Galau, Capres Sipil atau Militer?



Ada yang ngotot bahwa seorang capres haruslah seorang militer, tak peduli capres itu datang dari parpol manapun dan itu harga mati…wow? Oleh karenanya beberapa partai menggadang – gadang beberapa kandidat capresnya adalah mantan militer. Itulah kenyataannya, sejumlah capres yang berasal dari berbagai latar belakang militer sudah mulai unjuk gigi. Namun, berdasarkan hasil survey yang digelar beberapa lembaga survey, masih menunjukkan bahwa tingkat elektabilitas tokoh - tokoh militer, masih di bawah tokoh sipil,  capres asal militer agak kurang laku saat ini.

Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Gun Gun Heryanto pernah mengatakan bahwa fenomena pencalonan tokoh dari kalangan militer merupakan warisan orde lama. "Tradisi mapan ini juga membentuk persepsi yang kuat di era demokrasi elektoral, bahwa seolah-olah kandidat berlatarbelakang militer ini ‘well-organized’. Stigma 'strong leader' tidak selalu tepat dilekatkan dengan seseorang yang berasal dari latar belakang militer," pungkasnya.

Analis politik dari Charta Politika, Arya Fernandes juga pernah mengatakan bahwa calon berlatar belakang militer tidak menjamin tingkat keterpilihan dalam pemungutan suara. "Dalam survei kami, calon berlatar belakang militer tidak menjadi faktor utama bagi publik untuk menentukan pilihannya," kata Arya.

Hal senada juga dikatakan sejarawan dan budayawan Betawi, Ridwan Saidi, beliau pernah berpendapat bahwa, “Warga butuh pemimpin yang berwibawa dan tegas, tetapi itu tidak harus militer."  Ketegangan dan konflik yang sering terjadi di negeri ini, tidak bisa dijadikan alasan mutlak untuk memilih capres  dari kalangan militer.

Hasil temuan survei dari Lembaga Survei Nasional (LSN) menyebutkan bahwa  pemilih masih tidakberpihak pada capres militer, dan ini  bukan karena faktor ketidaksukaan. "Kalau hasil temuan kita masih menyaingi politikus sipil tetapi bukan karena kesukaan, tetapi karena adanya pengimbang, jadi pemilih bukan berarti militer lebih buruk atau tidak, tetapi selama masih ada sipil lebih baik maka mereka memilih ke sipil," tegas Saiful Haq, Direktur Eksekutif Institute for Transformation Studies (Intrans). Ia juga mengatakan bahwa saat ini masyarakat masih membutuhkan sosok presiden yang memiliki kedekatan dengan rakyat. "Untuk track record profesionalisme soal kriteria cawapres pemilih lebih ketat. Tetapi kalau untuk presiden lebih kepada melihat kerakyatan," kata Saiful.

Namun sedikit berbeda dengan survey ‘ Indonesia Network Election Survey (INES) ‘  yang menyatakan bahwa publik menginginkan ada capres dari kalangan militer dengan harapan kelak mampu meningkatkan keamanan dan ketertiban nasional.  Juga sama dengan survey yang dilakukan oleh Lembaga Survei Nasional (LSN), yang mengunggulkan capres militer.

Perlu diingat sipil itu bukan hanya Jokowi saja, di sana masih banyak pilihan alternatif  seperti Abu Rizal Bakrie, Dahlan Iskan, Hidayat Nur Wahid, Jusuf Kalla, Ahmad Heryawan,  Ali Masykur Musa, Anis Matta, Anis Baswedan, Yusril Ihza Mahendra dan masih banyak yang lainnya. Sipil itu beragam pilihannya tidak seperti militer yang itu – itu saja, ada juga yang sebelumnya sudah pernah maju dan kalah di pilpres lima tahun yang lalu, kini maju lagi. 

Memang pernah terbangun stigma di tengah masyarakat, bahwa sebagai negara saat ini sedang krisis keamanaan, sehingga perlu capres dari Militer maupun mantan Militer agar terjaga dari ancaman yang tidak diinginkan. Opini tersebut sah-sah saja, namun kini setelah reformasi bergulir pemikiran tersebut sudah usang dan harus didekonstruksi. Faktor keamanan, menjaga lingkungan, bukan semata dibebankan kepada aparatur negara, dalam hal ini TNI–Polisi, tapi juga merupakan bentuk kesadaran warga untuk bertanggung jawab secara kolektif dalam menjaga lingkungannya.

Tentara yang purnawirawan memang sudah menjadi sipil, namun purnawirawan militer di Indonesia banyak yang masih belum bisa melepas tabiat militernya ketika masuk politik. Menurut Almarhum Munir, belum ada syarat formal politik Indonesia yang bisa memisahkan antara purnawirawan dengan institusi militer. Purnawirawan militer akan sulit melepas gaya militerisme, karena pengalaman dengan struktur komando yang ketat, tanpa pertanyaan dan sentralisme pengambilan keputusan tanpa pernah ada konsultasi adalah salah satu gaya kepemimpinan militer.

Ada beberapa parpol yang berkilah bahwa memasang jenderal dalam pilpres merupakan hal positif karena kalangan sipil kurang memiliki wewenang dan lemah dalam pengambilan keputusan. Pada tahun- tahun awal jaman Orde Baru, militer memegang sangat banyak posisi. Sebagian besar posisi dalam kabinet ada di tangan militer sementara dua pertiga dari gubernur provinsi adalah jenderal. Perwira dengan pangkat lebih rendah mengambil alih jabatan camat dan kepala desa. Namun setelah reformasi, ada perbaikan untuk itu semua karena sejumlah besar warga sipil yang kompeten menduduki posisi – posisi penting.

Banyak dari mereka merupakan akademisi, mereka mampu menunjukkan bahwa mereka lebih handal daripada perwira dalam menjalankan pemerintahan. Ada banyak contoh negara maju di Asia di mana militer tidak pernah memainkan peran penting dalam politik seperti India, Singapura, dan Cina.

Bukan saatnya lagi berpikiran orang berlatar belakang militer selalu lebih baik dari orang sipil. Bukan masanya lagi menilai orang militer selalu lebih tegas dan berani dari sipil. Masalahnya, banyak juga jenderal yang tidak tegas, termasuk beberapa jenderal yang menduduki posisi strategis. Sebaliknya, dulu Bung Karno yang juga sipil, beliau dikagumi banyak orang, tegas disegani dunia internasional, dan mendapat berbagai julukan kebesaran, itu juga bukan karena dia sipil. Tapi, karena dia memang punya kemampuan untuk menjadi pemimpin, persoalannya sama sekali bukan soal sipil atau militer.

Apakah sipil atau mantan militer yang akan memimpin Indonesia? Tentunya sulit memprediksi, karena pertempuran di Pilpres  nanti tidak dilakukan dengan menggunakan bedil atau meriam.

Oleh karenanya untuk memasuki Proses Pilpres mendatang, warga Indonesia sebaiknya tidak perlu lagi terjebak dalam berpikir militer atau sipil. Disamping gagasan tersebut telah usang, sebaiknya dalam merespon pembangun Indonesia ke depan diperlukan sosok kepemimpinan yang "Profesional, Merakyat, Berpengalaman, Berwawsan, Suka Bekerja dan Tegas".

Ditulis oleh Prima Kumara, caleg No. 5 DPRD DKI Dapil 8 dari PKS (Pancoran, Tebet, Mampang, Pasar Minggu, Jagakarsa) dari berbagai sumber