya Kantor KPU akan ramai setiap hari oleh demo, demo pertama adalah oleh grup nomor terakhir tadi dan yang kedua adalah grup yang nomor pertama, suasana pun bisa jadi tidak akan kondusif.
Tetapi memang ada beberapa celah di undang - undang pemilu yang kadang "dimanfaatkan" di beberapa partai politik. Diantaranya adalah pasal tentang terhentinya status caleg dari parpol, adalah jika meninggal, tidak lagi jadi anggota/kader, melakukan tindakan pidana, atau mengundurkan diri. Banyak parpol yang saat ini menganut mekanisme suara terbanyak, menuruh para calegnya yang tidak memenuhi suara terbanyak untuk mengundurkan diri. Nah masalahnya bagaimana jika pas hari H nya mereka para caleg "nomor jadi" itu tidak menjalankan janjinya, mereka tetap menuntut bahwa dirinya lah yang berhak secara undang - undang karena beliau nomor urut pertama..
Dalam undang - undang nya sendiri telah jelas disebutkan bahwa apabila tidak ada calon yang memenuhi bilangan pembagi, maka selanjutnya adalah caleg yang jadi adalah yang memperoleh 30 persen suara, apabila tidak ada yang memenuhi 30 persen maka akan ditentukan berdasar nomor urut. Kata kuncinya adalah nomor urut, bukan suara terbanyak, terus bagaimana nanti apabila ada caleg yang dia dinomor urut pertama tetapi hasilnya sedikit sementara nomor urut terakhir hasilnya banyak (kurang dari 30 %), kemudian parpol menentukan dan menetapkan si nomor terakhir itulah yang menjadi aleg dari parpolnya. Ada dua kemungkinan, yang pertama si caleg nomor pertama tersebut adem - adem saja, tidak begitu mempersoalkan, tetapi yang menyeramkan adalah ketika calon pertama tadi tidak terima kemudian mengajukan gugatan sengketa ke pengadilan. Akibatnya akan bisa diprediksi diantaranya Kantor KPU akan ramai setiap hari oleh demo, demo pertama adalah oleh grup nomor terakhir tadi dan yang kedua adalah grup yang nomor pertama, suasana pun bisa jadi tidak akan kondusif.
Tetapi memang ada beberapa celah di undang - undang pemilu yang kadang "dimanfaatkan" di beberapa partai politik. Diantaranya adalah pasal tentang terhentinya status caleg dari parpol, adalah jika meninggal, tidak lagi jadi anggota/kader, melakukan tindakan pidana, atau mengundurkan diri. Banyak parpol yang saat ini menganut mekanisme suara terbanyak, menuruh para calegnya yang tidak memenuhi suara terbanyak untuk mengundurkan diri. Nah masalahnya bagaimana jika pas hari H nya mereka para caleg "nomor jadi" itu tidak menjalankan janjinya, mereka tetap menuntut bahwa dirinya lah yang berhak secara undang - undang karena beliau nomor urut pertama..