Effendi Gazali: Celakalah Elit yang Politisir Sepak Bola

Rupanya ada sisi lain dari prestasi tim nasional di Piala AFF, yang justru bisa negatif untuk kemajuan sepak bola kita. Sebab kita jadi berpikir: sepak bola kita urus begini saja sudah jadi juara, apalagi yang harus dibenahi?

Itulah yang dikhawatirkan oleh Effendi Gazali, pengamat komunikasi politik yang juga penggiat sepak bola. Padahal menurut peliput Piala Dunia 1990 itu, buruknya prestasi sepak bola harus dilihat dari dasar, yakni semakin hilangnya lapangan sepak bola karena digerus gedung dan mal.

Jadi kalau Presiden SBY dan Ketua Umum Partai Golkar benar-benar peduli dengan masa depan sepak bola kita, keluarkan kebijakan yang melindungan dan bahkan memperbanyak lapangan sepak bola. Jika masalah dasar dibenahi, manajemen PSSI baru sasaran berikutnya.

Berikut petikan wawancara detikcom dengan Effendi Gazali, yang juga dosen komunikasi pada Departemen Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, Sabtu (25/12/2010) kemarin.


Mengapa para politisi seakan menaruh perhatian serius dengan Tim Nasional Sepak Bola kita?

Sebetulnya yang terjadi saat ini belum pada puncaknya, tapi yang terjadi saat ini masih pada dasarnya. Yang saya maksud dasarnya itu adalah sebetulnya rakyat sedang putus asa. Jadi kita jangan lihat ini puncaknya. Piala AFF belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Piala Asia dan Piala Dunia.

Jadi lihat dasarnya bahwa rakyat kita sedang putus asa, putus asa karena kasus korupsi tidak pernah jelas, kasus besar tak terselesaikan, ekonomi tak kunjung baik dan ada perubahan. Karena ada keputusasaan itu, tiba-tiba ada sesuatu yang menyatukan mereka.

Rakyat itu akan bersatu karena tiga hal. Pertama, karena menghadapi musuh dalam perang. Kedua, kalau ada bencana, kita bisa lihat banyak kasus belakangan ini. Ketiga, kalau ada prestasi. Nah, prestasi ini terjadi ketika rakyat kita sedang dalam puncaknya putus asa. Maka, celakalah para elit politik yang memanfaatkan ini hanya untuk bersenang-senang bagi dirinya sendiri. Kan, dia (elit politik)
menghibur dirinya sendiri sambil nonton bola.

Apalagi dengan maksud mengeksploitasi demi kepentingan politik. Karena, basisnya adalah bangsa yang sedang putus asa. Karena sedang putus asa, begitu meraih sesuatu, kan AFF ini relatif kecil sudah merasa luar biasa betul. Sekali lagi, celaka itu kalau mereka justru hanya ikut bersenang-senang saja dan mempolitisasi. Pertanyaan kita berikutnya, apa yang sudah mereka (elit politik) perbuat untuk sistem sepak bola kita? Ada nggak kompetisi sepak bola di tingkat pemula di usia muda?

Bahkan ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kemarin katakan akan memperhatikan timnas persepakbolaan kita. Ada nggak kebijakan melarang mendirikan mall di atas lapangan sepak bola di masyarakat? Itu real yang begitu-begitu. Kalau tidak, ini betul-betul sementara saja.

Artinya mereka hanya mendompleng bagi popularitas mereka saja?

Iya itu dompleng, itu untuk mendompleng untuk penghibur diri mereka sendiri. Karena mereka sendiri sebenarnya sedang putus asa juga. Nggak jelas kan? Politik nggak jelas, bikin partai politik nggak jelas. Coba kita tanya kepada menteri-menteri yang nonton bareng ke Malaysia dengan semuanya. Udah selesai belum kasus Tenaga Kerja Indonesia (TKI)? Misalnya kalau kita tanya, nah mungkin nggak apa-apa, kita maklumi saja, karena mereka nonton dengan mereka yang sedang putus asa juga.

Saya kan tadi katakan, bangsa itu bersatu dalam tiga hal. Kalau perang, wah kalau kita jadi perang dengan Malaysia, kita bersatu. Kalau ada prestasi olahraga kita bersatu, ketika Susi Susanti dapat medali emas di bulutangkis kita bersatu. Sementara, sepak bola inilah salah satunya keberhasilan kita. Ketiga kalau ada bencana.

Jadi sejauh mana pengaruh kepedulian politisi dalam sepak bola terhadap citra mereka di masyarakat?

Begini, saya balik pertanyaannya. Habis ini para politisi ini ramai-ramai membantu sistem sepak bola Indonesia apa tidak? Ramai-ramai politisi mengatakan jangan bangun mall di atas lapangan bola apa tidak? Bisa tidak sekolah-sekolah dibuat lapangan bola? Kalau tidak ada, mau nggak mereka mensponsori kompetisi sepak bola tingkat muda? Kalau itu dilakukan, baru boleh mereka menonton. Kalau tidak itu artinya menghibur diri sendiri yang sedang putus asa.

Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie terkesan serius memperhatikan sepak bola dengan mengundang makan timnas, serta menyumbang dana pembinaan miliaran. Ini bagaimana?

Saya kira kalau ada kontribusinya bagi pengembangan sepak bola dan timnas tidak ada masalah. Hanya saja persoalannya jangan berhenti sampai di situ saja. Memang kan orang kalau lagi senang pada nyumbang-nyumbang, tapi jangan berhenti sampai di situ saja. Makanya, ini jangan dilihat sebagai puncaknya, tapi lihat dasarnya.

Dasarnya itu adalah kalau dia mau menyumbang, ya bikin saja lapangan-lapangan sepak bola di sekolah seperti di tingkat SMA itu. Kalau dia mau itu artinya mau memperbaiki sepak bola kita dari dasar. Kalau nggak kita melihat puncaknya saja yang digunakan untuk menghibur diri sendiri. Apalagi kalau mengekploitasi itu lebih celaka lagi.

Nurdin Halid seperti dimusuhi semua komunitas sepak bola. Kontradiktif tidak bila Aburizal Bakrie justru mendekatinya?

Nah ini kita agak susah ngomongnya, karena begini. Sepak bola ini hampir semua organisasinya itu korup. Misalnya, kemarin tiba-tiba organisasi sepak bola dunia memberikan kesempatan kepada Rusia bukan ke Inggris, gara-gara media massa di Inggris seperti anda-anda ini ingin membongkar korupsi di Federation International Football Association (FIFA).

Sekali lagi FIFA sendiri saja korup. Tapi kata kuncinya adalah prestasi. Tentunya kalau punya prestasi, tentu tidak mujarab mempersoalakan seperti ini, kecuali tiba-tiba kita kalah. Tiba-tiba kita tak berhasil itu dipersoalkan lagi. Kalau menang, maka timbul pertanyaan lagi. Semua ini merayakan kemenangan sambil memperbaiki sistem sepak bola atau tidak?

Kenapa Aburizal Bakrie dan para pejabat sepertinya mendekati Nurdin Halid?

Saya tidak melihat mereka mendekati Nurdin. Mungkin mereka sedang menikmati fasilitas, yang notabene menurut KPK fasilitas tiket itu merupakan gratifikasi. Kalau kita ya serba salah, saya saja mau beli tiket (tiket final AFF di Malaysia dan Indonesia) nggak pernah dapat-dapat. Misalnya, kemarin Sabtu (25/12/2010) sejak jam 09.30-12.00 WIB saya mau beli lewat online nggak bisa masuk-masuk dan nggak dapat tiket. Bandingkan dengan penjualan tiket online pada Piala Dunia.

Bagaimana Anda melihat kehadiran Arifin Panigoro di dunia sepak bolah melalui Liga Primer Indonesia atau LPI?

Pertama, kalau pada kenyataannya Timnas Indonesia besok juara, dia akan sulit. Karena cara berpikir orang Indonesia itu jalan pintas. Orang Indonesia ini memori sosialnya pendek, makanya jalan pikirnya
jalan pintas. Dengan cara ini bisa kok, ngapain bikin yang susah-susah dan bagus, begitu. Itu yang pertama, ini bahaya kalau orang pakai jalan pintas seperti LPI ini.

Kedua, sudah saatnya kita memperbaiki dasarnya dahulu. Kalau pun besok untung-untungan kita juara, perbaiki dasarnya, termasuk buat liga yang bagus. Jadi semestinya, menurut saya, mumpung kita menang misalnya, ya kita kolaborasi saja agar lebih bagus. Tapi kalau kalah, ya LPI mendapatkan nama lagi.

Anda melihat apa motif Arifin Panigoro membuat LPI?

Memang pada Kongres Sepak Bola Nasional di Malang, kita mendengar bahwa dia penuh keyakinan untuk memajukan sepak bola. Anak-anak muda yang mengikuti dia juga memang bagus semua.