Saya Mulai Mengaji Usai Membaca “Ketika Mas Gagah Pergi”


Sudah lama saya mendengar banyak hal baik tentang Nasir Jamil, anggota DPRD Nanggroe Aceh Darussalam dari Partai Keadilan. Namun saya belum pernah berjumpa dengannya. Salah satu cerita yang saya dengar adalah saat semua anggota DPRD Aceh diberi jatah uang masing-masing 75 juta rupiah, di luar gaji dari Pemerintah Daerah. Semua anggota menerimanya, tetapi tidak Nasir Jamil. Batin anggota termuda DPRD itu malah teriris.

"Saya sungguh tak pantas menerimanya dan tak seorang pun anggota Dewan yang boleh menerimanya pula. Uang itu milik rakyat. Mengapa tak digunakan untuk memperbaiki kehidupan rakyat Aceh yang kini sedang menderita? Mengapa?" tanyanya.

Nasir Jamil adalah satu-satunya anggota DPRD Aceh yang dengan tegas menolak uang tersebut. la siap menghadapi resiko apa pun atas prinsipnya itu, termasuk kemungkinan dimusuhi berbagai pihak. "Itu hak rakyat. Uang itu milik rakyat…, kembalikan pada mereka...," katanya dengan mata kaca.

Beberapa waktu kemudian persoalan uang itu merebak. Banyak media yang mengulasnya. Kebanyakan menulis tentang betapa beruntung Aceh memiliki wakil rakyat seperti Nasir Jamil. Media lainnya berkata bahwa banyak ibu di Aceh yang mendambakan memiliki menantu seperti Jamil. "Kalau kalian mau menikah, tak banyak yang ibu syaratkan. Cari saja yang seperti Nasir Jamil. Ibu pasti setuju!"

Saya baru bertemu dengan Nasir Jamil saat Partai Keadilan Sejahtera membuat acara dzikir dan doa bersama untuk Aceh, Juni 2003 di Jakarta. Pria berusia di atas 30 tahun itu ternyata seorang yang ramah, murah senyum, lembut dan gagah. Ia membuat saya terkenang akan seseorang..., namun saat itu saya tak ingat siapa.

Beberapa waktu kemudian, sebelum ia pulang ke Aceh, saya dan suami mengundangnya untuk makan siang bersama. Saat itu, Nasir Jamil sempat bercerita tentang diri dan keluarganya. Tentang istrinya, Khasanah, guru sebuah SMU di Aceh, juga tentang keempat anaknya yang lucu. "Si kecil masih 7 bulan," katanya.

Kami mendiskusikan banyak hal.
"Saya pernah diledek oleh anggota DPRD yang lain," ceritanya. "Mereka berkata, 'kamu kan dari partai kecil, mengapa bersuara besar?' Langsung saja saya jawab: 'masih mending saya, dari partai kecil tapi bersuara besar. Dari pada kamu, dari partai besar tapi suaranya kecil!'"

Kami tertawa bersama. Saat itulah saya teringat lagi sosok lain yang sepintas saya lihat dalam Nasir Jamil. Sebuah sosok yang sudah saya kenal begitu lama..,.

"Saya mulai intensif mengaji usai membaca sebuah cerita berjudul: Ketika Mas Gagah Pergi," tuturnya. "Cerita itu membuat saya menangis. Soalnya, Mas Gagah mirip dengan saya dulu. Anak band dengan poster-poster para pemusik mancanegara di kamar. Helvy yang menulisnya?" Dia tertawa, menampakkan dua lesung pipitnya.

Saya mengangguk. Tiba-tiba suara saya tersekat di kerongkongan Memang Allah Maha Pemberi Hidayah. Siapa yang menyangka sebuah cerita bisa mengubah seseorang? Tentu banyak faktor yang membuat Nasir Jamil memilih jalan lurus sebagai jalan sejatinya selain cerita yang saya tulis tahun 1993 itu. Namun saya bersyukur cerita yang saya tulis sambil menangis usai shalat malam itu ternyata bisa berarti. Lebih dari segalanya, saya bersyukur menemukan tokoh fiksi saya: Mas Gagah, dalam diri lelaki bukan Jawa itu.
Dan Mas Gagah? Kini ia tak lagi sekadar tokoh fiksi. la sungguh ada.

Helvy Tiana Rosa