PKS Melakukan Kampanye Positif saja


Dalam kampanye, para politisi kadang tidak segan dan tidak malu untuk melakukan negative campaign. Saat pilkada gubernur Jakarta 2007 yang lalu Adang (Calon dari PKS) difitnah dengan selebaran mengenai dirinya yang tengah berpose dengan beberapa wanita bugil. Sebelumnya, sempat pula ada demonstrasi yang mengatasnamakan warga PKS yang menolak dirinya. Dan, tentu saja, soal seputar implementasi syariat Islam (menutup hiburan malam hingga jilabisasi wanita di Jakarta). Hari ini kita juga melihat Sekjen PKS, Anis Matta difitnah dengan disebarkannya video mesum orang yang diduga mirip dengannya.

Itulah negative campaign dan juga black campaign, cara-cara kampanye/pencitraan yang kotor. Ciri khas utamanya ia mengedepankan cara-cara curang dan mengedepankan tipuan-tipuan. Dalam dunia perkampanyean barat, negative campaign sama sekali tidak dilarang, malah justru dianjurkan (Mark, 2006). Tetapi untuk politik Islam yang juga selaras dengan nilai – nilai budaya ketimuran (Indonesia) hal ini sangatlah bertentangan dan sangat tidak boleh digunakan. Melakukan berbagai upaya fitnah untuk menjatuhkan lawan politik dengan berbagai macam cara yang dilarang, tidak boleh dilakukan. Kampanye negatif datang dengan berbagai cara, antara lain melalui layanan pesan singkat (SMS), selebaran, surat elektronik, atau rekaan video porno di situs internet.

Kampanye negatif bukanlah suatu fenomena baru. Selama dekade terakhir, kampanye negatif telah menyebar dari AS ke berbagai tempat lain di seluruh dunia. Evaluasi terhadap kampanye – kampanye yang ada menunjukkan bahwa hanya 10% dari seluruh kampanye politik yang bernilai positif, sisanya 90% adalah iklan negatif. Baik kaum Demokrat dan maupun non Demokrat di AS menggambarkan kampanye yang sedang berlangsung saat ini sebagai “lingkungan kampanye yang paling beracun yang ada dalam ingatan kita” (The International Herald Tribune, IHT 28/09/2006).

Kampanye pencitraan politik adalah peristiwa yang menarik bukan hanya bagi media namun juga untuk para pengamat politik dan pelaku - pelaku politik. Aktivitas politik telah melahirkan gelombang baru cara berkampanye yang negatif. Di Amerika Serikat, Partai Demokrat maupun lawannya saat ini semakin sering menggunakan teknik tersebut. Berbagai kelemahan lawan menjadi alasan bagi kampanye yang agresif oleh kaum demokrat dengan kekuatan setara.

Berapa Biaya untuk Kampanye Negatif?
Banyak sekali sumberdaya yang dikerahkan untuk jenis kampanye negatif, bukan hanya uang untuk memproduksi dan membayar kampanye itu sendiri, namun juga riset panjang tentang dan investigasi terhadap kehidupan pribadi para kandidat untuk mengungkap fakta-fakta memalukan tentang riwayat pekerjaan dan semakin banyak pula tentang riwayat pribadi mereka. Tujuan utama dari kampanye negatif tersebut adalah untuk menggambarkan para penantang dalam gambaran yang paling buruk sehingga pemilih mau tidak mau terpaksa memilih kandidat “yang lain”. Dengan harapan mengalihkan perhatian dari kegagalan pemerintah saat ini, para kandidat melancarkan serangan pribadi kepada saingan-saingan mereka. Kampanye negatif menarik perhatian pemilih, kata konsultan. Tapi, apakah perolehan suara sang kandidat yang melakukan kamapnye negatif memang meningkat? Jawabnya adalah belum tentu dan justru banyak yang semakin menurun elektabilitasnya.

Kenyataan bahwa begitu banyak uang yang dihabiskan untuk kampanye negatif merupakan indikasi bahwa mestinya ada bukti kuat bahwa hal itu menambah suara. Para manajer kampanye dan konsultan mendasarkan kampanye negatif mereka pada keyakinan yang dipegang banyak orang bahwa kampanye politik negatif lebih meninggalkan kesan kepada para pemilih daripada yang positif. Para perencana ingin menangkap arus sinisme pemilih yang ada saat ini untuk tujuan mereka dan memuaskan ekspektasi pemilih yang memang rendah (mereka berharap yang terburuk dari para politisi). “Para pemilih dalam beberapa hal siap untuk menerima hal-hal yang negatif tentang politisi” daripada yang positif, kata seorang konsultan politik.

Resiko Kampanye Negatif
Namun strategi tersebut mengandung resiko: Beberapa pemilih bereaksi secara negatif kepada kandidat yang dianggap menjelek-jelekkan kandidat lain secara tidak fair. Argumentasi kebebasan berbicara dalam sebuah masyarakat bebas seringkali dikutip yang juga menghalalkan serangan tidak sopan seperti yang dilakukan dalam kampanye-kampanye negatif. Terlebih lagi, di AS kampanye politik yang berbohong atau menipu tidak dianggap melanggar hukum. Perbedaan yang tipis antara kritik yang sah dengan penghinaan kasar seringkali sulit untuk dijaga. Hari pemilu akan membuktikan apakah para pendukung kampanye negatif benar atau tidak.

Di Jerman, jenis kampanye negatif sejauh ini tidak terlalu berperan karena hal ini sangat berlawanan dengan persepsi warga sendiri. Banyak orang di AS pun muak dengan kampanye politik yang tiada hentinya di TV. Rakyat sudah tidak lagi tertarik pada pemerintah dan politik; mereka memandang para elit pemerintah sebagai orang-orang yang jauh, tidak responsif dan tidak efektif. Oleh karena itu kampanye negatif mungkin lebih merupakan indikator sedang membusuknya suatu sistem politik dimana apatisme, kekecewaan dan hilangnya minat pemilih terhadap politik begitu besar. Biasanya kampanye – kampanye negatif seperti itu akan mereda sendiri karena memang tidak benar dan tidak ada faktanya.

Hasil Kampanye Nagatif
Dengan merujuk kepada hasil riset Richard R. Lau, Lee Sigelman, dan Ivy Rovner yang dimuat dalam Jurnal Politik (The Journal of Politics, Vol. 69, No. 4, November 2007), dengan judul “The Effects of Negative Political Campaigns: A Meta-Analytic Reassessment”. Richard dkk mengkaji seratusan penelitian ilmiah tentang kampanye negatif ini dalam kurun waktu 20 tahun terakhir di Amerika. Hasil kajian mereka menunjukkan bahwa tidak ada bukti yang meyakinkan tentang kampanye politik model negatif merupakan alat yang efektif sebagai alat pemenangan suara, walau kampanye negatif cenderung lebih mudah diingat dan menstimulasi pemahaman tentang kampanye. Meskipun demikian, kajian ini juga mengakui bahwa iklan negatif ini mempunyai sedikit dampak terhadap kemanjuran politik, kepercayaan terhadap pemerintah, serta suasana hati masyarakat.

Selain itu, ada juga riset Deborah Brooks yang termuat dalam tulisannya “The Resilient Voter: Moving Toward Closure in the Debate over Negative Campaigning and Turnout” dalam Journal of Politics 68 (August, 2006) meneliti 186 berita dan artikel surat kabar dan majalah yang menghubungkan dampak kampanye negatif dan tingkat partisipasi pemilih dari tahun 2000 sampai 2005, dan Brook melaporkan bahwa 65% artikel yang negatif tersebut memberi kontribusi dalam menekan jumlah kedatangan pemilih, sementara hanya 6% saja yang sebaliknya meningkatkan kedatangan mencoblos lebih banyak.

Mencermati riset-riset berita ini tampaknya model kampanye negatif ini dapat menjadi blunder bagi politisi – politisi yang gemar bermain api. Sebagaimana Brook dan Richard membuktikan di Amrik sana bahwa kampanye negatif ini lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Oleh karenanya insan politik Indonesia sudah seharusnya sadar bahwa model – model kampanye negatif tersebut memang sudah sepatutnya dijauhi. Untuk menanggapi isu kampanye negatif maka partai politik harus tetap berfokus pada penyampaian visi, misi, dan program aksi partai politik yang pro rakyat. Selaras dengan itu lakukan pelurusan isu dengan strategi utama, bukan menjawab dengan serangan baru tetapi jawablah dengan kerja yang nyata untuk bangsa ini.

dari beberapa sumber