SEKULAR & LIBERAL NO, POLITIK ISLAM YES
“Mau
berpolitik? Jangan bawa agama deh!”. Nah begitulah yang sedang dikampanyekan
lagi oleh beberapa kawan – kawan liberal dan sekuler, seperti Ulil yang kini
duduk di partai Demokrat maupun Zuhairi Misrawi yang duduk di PDI Perjuangan. Ini tentunya direspon beragam sama pemirsa, ada
yang menganggap bahwa pesan itu benar, ada juga yang menolak mentah-mentah, pun
ada yang cuek.
Statemen ‘Islam Yes, Partai Islam No’ yang
diproklamasikan oleh Cak Nur pada era 70-an, dulu dikapitalisasi oleh Golkar yaitu dengan langsung menjadikan justifikasi untuk mengebiri seluruh
partai-partai Islam. Hasil akhirnya adalah menyederhanakan partai dalam 3
(tiga) kelompok besar. Partai-partai Islam bak lampu kehabisan minyak. Inilah
sebuah wajah tirani minoritas terselubung yang terjadi saat itu. Perlu diingat bahwa mayoritas
bangsa Indonesia adalah muslim (abangan sekalipun).
Namun rekomendasi Komisi Pemilihan Umum
(KPU), ternyata secara sadar menolak statemen Cak Nur tersebut, yaitu dengan
dihidupkannya kembali pendirian partai-partai berlandaskan agama, termasuk di
dalamnya partai-partai Islam (PPP, PKS, PBB dan lainnya), setelah terpuruk
sepanjang dua dasawarsa. Dasarnya apa ? Ya … demokrasi !!
Sobat muda muslim, banyak pemahaman keliru di
antara kaum muslimin tentang politik. Ada yang sama sekali menjauhinya, dengan
alasan bahwa politik itu kotor, najis, dan wajib dihindarkan dari menu
sehari-sehari pergaulannya. Sangat boleh jadi, kelompok ini sudah putus asa
ketika melihat perkembangan bahwa politik seringkali cuma sebagai alat untuk
menuju tangga kekuasaan sambil sikut sana jegal sini.
Sebagian lagi memilih terjun dalam aktivitas
politik praktis seperti yang kemarin dan hari ini, juga mungkin esok kita saksikan.
Mereka ikut pemilu, kampanye, dan akhirnya bisa menempatkan wakil-wakilnya di
DPR. Aktivitas politik bukan hanya urusan kekuasaan belaka, aktivitas politik itu
begitu luas, mulai dari urusan pemerintahan, hukum, tatanegara, peradilan,
pendidikan, sosial, budaya, ekonomi dan sejenisnya. Pokoknya, semua tindakan untuk
mengatur urusan rakyat, baik dalam negeri maupun luar negeri.
Organisai masa (ormas) Islam, seperti
Muhammadiyah, NU, MUI, Al-Washliyah, MDI, DDII dan lainnya, tidak mungkin
diperbolehkan ikut pemilu. Ormas bukanlah organisasi politik (orpol).
Konsekwensi dan logikanya adalah tidak mungkin ormas Islam dapat memproduksi
undang-undang atau kebijakan-kebijakan yang Islami di negeri ini. Ormas-ormas
Islam tersebut, walaupun dianggap sebagai kelompok penekan (pressure group)
terhadap seluruh atau sebagian rancangan undang-undang atau rancangan
kebijakan, namun kalah kursi di legelslatif dan eksekutif secara mayoritas,
maka jangan diharap akan dapat merobah rancangan undang-undang atau kebijakan
yang mungkin saja tidak Islami.
Ketika kita udah peduli terhadap urusan kaum
muslimin di negeri ini dan juga di belahan dunia lain, itu udah bisa disebut
berpolitik. Dan perlu kita tegasin lagi deh, bahwa politik kudu sejajar dengan
agama. Pendek kata, seiring sejalan. Bisa dibilang agama dan politik ini adalah
“Duet Maut” untuk menyelesaikan problem kehidupan manusia. Dan, cuma Islam yang
mampu melakukannya. Yang lain? Lewaaaaat!
Jangan sampe kamu, sobat muda muslim jadi objek penderita terus oleh para pemikir
sekuler dan liberal itu. Emang enak jadi pecundang? Emang enak dibodohin sama
iklan – iklan mereka itu? Emang kamu rela bin pasrah kalo agama kudu dijauhkan
dari kehidupan politik? Kita kan bukan kaum sekuler. Kita remaja muslim yang
berusaha menjadi benar dalam memahami ajaran agama.
Ada ucapan seorang Kyai pendiri pondok
pesantren Pabelan Muntilan, Jawa Tengah, yaitu Kyai Hamam yang sampai saat ini
masih terngiang di telinga, yaitu: jangnkan orang, kalau perlu batu kalipun
kita Islamkan. Bagitu mendarahdagingnya pemahaman ke-Islaman dalam diri Kyai
Hamam, sehingga dapat dianalogikan, bahwa produk hukum, kebijakan, seni budaya,
ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi maupun politik harus sinergi dengan Islam.
Warning atas Kampanye Sekular dan Liberal
Jika ide sekularisasi Nurkholis Majid “Agama Islam Yes, Partai Politik Islam No” yang
dikampanyekannya sejak 40 tahun yang lampau itu benar dan terbukti, harusnya mungkin
saat ini niat itu sudah harus terwujud, namun kenyataannya masih jauh. Ini justru
membuktikan masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim ini semakin tidak mudah dibodohi
oleh pemikiran – pemikiran liberal dan sekuler.
Sobat muda muslim, Islam adalah agama yang
nggak bisa diceraikan dari politik (negara). Itu sebabnya, Imam al-Ghazali
berkata: “Karena itu, dikatakanlah bahwa agama dan kekuasaan adalah dua
saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan
adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan roboh dan
segala sesuatu yang yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang lenyap.” (dalam
kitabnya al-Iqtishad fil I'tiqad hlm. 199)
Benar banget pernyataan ini. Islam tanpa
politik (negara) akan mudah lenyap, begitu pula, politik tanpa agama, niscaya
akan mudah roboh.
Kamu bisa rasakan sendiri bahwa hidup dalam
sistem sekular seperti sekarang benar-benar merana. Ketika agama nggak boleh
ikut campur ngurusin kehidupan bernegara dan bermasyarakat, maka banyak orang
berbuat sesukanya atas nama kebebasan. Nikah sesama jenis kelamin bisa
dilegalkan, pemilihan ratu dengan acara telanjang pun bisa saja dilegalkan asal ada undang – undang nya.
Menghadapi ancaman ini, para penganut
kapitalisme melakukan berbagai langkah, antara lain, melakukan manipulasi
dengan menyebarkan opini bahwa Islam adalah agama, bukanlah ideologi maupun
politik. Islam diilusikan seperti agama Kristen atau Katolik yang harus
terlepas dari kekuasaan dan pemerintahan. Memandang Islam sebagai ideologi,
kata mereka, adalah suatu apologi. Tapi mereka sengaja menutupi prestasi
gemilang ketika Islam ideology maupun politik diterapkan. Mereka khawatir
banget dengan kebangkitan Islam, maka salah satu caranya, mereka berusaha
menebar opini bahwa politik kudu dijauhkan dari agama.
Mereka
juga menebar beberapa propaganda, pertama, dikesankan bahwa bila partai Islam
menang, maka seluruh tatanan kenegaraan dan pemerintahan akan dirombak total
sesuai ajaran Islam. Kedua, Islam adalam agama yang penuh dengan ajaran
kebenaran. Oleh karena itu, dikahawatirkan, ajaran Islam yang indah itu akan
diselewengkan oleh pemimpin partai untuk memperoleh kenenagan dengan segala
cara (Machiavelli). Ketiga, lebih banyak menimbulkan pertentangan SARA, yang
pada akhirnya akan menceraiberaikan Negara kesatuan Republik Indonesia, padahal
Indonesia dibangun berdasarkan kebinekaan (bhineka tunggal ika).
Sosialisasi Islam sebagai agama politik sudah
sangat mendesak, sebelum Islam di Indonesia diterjang gelombang dahsyat
sekulerisasi. Segala metode yang menguntungkan harus segera digalakkan oleh
partai-partai Islam, agar massa Islam (termasuk Islam Abangan) menyadari
sepenuhnya, bahwa partai Islam adalah ‘suatu kebutuhan hidup dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Disarikan dari beberapa sumber