Polemik Setgab dipicu oleh Sikap Golkar dan Demokrat
Sebelumnya Golkar benar - benar seperti menjadi istri muda dari Demokrat, ketua Harian Setgab (Ical) disebut-sebut berwenang memanggil menteri dan juga dituding memiliki kewenangan yang setara dengan Wakil Presiden Boediono. Namun jauh - jauh hari asumsi tersebut sudah dibantah secara tegas oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang juga Ketua Sekretariat Gabungan. "Kemudian yang keliru lagi, pandangan sebagian dari masyarakat seolah-olah saya mendelegasikan kewenangan pada ketua harian atau kepada sekretariat gabungan. Tidak. Saya dibantu dalam proses konsultasi itu dan tidak ada sesuatu yang luar biasa." katanya dalam sebuah konferensi pers sesaat sebelum bertolak ke Singapura di Bandar Udara Halim Perdanakusumah, Jakarta.
Menurut SBY, sekretariat gabungan adalah forum konsultasi dan koordinasi. Forum tersebut dibentuk karena koordinasi dan konsultasi di antara partai anggota koalisi di masa lalu dirasa kurang efektif. Oleh karena itulah, kondisi tersebut diperbaiki dengan tujuan agar pemerintahan yang dibangun oleh koalisi ini bisa menjalankan tugasnya dengan efektif. Selain itu, koordinasi dan konsultasi antara anggota koalisi di DPR dengan pemerintah juga diharapkan berhasil dengan baik. SBY juga menjelaskan, setgab bukan ditujukan untuk mengambil alih tugas, wewenang, dan fungsi kabinet. Walaupun, dia mengakui ada mata rantai antara setgab dengan kabinet.
Namun saat ini yang muncul adalah sikap arogansi dari partai yang sok merasa besar yaitu Demokrat dan Golkar Tasikmalaya, sehingga setgab pun menjadi ajang untuk meminggirkan partai - partai menengah ke bawah. Dengan kejadian tersebut Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin menilai keberadaan sekretariat gabungan (setgab) dalam parlemen menghambat jalannya demokrasi di Indonesia. "Saya mengamati dan menilai eksistensi sekretariat gabungan, sebagai forum dari koalisi partai-partai politik di Indonesia ini, punya andil dalam menghambat demokrasi," katanya setelah membuka Musyawarah Wilayah Muhammadiyah Jabar di Kota Tasikmalaya. Ia menilai keberadaannya sekretariat gabungan itu mengganggu fungsi partai politik yang semestinya, padahal keberadaan partai di parlemen masih diharapkan rakyat banyak untuk menyampaikan aspirasi dalam jalannya pemerintahan.Partai politik yang berkoalisi dengan Demokrat yang ada dalam sekretariat gabungan, menurut Din menjadi tidak independen. Adanya sekretariat gangungan itu, Din berharap jangan ada yang terkebiri oleh kepentingan politik, sehingga demokrasi yang tercipta di Indonesia menjadi demokrasi yang kolutif bahkan koruptif. Ia berharap partai politik kembali pada jati dirinya dengan konsolidasi demokrasi yang berjalan dengan baik, agar partai-partai politik memperjuangkan aspirasi rakyat.
Ditengah hujan kritik yang bertubi-tubi saat ini, Setgab Koalisi tidak pernah muncul memberikan perlindungan kepada pemerintah. Direktur Pusat Advokasi dan Riset Rakyat Indonesia (Parra) Rusli Halim Fadli mengatakan Setgab partai koalisi yang dipimpin oleh Aburizal Bakri sebagai ketua harian tidak memberikan konsolidasi yang kuat untuk pemerintahan SBY-Boediono. Yang justru terlihat adalah adanya persaingan terselubung di dalam Setgab. “Sebagai ketua harian Setgab, seharusnya Ical tampil ke depan membela SBY. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, ikut hanyut dalam wacana tersebut. Selain kader-kader Demokrat yang merespons, sepengetahuan saya, hanya Hatta Rajasa yang tampil membela,” terang mantan Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) ini. Baginya evaluasi kinerja satu tahun untuk kinerja Setgab di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie, sangatlah perlu. Kalau Setgab dibiarkan berjalan tanpa evaluasi, tentu akan berdampak buruk bagi SBY dan Partai Demokrat di 2014. Pembiaran Setgab terhadap wacana ini sebagai upaya untuk menurunkan citra SBY dan Partai Demokrat di mata rakyat. Dengan menurunnya citra SBY dan Partai Demokrat, tentu partai tertentu yang berambisi memenangkan Pemilu 2014 akan mengambil keuntungan. Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Azyumardi Azra, menilai sekretariat gabungan parpol pendukung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono tidak mampu lagi mengawal jalannya pemerintahan. keberadaanya seperti duri dalam daging, agenda tersembunyai Golkar di Setgab menjadi sangat kelihatan sekali, Ketua Umum Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG) Yorrys Raweyai pernah mengatakan bahwa organisasi yang dipimpinnya akan meminta DPP Partai Golkar mengkaji ulang posisi partai itu di sekretariat gabungan parpol pendukung pemerintah.
“Kembali ke koalisi lama, yang mendukung Presiden Yudhoyono sebagai capres. Itu lebih baik. PDIP dan Golkar sebaiknya menjadi penyeimbang,” kata mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.Ia juga mengatakan, Setgab bagi Golkar sangat tidak baik dan selalu dirugikan. Oleh karena itu, Azyurmadi menyarankan Golkar harus mempunyai pilihan, apakah tetap bergabung atau keluar dari Setgab. “Golkar harus berani menentukan pilihan untuk keluar atau tidak dari Setgab,” ujar Azyumardi. Bila Golkar ingin besar dan dipercaya masyarakat, Golkar sebaiknya keluar dari Setgab.
Selain pilihan waktunya kurang tepat, pembentukan Setgab menyisakan beberapa persoalan. Paling tidak, ada tiga kekeliruan Susilo Bambang Yudhoyono dalam pembentukan Setgab yang justru akan menjadi blunder politik bagi pemerintah. Pertama, kekeliruan penunjukan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie (Ical) sebagai Ketua Harian Setgab. Sebab, hal itu akan menyebabkan “ketersinggungan” partai-partai mitra koalisi lainnya–Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Kebangkitan Bangsa. Posisi Ical sebagai ketua harian di satu sisi memang akan memperkuat jalinan komunikasi antara Partai Demokrat dan Partai Golkar. Namun di sisi lain menyimpan potensi konflik internal dan kerapuhan soliditas koalisi, karena akan memperlemah ikatan komunikasi dengan partai-partai mitra koalisi selain Partai Golkar. Ketersinggungan partai-partai mitra koalisi dan superioritas Partai Golkar di dalam Setgab inilah yang akan menyebabkan koalisi menjadi tidak berimbang (koalisi asimetris). SBY seolah memperkuat satu “sekrup koalisi”, tetapi menyebabkan mengendurnya sekrup-sekrup lainnya. Pada titik inilah penunjukan Ical justru akan melemahkan soliditas koalisi dan pada akhirnya kehadiran Setgab justru menjadi blunder politik bagi pemerintahan SBY. Kedua, kekeliruan SBY dalam memberikan wewenang terlalu kuat kepada Setgab–khususnya wewenang ketua harian. Fungsi dan kewenangan Setgab yang terlalu kuat justru berpotensi besar akan “merecoki” pemerintah. Jika benar pernyataan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham bahwa Ketua Harian Setgab dapat memanggil menteri dan semua kebijakan pemerintah harus melalui Setgab terlebih dulu, kehadiran Setgab dan posisi Ical sebagai ketua harian jelas mereduksi kekuasaan presiden dan bertentangan dengan prinsip sistem presidensial. Karena itu pula, menjadi tidak berlebihan jika para pengamat berpendapat posisi Ical seperti layaknya perdana menteri dalam sistem parlementer karena memegang kendali koalisi dan kebijakan pemerintah. Kuatnya kewenangan ketua harian ini justru juga akan menjadi blunder politik bagi SBY, karena berpotensi besar akan mengintervensi (merecoki) Presiden dengan menjadikan Setgab sebagai alat bagi partai-partai mitra koalisi–terutama Partai Golkar–untuk bernegosiasi dengan Presiden. Ketiga, pembentukan Setgab tidak disertai dengan kontrak koalisi (MoU koalisi) yang jelas dan konkret. Idealnya, sebelum Setgab dibentuk, kontrak koalisi yang masih sangat normatif dan general direvisi terlebih dulu. Padahal rapuhnya koalisi selama ini merupakan imbas dari terlalu lenturnya kontrak koalisi. Hal ini pulalah yang menyebabkan partai-partai anggota koalisi memiliki tafsir berbeda dan masing-masing mengklaim melaksanakan kontrak koalisi. Karena itu, pembentukan Setgab justru akan menjadi “liar” dan kurang bermakna bagi upaya untuk mengukuhkan koalisi tanpa disertai kontrak koalisi yang lebih spesifik dan tegas.
Ada tiga hal yang perlu direvisi agar kehadiran Setgab benar-benar dapat mengukuhkan koalisi, bukan justru menjadi blunder politik bagi pemerintah SBY. Pertama, forum komunikasi dan koordinasi yang bersifat permanen semacam Setgab memang diperlukan, tetapi mesti disertai dengan kontrak koalisi yang jelas dan lebih konkret. Karena itu, kontrak koalisi perlu direvisi agar lebih tegas, jelas, dan disertai sanksi. Kedua, Setgab dipimpin langsung oleh SBY memang sudah tepat, tetapi posisi ketua harian sebaiknya diserahkan kepada politikus senior Partai Demokrat atau diberikan secara bergiliran kepada semua partai anggota koalisi agar terbentuk koalisi simetris. Posisi ini tidak diserahkan kepada Ical secara tetap, yang justru dapat membuat “ketersinggungan” partai-partai lain. Ketiga, posisi dan wewenang Setgab hendaknya terbatas pada forum koordinasi dan komunikasi anggota koalisi saja. Kontrol dan koordinasi di Setgab mestinya lebih pada parlemen (manajemen koalisi di DPR), bukan mengintervensi proses di kabinet, agar tidak mereduksi kekuasaan presiden dalam sistem presidensial.