Lembaga Survey, independen kah ?
Ketika sebuah lembaga survey mencoba melakukan survey popularitas calon, tapi pada saat yang sama lembaga survey itu juga mau bertindak sebagai “konsultan politik” yang menjagokan dan mendukung kandidat tertentu.
Ketika ditanya, apakah ada lembaga survey yang betul-betul independen, mereka menjawab: secara jujur sebetulnya tidak ada lembaga survey yang 100 persen independen. Mengapa? Karena survey itu mahal, butuh ratusan juta bahkan milyaran rupiah. Yang membayar untuk melakukan survey yang mahal itu adalah klien tertentu, yang punya dana kuat dan tentu juga punya kepentingan sendiri.
Meski demikian, lembaga survey tetap bisa bersikap etis pada publik, dengan cara menjalankan order survey itu secara profesional dan tidak merekayasa. Hal itu dimungkinkan, jika lembaga ini secara tegas tidak mau merangkap kerja menjadi “konsultan politik” untuk memenangkan kandidat tertentu.
Dalam rangka pelayanan ABS (asal bapak senang) terhadap kliennya, lembaga survey semacam ini bersedia memoles hasil surveynya, dan dengan demikian telah melakukan penipuan pada publik. Hal ini karena hasil survey yang penuh rekayasa itu dipublikasikan ke media, bahkan mereka berani melakukan konferensi pers segala dengan mengundang para wartawan.
Dengan adanya lembaga-lembaga survey yang tidak peduli pada etika seperti ini, tidaklah mengherankan jika kemudian muncul berbagai prediksi yang sangat kontras dari lembaga-lembaga survey tersebut. Perbedaan angka hasil survey itu bisa sangat tinggi, bisa mencapai 20 persen! Lembaga survey A yang memiliki klien kandidat B, menempatkan posisi B di posisi paling populer. Lembaga X, yang memiliki klien kandidat Y, justru menempatkan posisi Y sebagai yang paling populer.
Padahal, jika kedua lembaga itu melakujkan survey dengan metodologi yang sama, dengan sampling yang betul-betul representatif, seharusnya hasil akhirnya tidak akan jauh berbeda. Kalau angkanya cuma berbeda 2-3 persen, itu wajar. Tetapi, jika perbedaannya sampai 20 persen, pasti ada di antara lembaga survey itu yang betul-betul penipu!
Sayangnya, banyak media tidak begitu waspada terhadap praktik penipuan semacam ini. Mereka mentah-mentah memuat atau menayangkan hasil jajak pendapat, dari lembaga survey yang bukan saja tidak kredibel, tetapi bahkan fiktif. Fiktif? Ya, betul. Ada lembaga yang tidak (baca: TIDAK) pernah melakukan survey, namun mereka mempublikasikan angka-angka urutan popularitas sejumlah kandidat tertentu, yang seolah-olah diperoleh dari hasil kegiatan survey yang serius.
Pertanyaannya, bagaimana cara mereka memperoleh angka-angka itu, supaya terkesan meyakinkan? Caranya begini: Mereka mencontek angka-angka hasil survey dari lembaga survey lain, yang telah melakukan survey secara serius. Ini sangat mudah dilakukan, karena hasil survey itu sudah dipublikasikan secara terbuka di media. Nah, kemudian, supaya tidak kentara, angka-angka itu diubah sedikit, dinaikkan satu atau dua persen, atau sebaliknya dikurangi satu atau dua persen. Lihay sekali, bukan?
Pertanyaan kedua, lembaga-lembaga survey mana saja sih, yang tega melakukan praktik-praktik kotor dan penipuan publik semacam itu? Jawabannya, amati saja hasil perhitungan jajak pendapat dari bebagai lembaga survey itu di media.
Jika hasil surveynya ternyata melenceng jauh dari hasil pemilu atau pilkada (misalnya, kandidat yang diberi angka popularitas tertinggi ternyata justru kalah dengan nilai paling bawah), patut diduga lembaga survey itu bukan lembaga survey yang kredibel. Lembaga semacam itu tidak layak dipercaya. Jangan diberi tempat di media, dan biarkan mereka mati sendiri. Media tidak perlu memberi tempat terhormat bagi para penipu publik ini, meski para penipu ini mungkin bergelar Doktor, PhD, atau MSc, dari universitas bergengsi di luar negeri. ***
Ketika ditanya, apakah ada lembaga survey yang betul-betul independen, mereka menjawab: secara jujur sebetulnya tidak ada lembaga survey yang 100 persen independen. Mengapa? Karena survey itu mahal, butuh ratusan juta bahkan milyaran rupiah. Yang membayar untuk melakukan survey yang mahal itu adalah klien tertentu, yang punya dana kuat dan tentu juga punya kepentingan sendiri.
Meski demikian, lembaga survey tetap bisa bersikap etis pada publik, dengan cara menjalankan order survey itu secara profesional dan tidak merekayasa. Hal itu dimungkinkan, jika lembaga ini secara tegas tidak mau merangkap kerja menjadi “konsultan politik” untuk memenangkan kandidat tertentu.
Dalam rangka pelayanan ABS (asal bapak senang) terhadap kliennya, lembaga survey semacam ini bersedia memoles hasil surveynya, dan dengan demikian telah melakukan penipuan pada publik. Hal ini karena hasil survey yang penuh rekayasa itu dipublikasikan ke media, bahkan mereka berani melakukan konferensi pers segala dengan mengundang para wartawan.
Dengan adanya lembaga-lembaga survey yang tidak peduli pada etika seperti ini, tidaklah mengherankan jika kemudian muncul berbagai prediksi yang sangat kontras dari lembaga-lembaga survey tersebut. Perbedaan angka hasil survey itu bisa sangat tinggi, bisa mencapai 20 persen! Lembaga survey A yang memiliki klien kandidat B, menempatkan posisi B di posisi paling populer. Lembaga X, yang memiliki klien kandidat Y, justru menempatkan posisi Y sebagai yang paling populer.
Padahal, jika kedua lembaga itu melakujkan survey dengan metodologi yang sama, dengan sampling yang betul-betul representatif, seharusnya hasil akhirnya tidak akan jauh berbeda. Kalau angkanya cuma berbeda 2-3 persen, itu wajar. Tetapi, jika perbedaannya sampai 20 persen, pasti ada di antara lembaga survey itu yang betul-betul penipu!
Sayangnya, banyak media tidak begitu waspada terhadap praktik penipuan semacam ini. Mereka mentah-mentah memuat atau menayangkan hasil jajak pendapat, dari lembaga survey yang bukan saja tidak kredibel, tetapi bahkan fiktif. Fiktif? Ya, betul. Ada lembaga yang tidak (baca: TIDAK) pernah melakukan survey, namun mereka mempublikasikan angka-angka urutan popularitas sejumlah kandidat tertentu, yang seolah-olah diperoleh dari hasil kegiatan survey yang serius.
Pertanyaannya, bagaimana cara mereka memperoleh angka-angka itu, supaya terkesan meyakinkan? Caranya begini: Mereka mencontek angka-angka hasil survey dari lembaga survey lain, yang telah melakukan survey secara serius. Ini sangat mudah dilakukan, karena hasil survey itu sudah dipublikasikan secara terbuka di media. Nah, kemudian, supaya tidak kentara, angka-angka itu diubah sedikit, dinaikkan satu atau dua persen, atau sebaliknya dikurangi satu atau dua persen. Lihay sekali, bukan?
Pertanyaan kedua, lembaga-lembaga survey mana saja sih, yang tega melakukan praktik-praktik kotor dan penipuan publik semacam itu? Jawabannya, amati saja hasil perhitungan jajak pendapat dari bebagai lembaga survey itu di media.
Jika hasil surveynya ternyata melenceng jauh dari hasil pemilu atau pilkada (misalnya, kandidat yang diberi angka popularitas tertinggi ternyata justru kalah dengan nilai paling bawah), patut diduga lembaga survey itu bukan lembaga survey yang kredibel. Lembaga semacam itu tidak layak dipercaya. Jangan diberi tempat di media, dan biarkan mereka mati sendiri. Media tidak perlu memberi tempat terhormat bagi para penipu publik ini, meski para penipu ini mungkin bergelar Doktor, PhD, atau MSc, dari universitas bergengsi di luar negeri. ***
Oleh: Ir. Satrio Arismunandar, M.SiExecutive Producer News Division, Trans TV danAnggota Komisi Publikasi AIPI