Nur Budi Hariyanto * : PKS dan Politik Double Track


Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada 24-26 Februari 2011 di Yogyakarta, diyakini sebagai momentum krusial bagi pembenahan sistem dan kinerja programatik. Mengingat fungsinya sebagai ajang konsolidasi dan koordinasi seluruh DPW dan DPD PKS se-Indonesia, roadmap dan program kerja lima tahun mendatang juga sedang disusun formatnya. Selain itu, akan dibahas kebijakan politik menyongsong Pemilu dan Pilpres 2014.

Domain programatik momentum ini mengingatkan kita pada pilihan politik PKS sebagai partai politik (parpol) terbuka, sebuah ikhtiar pribumisasi politik yang diyakini menjadi strategi jitu mengembangkan basis suara. Namun sebaliknya, juga mengidap dilema konfliktual di internal mereka. Butuh keseimbangan Sejak Mukernas di Bali pada 2008 lalu, PKS telah mendeklarasikan diri sebagai partai terbuka. Pilihan politik ini lantas dinyatakan dalam berbagai momentum politik dan beragam agenda programatiknya. Tampaknya PKS memang hendak menggeser citra parpol Islam yang kaku dan ideologis menjadi parpol modern berbasis program kerja bervisi kerakyatan.

Keterbukaan politik semacam ini berkonsekuensi pada penanggalan atas simbolisasi Islam. Namun, faktor ini disadari menjadi pilihan dilematis. Di satu sisi, PKS berpotensi menjaring suara di luar komunitas Muslim. Ini sekaligus mengembangkan pangsa pasar politiknya, tak hanya berkontestasi dengan parpol Islam, tetapi semua parpol.

Pilihan ini disadari telah berbuah manis pada 2009 lalu. Pada saat tren parpol Islam dan mayoritas parpol lainnya menurun, PKS justru mengalami kenaikan persentase, meski secara perolehan suara menurun sekitar 200 ribu suara. Keterbukaan membuat PKS mulai bisa
diterima masyarakat pedesaan dan luar Jawa dengan pendidikan dan tingkat ekonomi rendah.

Di titik ini, dikotomi antara partai Islam versus partai nasionalis dianggap merugikan PKS dan partai Islam lainnya, berupa pengotakan segmentasi politik. Untuk keluar dari kondisi itu, PKS lantas berupaya menghindari penilaian dikotomi tersebut.

Terlebih, kondisi politik saat ini bersuhu fleksibel dan kian terkikisnya polarisasi politik berdasarkan ideologi. Dengan demikian, partai nasionalis pun sebaliknya tidak berani memproklamasikan diri sebagai partai sekuler. Mereka mulai mengubah citra dengan membuat
lembaga keagamaan, seperti Majelis Zikir Partai Demokrat atau Baitul Muslimin Indonesia milik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Di sisi lain, keterbukaan politik sepertinya masih menjadi masalah serius dan debatable di kalangan internal PKS. Suara PKS di basis tradisionalnya, yaitu masyarakat perkotaan, terdidik, dan ekonomi menengah atas, juga menurun sebagai respons negatif atas keterbukaan yang dijalankan.

Faktor dilematis berupa munculnya gesekan pilihan politik ini mesti disadari dapat menjadi penghambat bagi PKS menjadi partai besar. Perbedaan mestinya dapat diseimbangkan sehingga PKS tak kehilangan basis massa tradisionalnya, sekaligus menambah ceruk pemilih yang baru.

Keseimbangan sangat dibutuhkan mengingat PKS tak dapat lepas dari kelompok gerakan (harokah) yang menjadi pendiri dan penopang partai. Namun, jika hanya mengandalkan suara mereka, sulit bagi PKS untuk memperluas pengaruhnya. Karena itu, keinginan kelompok partai (hizb) di PKS untuk menjadi partai tengah adalah pilihan realistis.

Partai tengah dengan keterbukaan politiknya, bagi PKS, tentu bukan tanpa alasan. Kondisi politik mutakhir mendorong PKS mengelaborasi dua kutub Islam dan nasionalis ke dalam program politiknya. Kerja-kerja politik berbasis kerakyatan lebih penting untuk men-drive
posisi PKS di hati rakyat. Istilahnya `pribumisasi politik PKS'. Strategi jalan tengah Hasil Pemilu 2009 lalu menjadi momentum bagi kebangkitan politik PKS. Kenaikan rata-rata 35 persen per lima tahunan ini sungguh di luar dugaan parpol peserta pemilu lain, mengingat terjadi tren penurunan di hampir semua parpol. Namun, voters behaviors pada Pemilu 2014 tidak sama dengan pemilu sebelumnya. Karena itu, untuk mencapai target politik dan meraih keseimbangan ideal jalan tengahnya, PKS setidaknya dapat melakukan tiga tahapan penting.

Pertama, mendorong rasio peningkatan kader. Melalui sistem kaderisasi yang telah terbangun secara mapan, persebaran kader PKS dari pelosok desa hingga perkotaan, Jawa dan luar Jawa, telah menjadi mesin politik paling efektif yang mendorong laju desain programatik PKS yang berefek besar pada tingkat akseptabilitas masyarakat dan elektabilitasnya di tengah fluktuasi preferensi pemilih. Dari Pemilu 1999, masih ada sekitar 3000 kader, kini meningkat menjadi dari 800 ribu. Dengan target dua juta kader, berarti ada sekitar 1,2 juta kader lagi yang harus dipersiapkan PKS.

Sistem kaderisasi PKS bermodel dakwah sehingga ideologisasinya lebih diterima dengan semangat perjuangan ketimbang pretensi politis. Politik dipahami sebagai strategi untuk mencapai tujuan mulia dan sarana untuk menyejahterakan masyarakat. Karena itu, tingkat militansi kader sangat kuat dan tinggi. PKS lebih dipahami sebagai `rumah bersama' dalam
berbagi program ketimbang sebagai medan akumulasi diaspora kepentingan.

Kedua, menjaga persepsi positif PKS sebagai parpol bersih dan peduli, yang selama ini sudah terbangun di masyarakat. Kini, tinggal bagaimana melanjutkan desain program kemasyarakatan tersebut yang dibarengi dengan pola komunikasi yang simpatik di depan konstituen. Dari perspektif komunikasi politik, selain berbicara melalui aksi lapangan, tentu PKS juga akan menggunakan sarana media massa dan televisi sebagai salah satu parpol modern di Indonesia.

Ketiga, membangun PKS sebagai partai berbasis kerja (working party). Artinya, PKS akan bergerak maju tidak hanya melakukan kerja-kerja politik ansich, tetapi juga kerja kemasyarakatan. PKS berorientasi menggeser makna politik tak sebatas perilaku meraih kekuasaan, tetapi dengan kekuasaan akan terjadi sebuah upaya riil menjawab problematika
yang kini sedang melilit masyarakat, seperti kemiskinan dan minimnya kualitas pendidikan. Untuk itu, selain militansi dan kualitas SDM kader, dibutuhkan programprogram progesif, terukur, dan kontekstual sesuai kebutuhan masyarakat.

Itulah tiga poin strategi pribumisasi politik PKS yang diharapkan mampu mengakurkan dua arus besar akibat pilihan keterbukaan politiknya. Keberhasilan menyeimbangkan dua arus besar kepentingan ini diyakini sebagai awal keberhasilan PKS menjadi partai besar.

*) Nur Budi Hariyanto Kepala Bidang Politik dan Kebijakan Publik The Icon
Institute

sumber : republika.pressmart.com