Gelar Palsu para Caleg Parpol

Beberapa pekan yang lalu, Panwaslu DKI Jakarta menemukan indikasi kasus penggunaan ijazah palsu oleh caleg dari beberapa parpol. Saat ini, apa yang tidak bisa dipalsu? gelar sarjana, magister dan doktor pun dipalsukan. Padahal, gelar - gelar ini diberikan sebagai tanda seseorang berdasarkan kemampuan akademis dan intelegensi seseorang yang berhasil menyelesaikan jenjang studi sesuai strata yang ditempuhnya. Tetapi, ironisnya, semua jerih payah menyelesaikan studi seperti itu, yang tentunya tidak mudah, telah dikotori oleh ulah pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Gengsi dan ingin serba cepat. Demi dua hal itu banyak orang mau mengeluarkan uang sampai puluhan juta untuk membuat ijazah palsu.

Penggunaan ijazah palsu sebenarnya bukan fenomena baru dalam masyarakat kita. Fenomena ijazah palsu semakin menggila pada era reformasi. Hal ini terkait dengan kehidupan demokrasi di Indonesia yang semakin baik. Pemilihan umum yang langsung, dan bebas membuka sekian banyak posisi politik, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif. Dan para calon seakan merasa malu jika hanya bermodalkan ijazah SLTA, apalagi SLTP. Maka, ijazah palsu SLTA dan S1 pun laku keras. Komisi Pemilihan Umum (KPU), baik di pusat maupun daerah-daerah, menemukan cukup banyak kasus ijazah palsu pada pemilu – pemilu sebelumnya.

Ijazah palsu mengandung beberapa makna. Pertama, ijazah benar-benar dipalsukan. Misalnya, seseorang tidak pernah berkuliah di satu perguruan tinggi, toh ia menyandang gelar sarjana karena memiliki ijazahnya. Ijazah ini bisa palsu, bisa pula ”aspal”. Kedua, seseorang mendapatkan ijazah dari suatu lembaga pendidikan yang sebenarnya tidak berhak mengeluarkan ijazah tersebut. Ijazahnya asli, tapi legalitasnya tidak ada. Sejumlah lembaga luar negeri yang bergerak di bidang ”pendidikan main-main” melakukan kegiatan di Indonesia, karena mereka menyadari betapa tinggi demand akan gelar akademik di Indonesia. Padahal, lembaga itu tidak memiliki kewenangan untuk menerbitkan ijazah-ijazah tersebut.
Akibatnya, anggota dewan saat ini banyak yang tidak ada wibawanya, karena ulasan ilmiahnya sulit diterima bila ada permasalahan menyangkut keluhan masyarakat. Sebab itu, anggota legislatif yang katanya terhormat itu menjadi anggota terhina, tidak berwibawa, dilecehkan dan lebih parah lagi bila masyarakat melakukan tindakan anarkis kepada orang tersebut.

Tanggung-jawabnya kepada rakyat, bangsa dan negara dan juga kepada Tuhan tidak ada sama sekali. Masih banyak orang yang menganggap jabatan adalah sebuah kesempatan, yaitu kesempatan untuk berkuasa, kesempatan untuk memperoleh keuntungan pribadi maupun golongan tertentu. Gelar palsu dan ijazah palsu dianggap sebagai sebuah jalan pintas menuju kekuasaan. Kasus ijazah palsu selain menimpa anggota dewan, juga menimpa gubernur, wali kota, bupati sampai menteri kabinet,
Kelangsungan beredarnya ijazah palsu jelas merugikan. Siapa yang rugi ? Pertama, adalah para lulusan sarjana yang benar-benar telah memperoleh gelar dengan susah payah. Kesempatan kerja bagi mereka tertutup akibat diambil oleh yang memiliki ijazah palsu itu. Kedua, kerugian bagi Pemerintah Indonesia karena muncul manusia bergelar, tapi sebenarnya bodoh. Sehingga apabila seseorang pemilik ijazah palsu itu adalah seorang pejabat, maka dipastikan dalam membuat keputusan tidak berdasarkan analisa ilmiah, tapi hanya berdasarakan kehendaknya. Bila kehendaknya dibantah oleh bawahannya yang benar-benar sarjana, maka yang muncul emosional dan memberhentikan, memindahkan atau apa saja yang intinya memberi sanksi dengan alasan melawan atasan.
Lagi pula, dengan gelar tersebut negara dirugikan karena membayar pegawai yang sebenarnya tidak berhak menerimanya.

Dasar hukumnya sudah jelas, yaitu pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP tentang pemalsuan dan pasal 378 tentang penipuan. Selain itu lembaga pendidikan yang mengeluarkan ijazah palsu tersebut juga telah melanggar Undang- Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 67, 68, 69 dan 71. Pasal 67 ayat 1 ditegaskan, yang memberikan ijazah ataupun gelar tanpa hak, dapat dipidana paling lama 10 tahun penjara dengan denda maksimal Rp 1 miliar. Kita semua berharap, semoga bangsa kita tidak lagi dibanjiri oleh kepalsuan, karena bila cinta palsu berakibat perceraian, hubungan bisnis palsu berakhir pula dengan kedustaan dan ijazah palsu berakibat pada kurang kewibawaan, hujatan dan tentunya juga berakibat pada penjara. Dari berbagai sumber