Aisyah Adinda Kita : Yang Bukan Sekedar Pekerja Migran

by Heru S

Tangan kanannya sigap memencet tombol-tombol ponsel Nokia-nya, sementara tangan kirinya mencencang tas laptop berisi laptop Acer keluaran terbaru. Setiap lima menit ia mengkontak dan dikontak orang melalui ponsel merah maroon tersebut. Di sela-sela pembicaraan, ia mengeluarkan laptop, memasang modem seukuran flash disk, dan segera menuju jendela untuk mencari sinyal terbaik bagi akses internet-nya. Usai mendapat koneksi, kedua tangan kecil itu bergantian memencet keyboards dan meluncurkan ratusan kata-kata kreatif di layar laptop mini-nya. Di antara kegiatan mengetik, ia beberapa kali mengeluarkan Olympus digital camera-nya dan mengambil gambar teman-temannya yang ikut bergadang di dinihari malam Ramadhan tersebut

Malampun merambat pelan, dinihari sudah akan dijelang, namun pemilik tangan lincah itu terus menekuri keyboard laptopnya. Tak sedikitpun ia tampak lelah. Sepertinya ia tengah dikejar deadline. Siapakah ia? Wanita entrepreneur? Professional muda? Career woman? Salesperson?

Bukan, wanita muda super sibuk berjilbab rapi itu adalah pekerja migran Indonesia di Hong Kong. Sebut saja namanya Aisyah. Pagi hingga menjelang maghrib ia sibuk bekerja di rumah tangga warga Chinese Hong Kong di Kowloon. Mengerjakan tugas-tugas khas domestic worker, atau housekeeper, atau maid, atau bahasa Indonesianya adalah PRT (Pekerja Rumah Tangga ataupun Pembantu, btw sudah lama saya menghindari penggunaan kata ini karena terkesan kurang manusiawi). Disana, Aisyah seharian penuh memasak, berbelanja, mengantar anak majikan, mencuci, mensetrika, dan lain-lain pekerjaan rumah tangga lainnya.

Menjelang malam, Aisyah kembali ke laptop Acer-nya. Mengetik, menulis, mem-browsing perkembangan jagat dari bilik kecilnya. Terkadang, ketika majikan berangkat kerja dan anak-anak sudah diantar sekolah, iapun kembali bekerja dengan laptopnya. Beruntunglah, banyak majikan di Hong Kong yang ikhlas domestic worker-nya memiliki laptop ataupun meminjam computer milik majikan. Juga, ikhlas sang housemaid mem-browsing dunia maya melalui internet, yang di Hong Kong aksesnya amat cepat dan bukan perkara yang luar biasa mewah. Tentunya, ini berkah buat Aisyah. Karena rekan-rekan senasibnya di Malaysia, Saudi Arabia, apalagi di Indonesia belum tentu dapat menikmati teknologi ini. Karena, jangankan berinternet dan ber-fesbuk ria, banyak majikan di Indonesia yang ‘super gerah’ melihat PRT-nya ber-ponsel ria di sela-sela mencuci dan mensetrika (padahal apa salahnya ya, PRT juga manusia).

Sepintas lalu, tak banyak perbedaan antara Aisyah dengan mahasiswa-mahasiswa Indonesia, baik di dalam maupun di luar negeri. Ponsel-nya, kendati bukan i-phone ataupun Blackberry, namun juga bukan Nokia seri jadul. Laptop-nya, kendati bukan Sony Vaio atau Fujitsu, namun tetap Acer seri terakhir. Penampilannya, kendati bukan ala fifth avenue New York ataupun Ginza Tokyo, namun juga tetap nyambung untuk bergaul di sepanjang Causeway Bay, Hong Kong. Camera digitalnya, kendati bukan Nikon atau Canon DSLR, namun juga bukan Olympus tahun jadul.

Singkatnya, Aisyah adalah juga manusia Indonesia masa kini dengan segala kesederhanaannya. Dengan segala mimpi-mimpinya. Dengan segala keterbatasannya. Dengan segala keinginannya. Imajinasinya tak mampu dibendung oleh bilik kecil ruang tidurnya. Kreativitasnya tak mampu dibelenggu status domestic worker-nya.

Nyaris sepuluh tahun Aisyah tinggal di Hong Kong. Dan ia belum dapat dikatagorikan senior. Karena di dalam bis E11 menuju Hong Kong airport dari Wan Chai area, saya mendapati seorang PMI (pekerja migran Indonesia) yang sudah tinggal 11 tahun di luar negeri. Tujuh tahun di Singapore dan empat tahun di Hong Kong. Alias lebih senior dai Aisyah. Rekan Aisyah yang lain bahkan sudah menyandang status sebagai permanent resident Hong Kong, karena sudah lebih dari sepuluh tahun tinggal di negeri ini.

Namun, di luar penampilan modisnya, Aisyah tetaplah perempuan Jawa dengan segala keluguannya. . “Saya minder mas, melihat Mas dan teman-teman penulis yang lain.” “Mas sempat sekolah tinggi-tinggi dan pengetahuannya banyak,” “Saya hanya anak orang biasa dan sekolah-pun tak sampai SMA.”

Saya mencoba membangkitkan kepercayaan dirinya. “Mbak, yang penting bukanlah siapa kita, tapi apa yang telah kita hasilkan. Mbak sudah banyak menulis dan karya-karyanya konkrit. Saya sudah melihat banyak orang yang nasibnya, maaf, jauh lebih baik dari Mbak, tapi belum menghasilkan apa-apa,”. Lagian, di mata Allah SWT kita semua sama kok,” ujar saya. Mencoba bersikap arif.

“Iya sih Mas, tapi kadang saya ragu dengan tulisan saya sendiri. Takut bahasanya jelek, atau pandangannya terlalu sempit, maklumlah saya anak orang susah, tak sempat juga sekolah tinggi-tinggi. Enak ya jadi Mas, bisa kemana-mana,” sahut Aisyah datar.

Saya tercekat. “Lha, Mbak tinggal di luar negeri jauh lebih lama daripada saya. Saya juga baru kali ini menginjak Hong Kong, Mbak kan sudah bertahun-tahun. Tentunya pengalaman Mbak jauh lebih banyak daripada saya!”

“Iya sih Mas, tapi saya kan lama di luar negeri sebagai PRT, visa saya aja bunyinya domestic helper. Sampeyan kan nggak!”

Kontan saya terdiam. Speechless. Bingung mau bicara apa lagi.

Lalu sayapun teringat lagu “Aisyah Adinda Kita” karya Bimbo tahun 1970-an. Aisyah yang sopan dan jelita. Aisyah yang angka SMP dan SMA sembilan rata-rata. Aisyah yang pandai mengarang dan organisasi. Aisyah yang memakai jilbab, menutup rambutnya, Aisyah yang Indek Prestasinya tertinggi tiga tahun lamanya. Aisyah yang calon insinyur dan bintang di kampus. Aisyah yang tidak banyak berkata, memberi contoh saja.

Sayangnya, Aisyah Hong Kong ini tak mengenal istilah Indeks Prestasi, karena ia tak sempat kuliah. Kendati ia amat menginginkannya. Terngiang-ngiang dalam telinga saya ia berkata, “bagaimana sih caranya dapat beasiswa kuliah, Mas? Harus lulus SMA dulu ya?” tanyanya polos.

Sayangnya, Aisyah Hong Kong ini juga bukan calon insinyur dan bintang di kampus. Bahkan kata-kata ‘kampus’ terkesan amat asing baginya.

Namun, persamaan antara Aisyah Bimbo dengan Aisyah Hong Kong ini adalah, mereka berdua sama-sama sopan, sama-sama pandai mengarang dan organisasi. Sama-sama memakai jilbab dan menutup aurat. Sama-sama tidak banyak berkata, memberi contoh saja.

Aisyah Hong Kong amat sibuk dengan organisasi. Organisasi kepenulisan hanyalah salah satunya. Di luar itu, ia sibuk juga dengan organisasi kedaerahan, organisasi pengajian, hingga organisasi bisnis (ia berbisnis juga di luar kegiatan domestic worker-nya). Setiap pekan, ketika banyak rekan senasibnya menghabiskan waktu tak karuan di Victoria Park, Aisyah juga pergi ke Victoria Park. Namun untuk diskusi ilmiah dengan teman-teman sehobby, ataupun ikut pengajian rutin setiap Ahad siang.

Ketika banyak rekan-rekan seprofesinya berdandan tak karuan, mengenakan celana pendek, kaos pendek ketat dan high heels shoes, serta rambut warna-warni, Aisyah tetap konsisten berbusana muslimah.

Dan ini bukanlah perkara sederhana. “Banyak majikan yang melarang kami mengenakan busana muslimah, Mas. Rata-rata tak mengerti dan takut dengan perempuan berjilbab. Kami juga terkadang susah shalat dan puasa. Bukannya dilarang, tapi mereka sering khawatir. Majikan baik sih tapi sering takut kalau kami mati kelaparan akibat puasa. Rekan saya ada yang mulutnya sengaja dijejalkan nasi oleh sang majikan supaya ia tak mati kelaparan. Majikan khawatir kalau ia mati kelaparan akan menjadi tanggungjawab majikan”, ujar Sarah, bukan nama sebenarnya, rekan Aisyah.

“Banyak dari kami yang berjilbab hanya setiap hari Minggu saja. Di hari biasa ada majikan yang melarang, karena tak mengerti kenapa juga di rumah masih pakai jilbab. Bahkan, beberapa dari kami untuk shalat dan puasa-pun harus nyolong-nyolong. Teman saya ada yang sampai harus shalat di WC atau di depan majikan mengesankan tidak sedang puasa, padahal ia tengah puasa,” lanjut Sarah lagi. “Sebenarnya majikan kami banyak yang baik, tapi ya itulah, sukar mengerti ajaran dan tradisi Islam.”

“Yang paling sulit adalah ketika kami harus berbelanja dan memasak daging babi. Majikan tahu sih kami tak makan daging babi atau daging apapun yang tak ada logo halal-nya. Tapi tetap saja kami harus masak daging babi juga. Beruntunglah, belakangan ini ada sabun khusus buatan Malaysia yang dapat dengan mudah menghilangkan najis dari daging tersebut,” tambah Sarah.

Maka, Aisyah menjadi pribadi yang lain di malam hari dan juga di hari Ahad. Karena, ketika Senin menjelang ia kembali menekuri pekerjaan rutin di rumah tangga. Mengerjakan pekerjaan rumah tangga khas domestic worker. Namun, tak pernah sekalipun lontaran “I don’t like Monday!” keluar dari mulutnya.

Dari Aisyah saya belajar banyak. Maksud hati ingin memberikan pencerahan, malah saya yang tercerahkan. Bahwasanya kata kunci dari kemajuan adalah kemauan. Banyak orang memiliki kesempatan namun kurang memiliki kemauan. Sebaliknya, banyak orang memiliki kemauan namun kurang mendapat kesempatan. Ketika kemauan bertemu dengan kesempatan, maka kreativitas akan lahir.

Aisyah memiliki kemauan keras namun kesempatannya minim. Mimpi-mimpi indahnya sudah terpenggal jauh hari setelah tamat SMP. Cita-cita kanak-kanaknya segera buyar begitu menjumpai kenyataan sang ayah tak sanggup mensekolahkannya ke bangku SMA. Adik-adiknya yang berjumlah banyak lebih menyedot perhatian ayahnya. Walhasil, Aisyah muda sedari usia SMA telah melenggang ke luar negeri. Menjadi pekerja migran. Bukan semata-mata karena ingin keluar negeri, tapi karena tak ada pilihan lain.

Kini, sedikit kesempatan yang dimiliki Aisyah tak satupun dilewatkannya. Perbendaharaan gadgets-nya juga sudah lumayan komplit. Laptop, handphone, digital camera, etc. Yang hebatnya, di tangannya semuanya jadi bermakna lebih. Sedikit waktu yang dimilikinya, miring komentar orang tentang profesinya, heran majikan mensikapi konsistensinya berbusana muslimah, namun toh ia tetap kreatif dalam menulis dan berorganisasi.

Saya jadi semakin percaya, bahwa setiap orang memiki potensi untuk maju selama memiliki kemauan dan kesempatan. Kalau mereka tak memiliki kesempatan, berilah mereka kesempatan. Karena, bukan salah mereka apabila mereka jarang memiliki kesempatan…tak ada manusia yang ingin miskin…dan tak ada anak yang bisa memilih dari orangtua seperti apa dan di tempat seperti apa ia dilahirkan…

Menjelang tidur di malam hari bulan suci Ramadhan ini, sayup-sayup untaian lagu “Aisyah Adinda Kita” Bimbo kembali merobek dinding telinga saya…
Ada sepuluh Aisyah berbusana muslimah
Ada seratus Aisyah berbusana muslimah
Ada sejuta Aisyah berbusana muslimah…yang kurang beruntung…yang menjadi pekerja migran…yang hidup jauh dari keluarga dan sanak saudara karena tak ada pilihan lain…namun tetaplah Aisyah Adinda Kita….


Salaya, penghujung Agustus 2009