Aliran Dana Asing saat Pemilu

Kampanye parpol maupun capres memerlukan dana yang tidak sedikit, sebagai bukti kita bisa lihat publikasi hasil audit dana sumbangan kampanye presiden 2004 yang lalu. Megawati mendulang dana sebesar Rp 104,8 miliar, Wiranto Rp 87,7 miliar, SBY Rp 71,7 miliar, Amin Rais Rp 31,5 miliar, dan Hamzah Rp 16,2 miliar. Untuk yang lolos ke putaran kedua, tentu jauh lebih besar lagi dari yang resmi dipublikasikan. Oleh karenanya tidak menutup kemungkinan kebutuhan dana – dana yang besar itu didapatkan dari pihak luar (asing), khususnya para pemilik modal.
Dana – dana besar itu sebagian besar dibelanjakan untuk anggaran belanja iklan di media massa, biaya operasi politik dan kampanye, ongkos lobi dan jamuan politik, belanja logistik kampanye, serta biaya-biaya taktis lain yang menghabiskan dana ratusan miliar rupiah.
Para pemilik modal kadang berperan sebagai the invisible hand dan menjadi kekuatan politik bayangan, yang menentukan bahkan bisa mengatur kemenangan sebuah parpol ataupun capres. Hubungan kekuatan pemilik modal dengan parpol ataupun capres bisa dilacak melalui mata rantai sumber dana yang mengalir ke kantung parpol ataupun capres yang bersangkutan.
Dalam konteks seperti di atas, sangat tidak masuk akal bila para pemilik modal sama sekali tidak mempunyai kepentingan. Dengan menyumbang dana miliaran rupiah, pemilik modal pasti menyimpan harapan tertentu kepada seorang parpol ataupun capres bila yang bersangkutan terpilih. Kepentingan itu seperti perlindungan bisnis, konsesi ekonomi, atau kekebalan hukum bila mereka terlibat kejahatan korupsi atau pencucian uang.
Aliran dana khususnya dari asing dalam pemilu sudah menjadi rahasia umum, karena sudah terjadi sejak zaman Soeharto berkuasa. Cuma permasalahannya, untuk membongkar aliran dana asing ini sangat sulit dilakukan dan susah dicari pembuktiannya. Yang lebih dikhawatirkan lagi adalah aliran – aliran dana tersebut sudah melewati proses money laundring (pencucian uang). Biasanya aliran dana asing itu berasal dari pengusaha-pengusaha Cina, AS, dan Eropa yang punya kepentingan bisnis di Indonesia. Mereka ini sangat menginginkan pemimpin Indonesia yang bisa menstabilkan kondisi ekonomi dan keamanan di dalam negeri, untuk mengamankan bisnis mereka di Indonesia.
Kepentingan asing untuk melobi parpol maupun capres sangat beralasan, mengingat posisi strategis Indonesia secara geopolitik di kawasan Pasifik. Kepentingan Amerika Serikat (AS) dan RRC juga dinilai dominan untuk kawasan Asia Pasifik serta posisi strategis Selat Malaka. Wajar kalau ada tekanan kepentingan pihak-pihak asing yang melakukan lobi dengan parpol maupun capres, untuk kepentingan jangka panjang mereka. Masuknya dana asing jelas menjadikan posisi pemerintah menjadi berbahaya karena rentan 'dipermainkan' kepentingan negara asing.
Kepentingan asing dalam pemilu juga sangat kentara dengan maraknya “obral” BUMN kepada asing, yang biasanya ramai ketika menjelang pemilu. Kedoknya pun bermacam – macam, salah satunya adalah dengan mengatasnamakan dewa privatisasi. Ada dua kepentingan disini, dapat modal untuk pemilu, di sisi lain kepentingan kapitalis asing untuk menguasai perusahaan di Indonesia akan berhasil. Bisa – bisa kasus Indosat dan perbankan Indonesia akan terulang lagi.

Sedikitnya ada dua cara masuknya dana asing tersebut ke parpol atau capres. Pertama, melalui tim sukses, fans club atau apapun namanya yang ada di daerah. Sulit mengaudit aliran dana asing yang masuk ke tim sukses di daerah, sebab wewenang KPU tak bisa menjangkau tim sukses di daerah. Kedua, melalui LSM pemantau pemilu dari LSM asing, warganegara asing, serta pemerintah asing. LSM asing yang menjadi pemantau pemilu, sudah tentu dananya tak diperoleh dari dalam negeri. Ada beberapa lembaga pemantau pemilu yang tidak murni independen dan cenderung partisan.
Pada pemilu 2004 kemarin, salah seorang capres pernah mengatakan mendapat tawaran bantuan dana kampanye dari sebuah yayasan di Washington DC, AS. Bantuan tersebut ditawarkan dalam jamuan makan malam melalui Paul Wolfowitz. Pada saat pemilu 2004 kemarin, juga tumben – tumbenan Colin Powell (Menteri Luar Negeri Amerika Serikat) sampai tiga hari ada di Jakarta, seperti kurang kerjaan saja. Tapi ini semua segera dibantah dengan basa basi dubes AS untuk Indonesia. Kedatangan Colin Powell ke Jakarta dengan agenda yang tidak resmi serta tidak jelas ini, merupakan petunjuk yang sangat terang benderang mengenai sinyalemen adanya kepentingan asing dalam pemilu presidensial. Apalagi beberapa pihak meyakini, Menteri Luar Negeri AS itu sempat mengundang salah seorang capres untuk berdiskusi mengenai masa depan politik Indonesia.
Larangan penggunaan dana asing untuk kampanye tertuang dalam aturan Komisi Pemiliham Umum (KPU) Nomor 19 tahun 2008. Dalam ketentuan tersebut, juga diterangkan bahwa dana kampanye tidak dibenarkan berasal dari pihak asing, BUMN/BUMD, dan pemerintah.
Dalam UU Pemilu No 23 tahun 2003 juga disebutkan batas maksimal sumbangan yang boleh diterima dari perorangan maupun perusahaan. Dari perorangan sumbangan maksimal Rp 100 juta, sedang dari perusahaan maksimal Rp 750 juta. Bila ada yang menerima lebih dari batasan itu, yang bersangkutan dapat dikenakan pidana. Penyumbang tak jelas dilarang, juga perusahaan asing dan LSM asing.
Pada prinsipnya dana asing tidak boleh dipakai untuk membiayai pemilu. Jangankan untuk pemilu presiden, untuk sosialisasi pemilu pun seharusnya tidak bisa. Ketika pemilu mendapat 'subsidi' dari asing, secara prinsip dapat dianggap telah terjadi intervensi.
Selain parpol dan juga capres, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga harus diperingatkan untuk berhati-hati dalam menerima bantuan dana untuk penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) dari negara - negara donor. Kadang United Nation Development Program (UNDP), negara-negara donor serta semua bentuk bantuan asing untuk penyelenggaraan pemilu tidaklah gratis (no free lunch, man!!). Data menyebutkan UNDP membantu US$90 juta untuk pemilu 1999 dan US$35 juta untuk pemilu 2004. Dana dari UNDP juga mengalir ke berbagai LSM domestik maupun asing untuk program penguatan demokrasi di Indonesia.
Para penyelenggara negara baik yang duduk di legislatif, eksekutif dan yudikatif maupun masyarakat harus mewaspadai kemungkinan campur tangan asing ini. Dalam pemilu – pemilu sebelumnya di era reformasi, yakni pemilu 1999 dan pemilu 2004 amat kental dengan aroma campur tangan asing dalam bentuk pendanaan, penyodoran konsep - konsep serta pemikiran - pemikiran dengan dalih membantu demokratisasi.
Dana asing yang digunakan dalam kampanye Pemilu 2009 secara tidak langsung akan dapat mendikte kepentingan, baik parpol maupun peserta yang akan berlaga di Pilpres. Masuknya dana asing dalam kampanye capres pemilu sangat riskan, berpotensi bermasalah, dan mengganggu eksistensi capres dan cawapres di mata publik di kemudian hari. Jika ada yang terima dari pihak asing, capres terpilih bisa diimpechment. Beberapa fraksi di DPR juga menginginkan sanksi 'pembatalan kemenangan' bagi pasangan calon yang menerima dan kampanye dari asing (luar negeri), serta sanksi pelanggar ketentuan penerimaan dana asing juga harus diperberat.
Bantuan asing dapat mengancam keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan berpotensi terjadinya intervensi terhadap kehidupan politik di dalam negeri. Masuknya dana asing untuk mensponsori pemilu 2009 merupakan hal yang sangat memprihatinkan. Ini bisa diartikan para pembuat kebijakan telah mengkhianati masyarakat dan lebih membela kepentingan asing. Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat seharusnya menghindarkan diri dari upaya-upaya campur tangan asing di dalam pelaksanaan pemilihan umum 2009 mendatang. Dengan dalih apapun, intervensi asing dalam bentuk apapun termasuk dalam bentuk uang dan pakar tidak bisa dibenarkan di dalam penyelenggaraan pemilu. Untuk itu pemerintah harus berani bertindak tegas tanpa pandang bulu untuk membendung campur tangan asing dalam pemilu 2009 mendatang.
Andrian Sulistyono (dari beberapa sumber)