Sebuah Pengantar dari Triwisaksana untuk Menata Jakarta
Sejarah panjang Jakarta dengan pelabuhan besar Sunda Kelapa-nya, memang sudah menarik minat orang untuk datang sejak dahulu kala. Termasuk di antaranya, kedatangan Portugis yang kemudian diikuti dengan Belanda. Pihak-pihak tersebut yang pernah menguasai Jakarta, sejak zaman Portugis hingga VOC Belanda, telah menjadikan Jakarta (Jayakarta) sebagai pusat kekuasaan. Demi menopang fungsi sebagai ‘power epicentrum’, berbagai bangunan simbol kekuasaan, bendungan, stasiun kereta dan ruang publik dibangun. Dan hingga kini, sisa-sisa kemegahan itu masih bisa kita saksikan dalam jejak kota tua dan bangunan tua peninggalan Belanda yang bertebaran di Jakarta.
Memasuki periode pasca kemerdekaan di era Bung Karno, pembangunan simbol-simbol kemegahan Jakarta juga terus berlanjut. Monumen Nasional, Mesjid Istiqlal, dan Kawasan Senayan, kerap dibanggakan sebagai simbol keberhasilan atas capaian kemerdekaan. Orde Baru juga tidak ketinggalan. Presiden Soeharto dengan gelarnya sebagai Bapak Pembangunan, merancang Jakarta sebagai daerah yang sangat menarik bagi investor. Hasilnya, pemodal asing berduyun-duyun memadati Jakarta. Dan sempurnalah Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi negara, dimana 70% uang nasional beredar di dalamnya. Bahkan era reformasi yang sering didengungkan sebagai antitesa Orde Baru juga tidak ingin kalah dalam ‘memegahkan’ ibukota. Supermall mewah, toko-toko cabang dari berbagai merek terkenal dunia, gedung-gedung pencakar langit, apartemen, superblock dan lainnya, seakan bertumbuh bak jamur di musim hujan.
Sesungguhnya, tidak ada yang salah dengan kemegahan Jakarta. Bukan pula hal yang tercela bila pembangunan fisik dan infrastruktur melaju dengan pesat di ibukota. Namun tantangan terbesar yang akan dihadapi oleh pembuat kebijakan di Jakarta adalah bagaimana mengelola perkembangan dan dinamika kota dengan segala beban berat yang ditanggung, plus tuntutan warganya yang sangat beragam. Dengan status sebagai kota berpenduduk terbesar, kompleksitas permasalahan kota yang berusia hampir lima abad ini, tentu membutuhkan penanganan yang serius dan kerja yang cerdas.
Salah satu tantangan terbesar dalam mengelola Jakarta adalah bagaimana menciptakan keseimbangan pertumbuhan kota dan pembangunan manusia di dalamnya. Disamping tingginya pertumbuhan ekonomi dan pesatnya pembangunan fisik, Jakarta harus memiliki Indeks Pembangunan Manusia sebagaimana negara maju. Bukan hal yang berlebihan jika Indeks Gini Ratio di ibukota harus ditargetkan serendah mungkin. Sebab inilah yang menjadi indikator bahwa pesatnya pembangunan Jakarta dapat dinikmati oleh semua penduduk.
Bagaimanakah kita bisa menilai indikator kesejahteraan seperti indeks pembangunan manusia, indeks kualitas kesehatan dan indeks kualitas hidup. Tentu yang dimaksud bukanlah sekadar angka statistik semata. Secara riil, indikator ini bisa dicermati dari capaian pemenuhan kebutuhan dasar bagi semua penduduk. Kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, perumahan dan sanitasi, haruslah telah terpenuhi dengan memadai.
Buku ini mencoba merefleksikan sisi yang perlu mendapat perhatian kita semua. Jakarta tidak hanya terbangun secara fisik (raga), namun juga kesejahteraan semua penduduknya. Keterlibatan saya sebagai Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta dalam proses penyusunan kebijakan, penyerapan aspirasi, serta pemantauan kondisi masyarakat, telah mengantarkan saya pada perenungan panjang tentang sisi Jakarta yang lain. Kesejahteraan penduduk adalah tanggungjawab kita semua, terlebih bagi para perancang kebijakan. Perjuangan menyejahterakan warga Jakarta harus menjadi kesungguhan dengan azas kesetaraan yang melingkari rasa kebersamaan bagi kesejahteraan untuk semua. Harapan Saya, melalui lahirnya gagasan dalam buku ini dibarengi dengan embrio Komunitas Lingkar Sejahtera Jakarta, akan memantapkan langkah segenap warga semakin giat bergegas dalam kesetaraan dan kebersamaan cita-cita menuju kesejahteraan.
Download E-Book :
BANG SANI Jakarta Modernitas & Pembangunan Manusia