Apakah Harus Mengungkap Aib Orang Lain ?


Tidak ada dari kita yang tidak pernah melakukan salah di masa lalu. Biarkanlah kesalahan masa lalu itu menjadi catatan dan pelajaran masa akan datang. Dan apabila kesalahan masa lalu itu harus diselesaikan melalui hukum, ya segera diputuskan dan kemudian dimaafkan.

Sebagai sebuah bangsa yang mengaku bangsa relijius, akan lebih baik apabila lebih mengutamakan maaf daripada dendam. Rasulullah SAW dalam doanya pun selalu meminta untuk ditutupi aib diri dan ummatnya. Aib bukan sesuatu yang pantas dibawa-bawa ke muka publik. Kalau kita pandai-pandai menutup aib orang lain, insya Allah, Allah akan menutupi aib kita baik di dunia maupun di akherat.

Bagaimana kita mau maju kalau kita terus sibuk mengungkap aib orang lain sementara bangsa lain terus bergerak memperbaiki diri dan menyiapkan bangsanya termasuk sumber daya manusianya untuk terus berpikir kreatif, bertindak efektif membuat dan memproduksi barang dan jasa yang siap dikonsumsi dan digunakan bangsa-bangsa lain di seluruh dunia.

Dalam kitab Asbabun Nuzul karya KH Qamaruddin Shaleh, disebutkan Salman al Farisi, salah seorang sahabat Rasulullah SAW, jika selesai makan ia terus tidur dan mendengkur. Perbuatan ini kemudian dipergunjingkan oleh orang-orang yang mengetahui perilaku Salman. Akibatnya, ‘aib’ ini tersebar luas. Atas kejadian ini Allah menurunkan ayat, ”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS Al Hujurat [49]: 12).

Suatu hari Rasulullah SAW naik ke atas mimbar dan menyeru dengan suara yang tinggi, "Janganlah kalian menyakiti kaum Muslim, janganlah menjelekkan mereka, janganlah mencari-cari aurat mereka. Karena orang yang suka mencari-cari aurat saudara sesama Muslim, Allah akan mencari-cari auratnya. Dan, siapa yang dicari-cari auratnya oleh Allah, niscaya Allah akan membongkarnya walaupun ia berada di tengah tempat tinggalnya." (dari Abdullah bin 'Umar)

Syekh Mahmud al-Mishri dalam kitabnya Mausu'ah min Akhlaqir-Rasul mengungkapkan, di zaman sekarang ini sulit untuk menemukan orang yang dapat dipercaya dalam menjaga rahasia. Kebanyakan manusia kecuali manusia yang mendapat pertolongan Allah tidak dapat menjaga rahasia orang lain. Padahal, membuka aib orang lain termasuk bagian dari khianat.

Kita lupa kalau suatu saat Allah SWT pun akan membukakan aib kita tanpa bisa ditolak. Sesungguhnya, ketika membuka aib orang lain, sama dengan memberitahukan aib kita sendiri. Padahal, dengan menutup aib orang lain, Allah akan menutup aib kita, baik di dunia maupun akhirat. Rasulullah bersabda, "Tidaklah Allah menutup aib seorang hamba di dunia, melainkan nanti di hari kiamat Allah juga akan menutup aibnya".

Jika kita gemar membuka aib orang lain, maka aib diri sendiri, cepat atau lambat, akan terbuka juga. Rasulullah SAW dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abi Barzah Al Aslami mengatakan, ”…. Jangan sekali-kali kamu bergunjing terhadap kaum Muslimin, dan jangan sekali-kali mencari noda atau auratnya. Karena, barangsiapa yang mencari-cari noda kaum Mukminin, Allah akan membalas pula dengan membuka noda-nodanya.” Na’udzubillahi min dzalika, semoga kita terhindar dari perbuatan demikian.

Jika seorang muslim melihat saudara muslim lainnya melakukan kesalahan yang tidak dapat diterima alasannya atau tidak bisa ditafsirkan lain, maka menjadi kewajibannya untuk datang kepadanya guna memberi nasihat secara rahasia, antara dirinya dan saudaranya saja, bukan di depan khalayak. Manusia tidak ingin aibnya diketahui oleh siapa pun, jika dirinya menasihati saudaranya secara rahasia, maka hal ini lebih berpeluang untuk diterima, lebih menunjukkan ikhlas dan jauh dari syubhat. Adapun jika dirinya menasihati saudaranya secara terbuka, di depan banyak orang, maka pada yang demikian ini terdapat syubhat dendam dan popularisasi keburukan, menonjolkan sisi kelebihan diri dan ilmu yang dimiliki. Dan hal ini merupakan penghalang yang mencegah pihak yang dinasihati untuk mendengarkan nasihat serta mengambil pelajaran darinya.

Imam Syafi’i berkata, “Siapa yang memberi mauizhah kepada saudara secara rahasia, maka ia telah menasihati dan memperbaikinya, dan siapa yang memberi mauizhah secara terbuka, berarti ia telah membuka aibnya dan memperburukkannya”
Di antara pertanda ta’yir (mencacat) dan tasyhir (mempopulerkan aib) adalah menampakkan dan mempublikasikan keburukan dalam kemasan nasihat, ia mengklaim bahwa yang mendorongnya adalah tahdzir (memberi peringatan) atas ucapan dan perbuatannya, dan Allah mengetahui bahwa maksudnya adalah tahqir (merendahkan) dan adza (menyakiti).

Berkenaan dengan itu mari kita memperbanyak doa sebagaimana Rasulullah ajarkan kepada para sahabatnya agar aib kita tidak terbuka, Allahumma laa tada’lana dzanban illa ghafartahu, wala ‘ayban illa satartahu. Ya Allah, janganlah Engkau biarkan pada diri kami dosa kecuali Engkau ampunkan. Dan janganlah Engkau biarkan aib pada diri kami kecuali Engkau tutupi.

Dan siapa saja yang terkena bencana makar ini, yaitu saat ia dihina, dicaci, ditampakkan sisi kekurangannya, maka hendaklah ia bertakwa dan bersabar, sebab kesudahannya pasti milik yang bertakwa, “Dan makar buruk itu tidak menghancurkan kecuali pelakunya” (Fathir: 43)