Benahi Jakarta : Harus Dimulai dari Kaum Dhuafa


Ada lima masalah besar yang dihadapi warga dan pemda DKI, yakni kemiskinan, kesenjangan sosial, kemacetan, sampah, dan banjir. Persoalan – persoalan tersebut berkembang semakin buruk dan semakin jauh dari penyelesaian.

Kemiskinan adalah ketiadaan akses pada hal – hal yang vital dalam hidup. Kemiskinan absolut berarti tidak punya akses kepada sumberdaya dasar yang menopang kehidupan, seperti air bersih, tanah, rumah yang layak, benih (bagi petani), makanan bergizi, berpendidikan, pelayanan kesehatan dan lingkungan yang sehat.


Ada definisi yang sangat sederhana mengenai kemiskinan, yaitu mereka yang hidup dengan pendapatan di bawah Rp 500.000 per bulan. Menuurt sebuah lembaga survey yang melakukan survey di enam kota besar di Indonesia, menulis bahwa 22 persen penduduk kota hidup dengan biaya kurang dari Rp 350.000 per bulan pada tahun 2001. Sementara 20 persen hidup dengan sekitar Rp. 350.000 sampai Rp. 500.000. BPS pernah mencatat 12,5 persen penduduk jakarta termasuk kateggori miskin. Riset lembaga swadaya masyarakat menyebutkan sekitar 2,8 juta penduduk Jakarta bermukim di 490 wilayah yang dikategorikan sebagai kantong kemiskinan
.
 
Ironi memang, Propinsi DKI merupakan propinsi terkaya di Indonesia dan berada di peringkat tertinggi Indeks Pembangunan Manusia. Lebih dari 65 persen peredaran uang di Indonesia menumpuk di Jakarta. Mereka yang kaya bisa membayar makanan sepiring seharga ratusan ribu rupiah, sementara ribuan orang lainnya memeras keringat untuk Rp. 10.000 sehari, ribuan anak tidak bisa makan tiga kali sehari.


Pemda DKI boleh saja mengklaim bahwa angka kemiskinan di Jakarta mengalami penurunan. Padahal masalah kemiskinan bukan hanya sekadar persoalan jumlah dan persentase penduduk miskin saja. Akan tetapi, ada dimensi lain yang perlu diperhatikan yakni tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Selain harus mampu memperkecil jumlah penduduk miskin, kebijakan kemiskinan juga harus bisa mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Untuk indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan di DKI Jakarta, sejauh ini cenderung mengalami penurunan. Misalnya, indeks kedalaman kemiskinan turun dari 0,72 pada 2008 menjadi 0,57 pada 2009. Sedangkan indeks keparahan kemiskinan turun dari 0,19 pada 2008 menjadi 0,14 pada 2009, dan tahun 2013 angkanya akan lebin turun lagi. Penurunan nilai kedua indeks tersebut mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan. Ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin mengecil. Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh garis kemiskinan. Sebab penduduk miskin masuk dalam kategori penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.


Data jumlah kemiskinan yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) DKI, di Jakarta saat ini menyatakan bahwa terdapat sedikitnya sekitar 312 ribu warga masih hidup di bawah garis kemiskinan. Angka tersebut jauh berbeda dari data yang dilansir Urban Poor Concorsium (UPC) yang menyatakan sebesar 1,2 juta juwa orang miskin dari total 9,5 juta warga ibukota.

Alokasi anggaran pengentasan kemiskinan pada APBD DKI setiap tahun terus meningkat. Ironisnya, kenyataan di lapangan kebijakan tersebut juga diikuti dengan makin bertambahnya jumlah warga orang miskin. Hal tersebut menguatkan indikasi aliran dana yang tahun ini mencapai triliunan rupiah tidak tepat sasaran.


Penggelontoran dana pengentasan kemiskinan tersebut sangat berpotensi tidak terserap bahkan diselewengkan. Mengingat kriteria warga miskin yang tetapkan pemerintah DKI sama dengan daerah lainnya. Jika dialokasi tepat sasaran maka jika dibagi rata kepada warga miskin menurut UPC artinya setiap jiwa mendapat sekitar Rp10 juta setiap tahunnya. Bahkan jika mengacu BPS DKI dana yang digulirkan bahkan lebih besar lagi.


Secara terpisah, pengamat perkotaan, Yayat Supriatna, melihat meski alokasi anggaran pengentasan kemiskinan terus ditambah setiap tahunnya, namun hal itu tidak akan mampy mengatasi permasalahan kemiskinan. Pasalnya program yang digulirkan Pemprov DKI tidaklah sesuai dengan kebutuhan warga miskin. “Warga jangan hanya digelontorkan uang. Yang harus dilakukan ialah penyediaan lapangan kerja sehingga kemiskinan tidak terjadi secara berkesinambungan,” cetus Yayat.


Oleh karenanya pemerintahan daerah DKI ke depannya harus bekerja dengan dimulai dari pengentasan kaum dhuafa. Pemberdayaan kaum dhuafa, penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan untuk kaum dhuafa, pendidikan anak – anak keluarga dhuafa, penyediakan rumah yang layak untuk para dhuafa. Kaum dhuafa yang sebelumnya sebagai bagian penerima zakat, ke depannya harus diberdayakan meningkat menjadi bagian yang mempunyai kewajiban membayar zakat, karena penghasilannya melebihi nishob. Dengan demikian welfare city akan dapat diwujudkan.