Hati – Hati, Wacana Lokalisasi Judi di Jakarta
Judi memang sering menjadi harapan para pemimpi yang ingin menjadi cepat kaya. Dahulu Gubernur DKI era Ali sadikin pernah melegalkan bisnis haram tersebut sekitar tahun 1967. Tujuannya supaya judi bisa dilokalisasikan dan juga menertibkan judi liar yang merebak. Senada dengan hal itu, pengacara Farhat Abbas juga pernah berwacana bahwa dia menginginkan agar judi di lokalisasi saja di tempat terpencil supaya bisa mendapatkan ruang dan bisa mendapatkan pemasukan negara, dia juga berangapan judi hanya sebuah hiburan sehingga tidak akan berdampak luas pada budaya indonesia. Sedang menurut Anton Medan, mantan bandar judi tahun 1980-an dan pengasuh pondok pesantren Attaibin menyetujui wacana lokalisasi judi menurutnya jika judi di lokalisasi harus menggunakan keputusan presiden (keppres) dan harus di tempatkan di tempat terpencil. Saat Gubernur DKI Jakarta dipegang Sutiyoso, beliau juga merencanakan melokalisasi judi di Pulau Seribu. Gubernur Sutiyoso waktu itu mengajak banyak ulama ke Malaysia menuju Genting Highlands yang akan dijadikan contoh. Namun, setelah pulang dari Malaysia ulama tetap menolak rencana Sutiyoso itu.
Semuanya berargumen seolah-olah judi sangat menguntungkan dan memberikan pemasukan yang sangat besar bagi negara,tetapi apakah mereak semuanya tidak memikirkan dampaknya? padahal judi lebih dahsayat dampaknya dari pada keuntungannya. Judi sangat mengerikan dampaknya dari pada manfaatnya.
“Mungkin” negara akan mendapatkan pemasukan pendapatan yang besar untuk pajak judi tapi apakah tidak melihat dampak yang di akibatkan oleh judi. Sebagai contohnya misalkan jika ada seorang pengusaha pakaian, dia sangat kecanduan judi, karena sudah ada lokalisasi judi maka sang pengusaha itu bisa berjudi tanpa harus pergi ke luar negeri. Seandainya dia kalah terus menerus maka perusahaannya bisa saja gulung tikar, berapa puluh karyawan yang harus kena PHK sehingga dia tidak dapat lagi menafkahi dirinya dan keluarganya,belum lagi perusahaan lain yang bekerjasama dengan sang penjudi tersebut,akan mengalami kerugian juga karena produksinya tidak bisa berjalan karena tidak bisa mengirim lagi pasokan pakaian kepada sang pengusaha yang doyan judi tersebut,belum lagi karyawan perusahaan yang jadi rekanan perusahaan tadi,akan kena dampak PHK juga, di tambah lagi pemilik gedung yang biasanya menyewakan gedung kepada pengusaha tersebut akan mengalami rugi juga. belum lagi pemerintah juga tidak lagi memperoleh pajak dari pengusaha itu,belum lagi kalo pengusaha tersebut gila,bagaimana dengan keluarganya,dengan anak anaknya.itu baru satu orang saja yang berjudi.bayangkan jika lokalisasi judi benar-benar di adakan, akan menjadi apa negara ini.kita belum menghitung jika bandar judinya orang asing, berapa uang yang akan pindah keluar negeri.
Lokalisasi judi sama dengan menciptakan negara dalam negara. Karena lokalisasi itu bentuk penguatan karena mereka memiliki petugas keamanan sendiri, bahkan akan diikuti berkembangnya praktik prostitusi, trafficking dan narkoba.
Yunahar Ilyas dari Muhammadiyah menilai judi tetap haram. “Karena itu, wacana lokalisasi perjudian sama saja menghalalkan yang sudah haram,” tutur Yunahar. Kalau ada orang yang mewacanakan Genting Highlands, Malaysia sebagai contoh, maka Genting Highlands itu untuk orang non-muslim yang bisa masuk ke tempat tersebut. Sedangkan muslim Malaysia dilarang masuk tempat perjudian tersebut. “Sikap Malaysia itu membiarkan orang-orang non Muslim di sana tidak selamat karena membiarkan berjudi. Sedangkan Islam itu agama rahmatan lil’alamin (selamat untuk semua),” tandas Yunahar.
Awalnya pendirian areal khusus judi di Malaysia memang sempat diprotes, namun setalah UU Perjudian Malaysia secara tegas menyatakan kawasan judi ini hanya untuk nonmuslim di Malaysia, keberadaan tempat ini tak lagi dipersoalkan oleh masyarakat Malaysia. Saat ini di Malaysia, proyek Genting Hingland juga terus mendapatkan kritikan dari kalangan Muslim dan partai-partai oposisi.
Tokoh NU, Ma’ruf Amin juga mengatakan bahwa negara dan agama melarang adanya praktik perjudian. Karena itu, kalau ada wacana perjudian dilokalisasi dirinya menolak. Lokalisasi itu bentuk pelanggaran terhadap hukum negara. Ia menepis anggapan bahwa lokalisasi perjudian akan mendatangkan uang bagi pemerintah daerah. “Justru mudharatnya lebih besar daripada manfaatnya karena uang haram dari judi tidak akan mendatangkan keberkahan,” tuturnya.
Kemudian anggota DPR Nudirman Munir mengatakan secara hukum lokaslisasi judi di Indonesia tidak bisa. Kalau ingin melokalisasi judi maka harus diubah UU yang mengatur soal judi. “Saya tidak setuju ada lokalisasi judi, karena KUHP melarang judi. Kalau memang ada orang menginginkan lokalisir judi, ya ubah dulu KUHP sampai berbunyi judi tidak dilarang,” kata Nudirman. Pernyataan Nudirman tersebut untuk menanggapi permintaan Masdar F Mas’udi dari PBNU, yang menilai pemerintah harus segera membangun kawasan judi di Indonesia. Sebab katanya warga negara Indonesia menempati peringkat ke-3 yang paling banyak berjudi di Singapura. Lokalisasi judi juga diharapkan memberi keuntungan financial yang bisa dimanfaatkan.
Menurut anggota DPR Arwani Thomafi, gagasan pelegalan judi di Indonesia merusak. “Itu akan memperlemah dan menjatuhkan ruh dan moral Pancasila. Melegalkan judi itu membuka celah melegalisasi prilaku yang tidak mendidik lainnya,” katanya.
Kita tentu masih ingat kasus SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah), judi yang dibungkus dengan nama sumbangan. Perjuangan menghapuskan SDSB membutuhkan waktu yang sangat panjang dan melelahkan. Para ulama, DPR, mahasiswa, juga media massa, ketika itu aktif menentang SDSB, akhirnya pada 25 November 1993 demontsrasi mahasiswa di DPR berhasil mengakhiri eksistensi SDSB. Seorang ulama yang sempat “berfatwa” bahwa Porkas bukan judi adalah (alm) Prof. KH Ibrahim Hosen. Namun, ketika itu para ulama dari berbagai organisasi Islam menentang pendapat Ibrahim Hosen, dan menyatakan Porkas adalah judi. Yang sangat aktif menentang Porkas dan SDSB ketika itu adalah Badan Kerjasama Pondok Pesantren Jawa Barat, yang dikomandani oleh (alm) KH Sholeh Iskandar. Saya ingat, dalam berbagai kesempatan, KH Sholeh Iskandar selalu mengingatkan pemerintah akan bahaya Porkas dan SDSB yang merusak moral masyarakat, sampai ke pelosok-pelosok desa.
Saat Jenderal Polisi Sutanto resmi menjabat Kapolri, gebrakannya pada tiga pekan pertama adalah beliau langsung mengkampanyekan antijudi. Sutanto langsung meminta seluruh kepala kepolisian daerah di Indonesia segera memberantas judi. Tak tanggung-tanggung, para kapolda hanya diberi waktu sepekan untuk memberantas judi di wilayahnya. "Kalo enggak mampu, masih banyak pejabat lain yang bisa melaksanakan," ancam Sutanto. Pernyataan Sutanto itu segera ditanggapi para kapolda. Sejumlah tempat judi digerebek, alat-alat judi disita, dan banyak penjudi yang dicokok. Media massa pun ramai oleh berita penggerebekan rumah-rumah judi. Mabes Polri mencatat selama tiga pekan itu ada sekitar seribu lebih kasus judi yang berhasil dibongkar. Selain itu, polisi menciduk sekitar tiga ribu orang dan kini mereka berstatus tersangka. Langkah berani polisi itu mendapat tanggapan positif dari publik.
Bicara judi di Ibu Kota memang tidak bisa dilepaskan dari Ali Sadikin, Gubernur DKI periode 1966-1977. Ali Sadikin waktu itu memutuskan melegalisasi judi, untuk pertama kalinya dibuka kasino resmi di Indonesia. Apyang dan Yo Putshong bertindak selaku investor, dua pengusaha kasino besar ini membuka kasino antara lain di Gedung Jakarta Teater, Jalan M.H. Thamrin, Jakpus. Kontan kebijakan Bang Ali, sapaan Ali Sadikin, menuai kehebohan dan kecaman. Tapi Bang Ali jalan terus, hasilnya anggaran pembangunan DKI yang semula Rp 66 juta melonjak tajam hingga lebih Rp 89 miliar dalam tempo sepuluh tahun. Sejumlah pasar, sekolah, puskesmas, dan jalan-jalan baru berhasil dibangun dari hasil judi tersebut.
Legalisasi judi zaman Ali Sadikin didasarkan pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 1957 yang memungkinkan Pemprov DKI memungut pajak atas izin perjudian. Legalisasi ini belakangan coba ditiru Gubernur Sutiyoso. Namun beratnya tentangan membuat Sutiyoso langsung mengurungkan niat. Padahal merujuk Pasal 303 Kitab Undang-undang Hukum Pidana perjudian resmi sebenarnya dimungkinkan sepanjang ada izin dari penguasa setempat.
Sutiyoso waktu itu sempat melontarkan gagasan membangun pusat perjudian di Pulau Panjang, bagian utara dari Kepulauan Seribu, Jakarta Utara. Jauh sebelumnya di tahun 1950-an Wali Kota Sudiro juga sempat mempunyai rencana demikian. Ketika itu Sudiro merencanakan di Pulau Edam (kini Pulau Damar) yang tentu saja lokasinya lebih strategis karena tidak jauh dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Tapi rencana itu juga mendapat tentangan keras dari masyarakat dan dan juga dihadang oleh partai politik di masa itu.
Melihat fakta tersebut, beberapa anggota Komisi III DPR bersama koleganya mengaku sedang merancang draf akademik rancangan undang-undang perjudian. Dalam UU itu nantinya segala hal tentang judi akan diatur termasuk soal tempat, pelaku, dan waktunya ... nah lo ?.
Gagasan lokalisasi pelacuran, minuman keras, bahkan mungkin lokalisasi korupsi sekalipun, terbukti telah dan akan gagal. Lokalisasi berjalan, tetapi justru itu menjadi bentuk legitimasi baru untuk melebarkan berbagai jenis kemaksiatan yang lain. Pelacur di proyek-proyek lokalisasi terus bertambah, tetapi pelacur jalanan juga menjamur. Miras di tempat-tempat khusus tertentu tersedia, tetapi miras di jalanan pun terus terpampang. Judi juga akan menyuburkan dan melahirkan kembali praktik – praktik korupsi, kolusi dan nepotisme di negara ini.
Yang patut kita hati – hati dan waspadai adalah jangan - jangan nanti akan ada pendapat yang muncul, bahwa larangan perjudian dalam al-Quran itu bersifat kontekstual. Artinya, larangan itu hanya berlaku untuk masyarakat Arab gurun yang miskin. Jika tarian erotis Inul saja bisa dicarikan dalilnya, mengapa tebakan berhadiah tidak dapat dicarikan dalilnya? Jangan-jangan, akan ada tokoh atau pemikir yang menggunakan dalil bahwa lokalisasi judi atau penyelenggaran semacam tebakan berhadiah, lebih kecil mudharatnya dibandingkan dengan membiarkan merebaknya perjudian liar. Nah lo ..?