Ramadhan Mendidik Kita menjadi Bersih, Peduli dan Profesional

Bersih
Keadaan jiwa seseorang menjadi penentu utama bagi diri dalam bersikap dan berprilaku. Sikap dan prilaku yang baik atau buruk sangat ditentukan oleh apakah jiwanya bersih atau tidak. Puasa mendidik kita untuk menjadi manusia yang memiliki jiwa yang bersih.
Bulan Ramadan ini harus ditata dengan kebersihan diri dan harus dapat melatih diri untuk senantiasa hidup bersih lahir batin. Pola hidup bersih harus berawal dari diri sendiri. Mulailah berlatih hidup bersih dari hati, lisan, sikap, dan tindakan. Setiap untaian kata yang keluar dari lisan kita haruslah penuh makna, hindari kata-kata kotor, keji, dan tidak senonoh. Makin bersih diri kita, insya Allah kita akan lebih peka melihat aib dan kekurangan diri sendiri. Bahkan, kita akan lebih peka terhadap peluang amal dan ilmu.
Nabi Muhammad saw., adalah figur pribadi yang bersih tubuh, bersih pikiran, bersih ucapan, dan bersih hati. Tutur kata beliau penuh makna, jauh dari sia-sia. Sikap dan penampilan beliau juga senantiasa rapi, bersih, dan bersahaja. Setiap kali berwudu, Rasulullah selalu bersiwak (menggosok gigi). Sesudah makan, beliau juga bersiwak dan menjelang tidur pun beliau bersiwak. Rasulullah tekun memelihara kebersihan tubuhnya. Tidak ada satu pun keterangan yang menyebutkan bahwa tubuh beliau kotor dan kusam. Bahkan, keringatnya pun harum.
Tidak ada lagi alasan untuk menunda-nunda hidup bersih. Detik demi detik di bulan mulia ini harus mampu membersihkan lisan kita, pandangan kita, hati kita, dan harta kita.

Peduli
Setiap manusia pada dasarnya diberikan kecintaan terhadap harta benda sebagai bagian dari naluri mempertahankan diri. Kecintaan ini memicu lahirnya sikap bakhil (pelit dan kikir) serta individualis, mementingan diri sendiri dan enggan berbagi. Salah satu hikmah dan rahasia berpuasa adalah memupuk solidaritas, persamaan derajat, kasih sayang, tepa selira, kepedulian sesama dan kesetiakawanan sosial. Dengan hikmah dan rahasia puasa ini, manusia dilatih agar dapat meminimalisasi sikap bakhil dan individualis yang ada dalam dirinya sehingga dia mau berbagi dengan orang lain. Dengan puasa, orang akan merasakan betapa sakit dan perihnya menahan lapar, padahal itu hanya sementara waktu. Perasaan ini akan mengingatkan mereka kepada sebagian saudaranya yang dhuafa yang senantiasa merasakan lapar dan dahaga sepanjang waktu.
Aksi praktik langsung solidaritas sosial yang umunya dilakukan pada waktu puasa diantaranya adalah :
Pertama, memberikan makanan berbuka kepada orang – orang berpuasa
Kedua, memberikan zakat fitrah
Ketiga, memperbanyak sedekah
Keempat, menyegerakan zakat maal
Kelima, membayar fidyah bagi orang – orang yang tidak mampu menjalankan puasa
Atas dasar inilah, semestinya dengan puasa keberadaan kaum dhuafa yang penting ini lebih diperhatikan dengan menumbuhkan sikap peduli, belas kasih, solidaritas, setia kawan, dan semacamnya untuk mengangkat dan mengentaskannya dari kemiskinan. Dengan kepedulian ini diharapkan akan mampu mengurangi kesenjangan atau gap yang kian hari kian terbuka lebar antara kaum borjuis dan proletar. Bila kepedulian sesama manusia ini sudah tumbuh dan terjalin serasi maka keadilan, kemakmuran, dan kemajuan optimis dapat tercapai.

Profesional
Dunia kontemporer seperti saat ini menuntut manusia bekerja di suatu bidang menurut spesialisasi dan kompetensi masing –masing, ini hanya bisa diperoleh dari sebuah proses ketekunan, ketelitian, keseriusan dan kerja keras. Dengan kompetensi dan spesialisasi itulah bisa dihasilkan produktivitas yang profesional (dalam bahasa lain disebut itqan). Dari awal agama Islam telah menyerukan tentang profesionalitas (itqan) ini dalam segala urusan. Sebagaimana dalam karya dan pekerjaan, itqan juga harus dipraktikan dalam hal ibadah. Dalam hal ibadah puasa, manusia dituntut melakukannya secara itqan agar mendapatkan hasil yang memuaskan. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa puasa tidak ada nilainya di hadapan Allah SWT jika orang yang berpuasa tersebut masih melakukan hal – hal yang tidak etis seperti ucapan dusta, membicarakan aib orang dan mengadu domba. Ada sebagian orang yang berpuasa, tetapi korupsinya jalan terus atau ada juga orang yang berpuasa, tetapi ego dan emosinya tidak terkendali. Di satu sisi mereka berpuasa tetapi di sisi lain mereka melakukan kemaksiatan yang menodai nilai puasa itu sendiri.
Puasa yang mencapai tingkat profesional (itqan) adalah puasa yang memadukan aktivitas fisik dan aktivitas psikis, puasa lahir dan puasa batin. Disamping mengendalikan diri dari makan, minum, seks dan semacamnya juga mengupayakan menahan diri dari kemaksiatan. Anggota tubuh yang berpuasa bukan hanya mulut dan kemaluan, namun mata, telinga, tangan, kaki, dan hati juga diupayakan ikut berpuasa.
Di antara manifestasi dari puasa yang profesional (itqan) ialah puasa tidak menjadi hambatan untuk beraktivitas sebagaimana biasanya. Puasa justru menjadi motor yang efektif untuk meningkatkan stamina dan vitalitas kerja agar mencapai produktivitas yang maksimal. Bila puasa dirasa justru menurunkan semangat kerja dan produktivitas, ini merupakan pandangan keliru dan boleh jadi bermula dari orang malas dan enggan berpuasa.
Puasa agar mencapai tahap profesional (itqan) memang pelu ditempa dengan berbagai pengalaman, percobaan, dan latihan. Sebagaimana jika ingin menjadi pakar atau profesional di bidang tertentu juga harus melalui proses ketekunan, ketelitian, keseriusan, dan kerja keras terlebuh dahulu. Berpuasa yang tidak itqan menurut Al-Ghazali adalah seperti puasanya orang awam (standar minimal dalam ibadah).

Dari beberapa sumber