Politisi Senayan yang suka Bermain Perempuan


Jagat politik kerap kali identik dengan perselingkuhan seks dan aksesoris glamoria wanita. Kemolekan tubuh wanita kerap pula dipergunakan kaum oportunis untuk menyuguhi para politisi.

Inilah yang kemudian di kalangan pejabat, populer disebut sebagai first services. Tanpa ada suguhan wanita, dunia politik menjadi semacam kering dan tanpa warna. Bukan hal baru, perempuan –perempuan kembali menjadi ’’mangsa’’ para politisi di negeri ini.

Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa skandal seks wakil rakyat yang terungkap di media baru hanya bagian kecil dari apa yang sesungguhnya terjadi. Sebab, ‘pengawasannya’ pun lebih sering dilakukan oleh media daripada control internal partai politik atau DPR sendiri.

Internal partai seolah tidak peduli akan kebersihan anggota-anggotanya. Fenomena gunung es ini hanya persoalan ketahuan dan ketidaktahuan atau terpublikasi dan tidak terpublikasi. Tak banyak yang tahu, apa saja yang terjadi di ruang-ruang anggota DPR di Senayan dan bagaimana perilaku mereka memanfaatkan leisure time di tempat-tempat yang tak pantas bagi seorang wakil rakyat.

Ongkos politisi untuk bermain perempuan disinyalir tidak akan cukup kalau dengan hanya mengandalkan gaji mereka saja. Karena biaya zinanya cukup besar, maka politisi tersebut juga bisa melakukan korupsi untuk itu. Politisi yang selingkuh memakai uang rakyat bukan untuk memakmurkan rakyat tetapi justru memakainya untuk maksiat.
Khusus soal perempuan, tak hanya satu dua anggota Dewan yang terjengkang karena tak bisa mengendalikan nafsu seksualnya. Sebutlah misalnya Yahya Zaini dari Golkar yang terlibat skandal asmara dengan penyanyi dangdut Maria Eva kemudian ada juga Max Moein dari PDIP yang terdepak karena perselingkuhannya diungkap mantan stafnya, Dessy. Selain itu ada pula wanita cantik bersama yang ditangkap KPK di Hotel Ritz Carlton bersama Al Amin Nasution yang merupakan politisi dari PPP.

Hubungan asmara laki-laki berkeluarga, siapapun dia, dengan perempuan bukan muhrimnya, adalah sebuah noda kemaksiatan. Dan hal itu dapat menciptakan pribadi busuk. Jika dikaitkan dengan DPR, maka perselingkuhan di kalangan anggota parlemen dapat dikategorikan dengan politisi busuk. Dan, mereka, sebagaimana dikampanyekan banyak pihak selama ini, seharusnya tidak jadi pilihan rakyat.

Sulit mengharapkan produk legislasi dari anggota parlemen sekelas Yahya Zaini, Max Moein, atau Al Amin Nasution yang dilaporkan telah mencederai rakyat khususnya perempuan. Bukan tak mungkin, tak sedikit pula anggota parlemen era saat ini yang memiliki mentalitas seperti mereka, namun tak terungkap ke hadapan publik.
Sementara itu seorang staf DPR mengatakan bahwa sejumlah anggota DPR yang suka berselingkuh, mempunyai selera yang tinggi. Bagi kelompok ini, harga pasangan tidak jadi soal. Biasanya, kaum perempuan cantik yang menjadi langganan Senayan merupakan anggota sebuah jaringan yang bekerja sangat rapi. Bahkan perempuan–perempuan cantik tersebut ada yang dipekerjakan sebagai staf pribadi. Kalau bosan, anggota DPR bisa menggantinya kapan saja dia mau.

Perempuan–perempuan terseut berasal dari satu jaringan, mereka bisa ditukar kapan saja, dibawa ke mana saja, termasuk dalam perjalanan dinas. Perempuan yang menjadi staf dadakan seperti ini digaji dari kocek pribadi anggota DPR. Honornya secara bulanan, di luar tips harian, di luar tanggungan biaya rumah kontrakan, dan sebagainya.

Saat ini gedung DPR tak ubahnya seperti pasar kaget, tidak bisa lagi dibedakan antara wartawan yang bertugas mencari berita dan pemasok perempuan yang berkeliaran di sana. Suasana seperti itu pula yang bisa mengelabui masuknya perempuan-perempuan cantik di Senayan, perempuan seperti itu dikenal sebagai ‘sekwilda’. Itulah gambaran bopengnya anggota-anggota parlemen kita. Skandal demi skandal terungkap. Mereka tidak hanya rakus harta, tapi juga suka main perempuan.