Olimpiade Beijing 2008 Sukses, Selanjutnya ...?
Tiongkok memang berambisi menjadikan Olimpiade di negerinya sebagai pesta olahraga dunia paling hebat dan terbesar sepanjang sejarah. Hal itu mungkin tercapai untuk kategori besarnya pengeluaran dana untuk persiapan. Untuk penyelenggaraan ajang ini, mereka mengalahkan tuan rumah Olimpiade 2004, Athena (Yunani). Dana yang dikeluarkan untuk persiapan hingga penyelenggaraan Olimpiade Beijing mencapai lebih dari US$ 42 miliar atau sekitar Rp 378 triliun, sementara Yunani hanya mengeluarkan dana sebesar US$ 16 miliar atau sekitar Rp 144 triliun. Olimpiade Sydney pun hanya menghabiskan dana US$ 2,6 miliar atau sekitar Rp 23 triliun dengan kurs hari ini.
Menurut BOCOG, untuk membangun sebanyak 12 stadion baru, dibutuhkan dana sebesar 13 miliar yuan atau US$ 1,9 miliar atau sekitar Rp 17 triliun. Dari dana yang disiapkan Pemerintah Tiongkok dan pihak swasta untuk pembangunan stadion tersebut, jumlah terbesar dikeluarkan untuk pembangunan Stadion Utama Beijing yang dikenal dengan julukan sarang burung (Bird's Nest)memiliki kapasitas 91.000 tempat duduk.
Tiongkok juga menghabiskan miliaran dolar untuk proyek infrastruktur baru seperti pembuatan terminal bandara berbentuk naga yang membutuhkan dana sebesar US$ 4 miliar atau sekitar Rp 42 triliun dan pembangunan subway ekstra. Pertengahan Juli kemarin, Beijing telah memperbanyak jalur rel kereta. Sekarang, ada delapan jalur dengan total panjang lintasan mencapai 200 kilometer (sebelumnya 142 kilometer). Jalur baru pertama terhubung dengan terminal (yang juga baru dibangun) bandara Beijing. Terminal ini memang disiapkan sebagai bagian dari pembangunan infrastruktur Olimpiade.
Pembangunan jalur kereta baru dilakukan karena tingkat kemacetan jalan raya dari dan ke bandara biasanya sangat padat. Perjalanan menggunakan mobil pribadi atau taksi bisa memakan waktu dua jam. Dengan kereta jalur baru, masyarakat bisa pergi pulang bandara hanya dalam waktu 20 menit.
Kini olimpiade Beijing 2008 telah selesai! London dan penduduknya pun menjadi pusing: apa yang akan mereka tampilkan setelah Beijing berhasil menggelar semua kemewahan yang serba superlatif itu? Pusing karena biaya yang selangit, tetapi juga karena tingkat kreativitas yang mencapai titik setinggi itu.
Situasi ini juga akan membayang-bayangi kota-kota yang akan menyelenggarakan olimpiade setelah London. Atlet-atlet yang pernah mengikuti Olimpiade Beijing 2008 pasti akan membandingkannya dengan kehebatan Olimpiade Beijing itu. Ratusan juta pemirsa televisi di seluruh dunia pasti juga akan membandingkannya penyelenggaraan pesta olahraga paling megah itu.
China atau Beijing telah mematok sebuah standar penyelenggaraan olimpiade yang sangat tinggi. Ada hal lain yang berhasil ditancapkan China, yaitu kehebatan China secara keseluruhan. Semua pengamat mengakui bahwa sukses China menyelenggarakan Olimpiade Beijing 2008 ini merupakan panggung pementasan sukses reformasi China yang dimulai persis 30 tahun yang lalu (tepatnya Desember 2008). Baik bagi yang datang ke Beijing maupun yang tidak, ada satu pertanyaan besar yang menggantung di awang-awang: bagaimana China mencapai semua ini?
Negara maju memang sering memakai istilah yang sangat menggurui: ”keajaiban”. Seolah-olah apa yang terjadi di China bukan hasil kerja keras, tetapi sebuah kerja simsalabim! Sukses China terdiri dari dua elemen yang digabung: politik yang iliberal dan pasar yang semiliberal. Kombinasi cantik dua hal ini kini diterima sebagai ”rahasia sukses” China untuk mengembangkan ekonominya dan meraup kekayaan yang melimpah sehingga dapat menyelenggarakan olimpiade yang tiada tara itu.
Sistem pasar yang semiliberal berarti bahwa negara masih menjalankan serangkaian intervensi dalam perekonomian yang sejak tahun 1978 melepaskan diri dari sistem ”terencana oleh pusat”. Akibat diterapkannya sistem pasar bebas ini berhasil melambungkan pertumbuhan ekonomi China menjadi seperti sekarang. Peran pengusaha swasta—asing maupun nasional—memainkan peran yang bebas. Meskipun demikian, seperti diketahui oleh semua pengamat, negara tetap menjalankan intervensi lewat empat bank terbesar milik negara, mengandalkan lebih dari 100 badan usaha milik negara (BUMN), mengatur sektor-sektor investasi asing, dan yang paling penting menjalankan kontrol atas devisa.
Dengan sendirinya, dua hal di atas bertabrakan dengan ideologi ”globalisme” saat ini yang berisi pasar bebas dan demokrasi. Globalisasi dengan ideologi globalisme seperti yang ada sekarang sedemikian gencar dipropagandakan di seluruh dunia oleh Amerika Serikat dan organisasi internasional yang didirikannya (Dana Moneter Internasional/IMF, Bank Dunia, dan Organisasi Perdagangan Dunia/WTO). Akibatnya, di seluruh dunia saat ini dibanjiri oleh wacana pasar bebas dan demokrasi. (Manfred Steger, Globalism, 2005) Semua negara di dunia ”harus” menerapkan pasar bebas dan demokrasi tanpa kecuali. Kalau tidak, ia akan berada di luar lingkaran yang dibangun oleh AS itu dan akan kena sanksi yang sepadan.
Deng Xiaoping bukan Mao Zedong yang dengan garang melawan AS. Bahkan, Deng sejak awal tidak mempunyai rencana atau garis besar bagaimana menjalankan reformasi ekonomi di China. Pedomannya hanya satu: tidak peduli kucing hitam atau kucing, yang penting kucing yang bisa menangkap tikus. Sangat menarik bahwa pragmatisme seperti ini malah menghasilkan bangunan politik yang iliberal dan pasar yang semiliberal. Semua ini bertentangan dengan ideologi globalisme yang dipromosikan oleh AS, dan dengan demikian Deng Xiaoping dan pengganti-penggantinya akhirnya secara tidak langsung telah menjalankan kebijakan anti-AS.
China kini telah menjadi acuan bagi dunia. China kini menjadi contoh atau model pembangunan yang berhasil. Secara diam-diam banyak negara sedang berkembang percaya bahwa model China itu pantas mereka tiru. Wacana seperti ini, yang dikenal dengan nama ”Beijing Consensus” merambat cepat ke seluruh dunia.
sumber :
1. http://www.suarapembaruan.com/News/2008/08/01/Utama/ut04.htm
2. http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/26/00374272/setelah.olimpiade.beijing
Menurut BOCOG, untuk membangun sebanyak 12 stadion baru, dibutuhkan dana sebesar 13 miliar yuan atau US$ 1,9 miliar atau sekitar Rp 17 triliun. Dari dana yang disiapkan Pemerintah Tiongkok dan pihak swasta untuk pembangunan stadion tersebut, jumlah terbesar dikeluarkan untuk pembangunan Stadion Utama Beijing yang dikenal dengan julukan sarang burung (Bird's Nest)memiliki kapasitas 91.000 tempat duduk.
Tiongkok juga menghabiskan miliaran dolar untuk proyek infrastruktur baru seperti pembuatan terminal bandara berbentuk naga yang membutuhkan dana sebesar US$ 4 miliar atau sekitar Rp 42 triliun dan pembangunan subway ekstra. Pertengahan Juli kemarin, Beijing telah memperbanyak jalur rel kereta. Sekarang, ada delapan jalur dengan total panjang lintasan mencapai 200 kilometer (sebelumnya 142 kilometer). Jalur baru pertama terhubung dengan terminal (yang juga baru dibangun) bandara Beijing. Terminal ini memang disiapkan sebagai bagian dari pembangunan infrastruktur Olimpiade.
Pembangunan jalur kereta baru dilakukan karena tingkat kemacetan jalan raya dari dan ke bandara biasanya sangat padat. Perjalanan menggunakan mobil pribadi atau taksi bisa memakan waktu dua jam. Dengan kereta jalur baru, masyarakat bisa pergi pulang bandara hanya dalam waktu 20 menit.
Kini olimpiade Beijing 2008 telah selesai! London dan penduduknya pun menjadi pusing: apa yang akan mereka tampilkan setelah Beijing berhasil menggelar semua kemewahan yang serba superlatif itu? Pusing karena biaya yang selangit, tetapi juga karena tingkat kreativitas yang mencapai titik setinggi itu.
Situasi ini juga akan membayang-bayangi kota-kota yang akan menyelenggarakan olimpiade setelah London. Atlet-atlet yang pernah mengikuti Olimpiade Beijing 2008 pasti akan membandingkannya dengan kehebatan Olimpiade Beijing itu. Ratusan juta pemirsa televisi di seluruh dunia pasti juga akan membandingkannya penyelenggaraan pesta olahraga paling megah itu.
China atau Beijing telah mematok sebuah standar penyelenggaraan olimpiade yang sangat tinggi. Ada hal lain yang berhasil ditancapkan China, yaitu kehebatan China secara keseluruhan. Semua pengamat mengakui bahwa sukses China menyelenggarakan Olimpiade Beijing 2008 ini merupakan panggung pementasan sukses reformasi China yang dimulai persis 30 tahun yang lalu (tepatnya Desember 2008). Baik bagi yang datang ke Beijing maupun yang tidak, ada satu pertanyaan besar yang menggantung di awang-awang: bagaimana China mencapai semua ini?
Negara maju memang sering memakai istilah yang sangat menggurui: ”keajaiban”. Seolah-olah apa yang terjadi di China bukan hasil kerja keras, tetapi sebuah kerja simsalabim! Sukses China terdiri dari dua elemen yang digabung: politik yang iliberal dan pasar yang semiliberal. Kombinasi cantik dua hal ini kini diterima sebagai ”rahasia sukses” China untuk mengembangkan ekonominya dan meraup kekayaan yang melimpah sehingga dapat menyelenggarakan olimpiade yang tiada tara itu.
Sistem pasar yang semiliberal berarti bahwa negara masih menjalankan serangkaian intervensi dalam perekonomian yang sejak tahun 1978 melepaskan diri dari sistem ”terencana oleh pusat”. Akibat diterapkannya sistem pasar bebas ini berhasil melambungkan pertumbuhan ekonomi China menjadi seperti sekarang. Peran pengusaha swasta—asing maupun nasional—memainkan peran yang bebas. Meskipun demikian, seperti diketahui oleh semua pengamat, negara tetap menjalankan intervensi lewat empat bank terbesar milik negara, mengandalkan lebih dari 100 badan usaha milik negara (BUMN), mengatur sektor-sektor investasi asing, dan yang paling penting menjalankan kontrol atas devisa.
Dengan sendirinya, dua hal di atas bertabrakan dengan ideologi ”globalisme” saat ini yang berisi pasar bebas dan demokrasi. Globalisasi dengan ideologi globalisme seperti yang ada sekarang sedemikian gencar dipropagandakan di seluruh dunia oleh Amerika Serikat dan organisasi internasional yang didirikannya (Dana Moneter Internasional/IMF, Bank Dunia, dan Organisasi Perdagangan Dunia/WTO). Akibatnya, di seluruh dunia saat ini dibanjiri oleh wacana pasar bebas dan demokrasi. (Manfred Steger, Globalism, 2005) Semua negara di dunia ”harus” menerapkan pasar bebas dan demokrasi tanpa kecuali. Kalau tidak, ia akan berada di luar lingkaran yang dibangun oleh AS itu dan akan kena sanksi yang sepadan.
Deng Xiaoping bukan Mao Zedong yang dengan garang melawan AS. Bahkan, Deng sejak awal tidak mempunyai rencana atau garis besar bagaimana menjalankan reformasi ekonomi di China. Pedomannya hanya satu: tidak peduli kucing hitam atau kucing, yang penting kucing yang bisa menangkap tikus. Sangat menarik bahwa pragmatisme seperti ini malah menghasilkan bangunan politik yang iliberal dan pasar yang semiliberal. Semua ini bertentangan dengan ideologi globalisme yang dipromosikan oleh AS, dan dengan demikian Deng Xiaoping dan pengganti-penggantinya akhirnya secara tidak langsung telah menjalankan kebijakan anti-AS.
China kini telah menjadi acuan bagi dunia. China kini menjadi contoh atau model pembangunan yang berhasil. Secara diam-diam banyak negara sedang berkembang percaya bahwa model China itu pantas mereka tiru. Wacana seperti ini, yang dikenal dengan nama ”Beijing Consensus” merambat cepat ke seluruh dunia.
sumber :
1. http://www.suarapembaruan.com/News/2008/08/01/Utama/ut04.htm
2. http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/26/00374272/setelah.olimpiade.beijing