TAHUN POPULARITAS
Popularitas
adalah hal yang paling banyak dicari di jaman sekarang. Sampai-sampai
banyak manusia yang menjual agamanya hanya karena mengejar popularitas.
Banyak
dikenal oleh manusia. Siapa yang tidak mau? Setiap berjalan ada yang
mengenali, setiap lewat ada yang menyapa. Mungkin sudah fitrah bagi
manusia agar ingin dikenal orang lain. Namun hal ini akan berbeda jika
kita melihat amalan para ulama salaf. Mereka bahkan benci yang namanya
popularitas. Mereka tidak ingin dikenal meskipun mereka sendiri adalah
seorang ulama yang terkenal.
Nabi bersabda,“Wahai
bangsa Arab, wahai bangsa Arab, wahai bangsa Arab (beliau menyebutkan
tiga kali), sesungguhnya yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah
riya, dan syahwat yang tersembunyi. “ Disebutkan dalam An-Nihayah fii
Gharibilatsar, “Syahwat yang tersembunyi adalah keinginan agar manusia
melihat amalnya. “
Berkata Bisyr bin Al-Harits, “Tidaklah bertakwa kepada Allah orang yang mencintai popularitas.” (Siyar A’lam An-Nubala).
Berkata Imam Ahmad bin Hanbal, “Aku ingin tinggal di suatu lembah di Mekah hingga tak dikenal, sungguh aku telah diuji dengan popularitas. “(Siyar A’lam An-Nubala)
Abdullah bin Mubarak
juga pernah berkata, “Jadilah orang yang menyukai status tersembunyi
(tidak terkenal) dan membenci popularitas”
Saat ini yang paling
banyak digunakan oleh para pejabat atau calon pejabat adalah politik
pencitraan dalam rangka mencari popularitas. Politik pencitraan ini
muncul akibat politik Indonesia yang tidak lagi bisa dikelola melalui
cara-cara menakutkan gaya Orde Baru (represi, intimidasi, kekerasan
fisik, tuduhan subversif), tetapi harus dikelola dengan cara-cara yang
“merangkul” rakyat. Lahirlah politik pencitraan. Namanya juga citra,
jadi ya sifatnya pasti permukaan. Beberapa politik pencitraan di
Indonesia yang kita kenal diantaranya adalah pergi ke pasar tradisional,
makan di angkringan, naik KRL untuk Jakarta dan sekitarnya, makan nasi
aking, duduk lesehan di pertemuan warga atau nonton acara layar tancep,
nginep di rumah warga miskin, ikut kerja bakti warga, ikut jualan
sembako, jadi among tamu kalau pas ada kondangan, dan lain - lain.
Namun, “apakah popularitas yang para pejabat atau calon pejabat miliki sudah parallel seimbang dengan kapabilitas yang dimiliki ?”
Terlalu mahal harga dan
biaya yang dipertaruhkan ketika nasib masa depan bangsa ini justru
ditentukan oleh popularitas, bukan kapabilitas.