Hai Penguasa, Kenapa Kita Impor Minyak dari Singapura ?


Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai potensi tambang dan minyak yang luar biasa. Karena itu investor asing pun menyerbu Indonesia sejak 1967, dampaknya milyaran dolar uang kita dijarah asing. Kita pun menjadi miskin di negeri kaya.

Sebanyak 85,4 persen dari 137 konsesi pengelolaan lapangan migas (minyak dan gas) dimiliki oleh perusahaan asing (multinasional). Sisanya 14,6 persen adalah bagian perusahaan nasional. Menurut data migas ada sekitar 20 perusahaan migas nasional yang saat ini mengelola ladang migas di Indonesia. Data ini pun patut dipertanyakan lagi karena selama ini BP migas terkesan kurang transparan dan kurang valid mengemukakan data. Jangan – jangan perusahaan migas nasional jumlahnya lebih kecil lagi dari angka itu.

Sementara kini pemerintah kembali menawar – nawarkan blok pertambangan minyak kita pada investor – investor asing. Di masa orde baru, hampir semua sumur minyak di Indonesia dikuasai perusahaan minyak asing raksasa (ExxonMobil, Caltex, Shell, Atlantic, Mobil Oil, dan lain - lain). Pemerintah sekarang pun sepertinya mulai akan menerapkan seperti itu lagi, saat ini bermunculanlah pompa - pompa bensin bermerek asing, seperti Shell, Petronas, Total dan sebagainya. Jika pemerintah sudah membuka kran liberalisasi di sektor hilir migas, maka fasilitas subsidi yang selama ini diterima Pertamina harus dicabut sampai 0 persen, masyarakat juag lah yang harus merasaknnya.

Untuk bulan Maret 2011 ini misalnya, Pertamina tetap mengimpor premium sebanyak 5 juta barel. Jumlah tersebut sama dengan impor premium pada bulan Februari 2011. Pertamina banyak mengimpor minyak dari Arab Saudi dan Singapura. Selain itu minyak yang diimpor ke Indonesia juga datang dari Brunei, Timur Tengah, Afrika Utara, sampai negara - negara eks Soviet. Dan minyak yang diimpor tersebut juga bukanlah minyak dengan kualitas yang paling mahal (bagus). Harga minyak dari kawasan - kawasan itu acap berselisih hingga US$ 10 per barel dari harga minyak brent di pasar spot internasional. Dalam situasi sekarang, harga minyak yang kita impor itu sekitar US$ 85 hingga US$ 88 per barel. Itu artinya, margin yang didapat para broker tadi bisa mencapai US$ 1,2 per barel.

Pemain yang biasa mendatangkan minyak impor di Indonesia pun tidak terlalu banyak. Jumlah pemain kakapnya hanya bisa dihitung dengan jari. Saat ini, hanya ada tiga perusahaan yang menguasai 80% BBM impor, yaitu Petral, Global Internusa, dan Petro Pacific Indonesia. Petral adalah anak usaha Pertamina, perusahaan ini menguasai sekitar 40% minyak impor. Tetapi setiap kali mendatangkan minyak, Petral selalu menggandeng rekanan swasta - asing ataupun lokal. Global Internusa dan Petro Pacific adalah perusahaan - perusahaan domestik. Kedua perusahaan tersebut dikabarkan mampu menguasai 40% pasokan BBM impor ke Pertamina.

Kini harga minyak pun semakin licin, beberapa pekan yang lalu harga minyak sempat menyentuh level US$ 99,29 per barel. Kenaikan harga itu bahkan terjadi usai kartel negara eksportir minyak (OPEC) mengadakan sidang di Riyadh, Arab Saudi. Dalam sidang itu, nyatanya tidak ada satu negara pun yang berani memperkirakan akan seperti apa harga minyak bergerak dalam beberapa waktu ke depan. Inilah juga yang mungkin jadi pertimbangan bapak Presiden untuk menunda reshuffle dan masalah koalisi. Kalau harga minyak naik dan pemerintah tetap memaksakan menaikan harga BBM maka partai – partai yang kritis pada pemerintah akan lebih bergejolak lagi, sehingga Presiden memilih pendekatan soft solution.

Pertamina saat ini hanya memiliki tujuh kilang, yaitu Pangkalan Brandan, Dumai, Plaju, Cilacap, Balikpapan, Balongan, dan Kasim. Kapasitas produksi kilang-kilang itu pun masih kecil, sekitar 720 ribu barel per hari. Padahal, kebutuhan BBM dalam negeri mencapai 1,03 juta barel per hari. Kilang yang terakhir yang dibuat adalah Balongan, itypun umurnya sudah 24 tahun. Dibandingkan dengan Vietnam, pembangunan kilang di Indonesia sudah jauh tertinggal.

Kenapa negara produsen minyak seperti Indonesia tidak juga memiliki kebijakan untuk membangun kilang tambahan, coba anda tanyakan ke Pemerintah (menteri ESDM)?
Yang ada pemerintah justru membuat kebijakan yang aneh, Indonesia justru membuat kontrak sewa kilang di Singapura. Minyak mentah yang diimpor oleh Pemerintah tidak langsung datang ke Indonesia, melainkan mampir dulu di Singapura dan diolah dulu menjadi BBM di sana. Setelah itu, minyak tersebut kita impor lagi dari Singapura dalam bentuk BBM. Siapa yang diuntungkan oleh kebijakan ini, jelas Singapura yang untung. Kontrak dengan Singapura tersebut masih akan berjalan selama puluhan tahun lagi. Impor minyak dari Singapura memang sudah lama, pada tahun 2000 saja Indonesia sudah mengimpor minyak dari Singapura sebesar 6500 ribu ton. Impor minyak dari Singapura dan negara lain tersebut nilainya Rp 17 trilyun lebih.

Ironis bukan? Indonesia yang merupakan satu negara penghasil minyak, ternyata mengimpor minyak dari negara yang bukan penghasil minyak. Apakah kebijakan seperti ini yang harus disepakati dan ditanda tangani oleh anggota koalisi yang lain tanpa boleh ada sikap kritis?.

Ada yang bilang bahwa jika mendirikan kilang penyulingan minyak tidak ekonomis. Apa benar? Di Singapura, harga tanah sangat mahal, demikian pula gaji buruh. Jika dengan kondisi seperti itu Singapura yang bukan negara penghasil minyak berani mendirikan kilang penyulingan minyak dan menjual ke Indonesia, kenapa Indonesia tidak.

Ada yang bilang ada unsur permainan di sini, dan ini mungkin yang benar. Pada saat menjual minyak, pemain di Indonesia dapat komisi, begitu pula dari ongkos transportnya. Begitu mengimpor balik, dapat lagi komisi serta dari ongkos transportnya.

Sayang sekali jika per tahun, Indonesia harus kehilangan Rp 17 trilyun hanya untuk mengimpor minyak dari Singapura dan negara yang lain. Seharusnya, Indonesia dengan dana Rp 5 trilyun saja sudah bisa membuat dan mengoperasikan pengilangan minyak sendiri sehingga bisa menghemat devisa. Entah apa yang ada di benak para pejabat pemerintah kita ini ?

Masa sih, Negara Indonesia yang wilayahnya terbentang sepanjang 3.977 mil antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik dan luasnya 1,9 juta mil persegi hanya mempunyai tujuh kilang saja? Dan selama 15 tahun ke belakang sama sekali tidak mau memikirkan pembangunan kilang minyak baru ? selama 15 tahun kebelakang diketahui Indonesia tidak lagi membangun kilang minyak baru.