Pesan Hari Kartini dari Aleg PKS : Perempuan Terdidik, Perempuan Bangkit
Oleh : Dr. Hj. Kurniasih
Mufidayati, MSi,
anggota DPRD DKI
Jakarta dari Fraksi PKS
|
LIHATLAH data statistik. Ada dua hal yang langsung bisa terlihat
mengenai perempuan Indonesia. Yakni, angka buta huruf dan kemiskinan
yang sangat tinggi pada mereka. Sekadar info, 60 persen lebih dari warga
Indonesia yang buta huruf adalah perempuan.
Bukan hanya di pelosok negeri.Bahkan, di tengah ibukota Indonesia di Jakarta pun kita masih bisa menemukan perempuan-perempuan penyandang buta huruf dan miskin. Mereka bisa kita temui di daerah-daerah Kumis (kumuh dan miskin) seperti di sepanjang bantaran Sungai Ciliwung dan daerah Kumis di Jakarta Utara.
Dalam kondisi seperti ini, tentulah tak mudah berbicara mengenai nasionalisme khususnya nasionalisme perempuan seperti biasa dilakukan menjelang peringatan Kebangkitan Nasional setiap tanggal 20 Mei. Dalam kungkungan pendidikan rendah dan kemiskinan, tentulah tak mudah pula berbicara tentang partisipasi perempuan dalam segala aspek berbangsa dan bernegara.
Bukan hanya di pelosok negeri.Bahkan, di tengah ibukota Indonesia di Jakarta pun kita masih bisa menemukan perempuan-perempuan penyandang buta huruf dan miskin. Mereka bisa kita temui di daerah-daerah Kumis (kumuh dan miskin) seperti di sepanjang bantaran Sungai Ciliwung dan daerah Kumis di Jakarta Utara.
Dalam kondisi seperti ini, tentulah tak mudah berbicara mengenai nasionalisme khususnya nasionalisme perempuan seperti biasa dilakukan menjelang peringatan Kebangkitan Nasional setiap tanggal 20 Mei. Dalam kungkungan pendidikan rendah dan kemiskinan, tentulah tak mudah pula berbicara tentang partisipasi perempuan dalam segala aspek berbangsa dan bernegara.
Bagaimana mengeluarkan perempuan Indonesia dari ketertinggalan dan
kemiskinan ? Jawabnya, meski klise tetapi jelas, pendidikan adalah cara
terbaik bagi mereka untuk keluar dari kungkungan dua hal tersebut.
Seperti janji Soekarno dalam bukunya “Sarinah” yang diterbitkan pada tahun 1947, bila Indonesia merdeka maka perempuan akan mendapat kebebasannya pula . Dan kini, 55 tahun sudah Indonesia merdeka, (banyak) perempuan Indonesia belum mendapatkan kebebasan dari ketertinggalan dan kemiskinan. Dengan kata lain, banyak perempuan Indonesia yang belum mendapat akses ke pendidikan dengan memadai. Padahal, pendidikan adalah hak bagi tiap warga negara. Dan pendidikan bagi perempuan adalah sebuah prasyarat penting bagi sebuah bangsa untuk mencapai kesejahteraan.
Berbicara mengenai nasionalisme berperspektif perempuan memang tak bisa dilepaskan dari sejarah Raden Ajeng Kartini. Bahkan, sejarahwan George Mc.Turman Kahin, Petrus Blumberger, W.F.Wertheim dan J.S Furnifall mengakui bahwa R.A Kartini adalah pengagas pertama nasionalisme Indonesia.
Posisinya sebagai ningrat Jawa saat itu membuat Kartini mendapat akses lebih mudah ke pendidikan. Kartini pun memperoleh peluang untuk mendapat pengetahuan dari luar. Pengaruh ayahnya, Bupati Jepara R.M Aria Sostroningrat juga mendorong lahirnya gagasan nasionalisme yang bertujuan memajukan Bumiputra.
Hal itu terlihat dari tumbuhnya kepekaan Kartini atas nasib bangsanya. Di antaranya adalah pengalamannya menolong seorang anak miskin berumur 6 tahun. Saat menolong anak itu, Kartini menyadari bahwa ada ratusan bahkan ribuan anak lain. Kesadaran itu menyulut keinginannya untuk berjuang memperbaiki nasib mereka.
Kartini menulis tentang anak miskin itu, “Kami beri dia makan, tetapi tidak dimakannya, dibawa pulang…Saya merasa malu sedalam-dalamnya atas egoisme saya. Saya memikirkan dan merenungkan keadaan saya sendiri. Saat itu di sekitar saya penuh jeritan dan rintihan orang menderita…menggemalah di sekitar saya: Kerja! Kerja! Kerjalah! Bebaskan dirimu, bila kau berhasil membebaskan dirimu dapatlah kau menolong orang. (Kpd.E.C Abendanon,1902).
Pendidikan jelas telah membuka mata hati Kartini tentang nasib bangsanya. Dengan segala keterbatasannya, dia berjuang untuk melakukan perbaikan. Gagasan Kartini tentang nasionalisme dalam surat-suratnya yang kemudian dibukukan dengan judul Door duirternis tot Licht (1911) telah menginspirasi berdirinya de Indische Vereeniging (1908), kemudian menjadi Perhimpunan Indonesia (1922), mantan Wakil Presiden Indonesia, Mohamad Hatta adalah salah seorang anggotanya) di Belanda atas usul ketuanya R.M Notosoeroto. Kartini juga menjadi ‘ayunda’ (kakak) bagi pemuda anggota pergerakan nasional Indonesia.
Hal ini terungkap dalam surat Kartini kepada Ny. M. Ovink Soer (1902), “Angkatan muda kita telah mendukung sepenuhnya, ‘Jong Java’ akan membangun persatuan dan sudah tentu kami menggabungkan…Mereka menamakan saya ‘Ayunda’. Saya menjadi kakak mereka, pada siapa mereka setiap waktu dapat datang kalau memerlukan nasehat dan hiburan… “
Surat ini ditulis Kartini, ketika “Jong Java” belum lagi terbentuk. Trikoro Darmo organisasi pergerakan pemuda di pulau Jawa yang menjadi cikal bakal Jong Java pun baru berdiri tahun 1915. Jauh sebelum itu, Kartini sudah menekankan persatuan, padahal Negara Kesatuan Republik Indonesia belum lagi ada.
Berbekal pendidikan yang diperolehnya, Kartini menyadari pentingnya persatuan perempuan dan laki-laki bagi kemajuan bangsa. “Kaum muda, perempuan dan laki-laki, seharusnya saling berhubungan… untuk mengangkat martabat bangsa kita. Tetapi jika kita semua bersatu, menyatukan kekuatan kita dan bekerja sama…hasil perkerjaan kita akan lebih besar. Dalam persatuan letaknya kekuatan dan kekuasaan.” (1901, kepada Ny. Abendanon).
Nasionalisme Kartini bisa dicermati melalui surat-suratnya. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya antara lain menghargai kekayaan budaya lokal, saling menghargai, membantu pihak yang lemah dan miskin, keadilan, tanpa kekerasan, kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan (Liberte, Egalite, dan Freternite), dan tentu saja termasuk pendidikan bagi perempuan.
Kartini terinspirasi gagasan kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan dari Revolusi Perancis, yang digunakan untuk melawan feodalisme. Gagasan itu dipraktekannya bersama adik-adiknya. Kartini menulis, ”Kebebasan, Kesetaraan, dan Persaudaraan! Adik-adik bergaul bebas dengan saya, di antara mereka sendiri merupakan kawan-kawan bebas dan setara” (1899, kepada Stella).
Sungguh berbeda dengan cara berpikir Virginia Woolf, perempuan sastrawan Inggris. Puluhan tahun sesudah Kartini, ia menyatakan sulit memahami nasionalisme atau negara. Di negerinya, nasionalisme, sebagai konsep umum, masih maskulin, diwarnai nuansa patriotisme, dan semata-mata menjadi domain mayoritas pemikiran laki-laki.
Virginia menulis, “As a woman I have no country my country is Whole World….Throughout the greater part of history, has treated me as a slave; it has denied me education…” (Three Guineas, Virginia Woolf).
Seperti janji Soekarno dalam bukunya “Sarinah” yang diterbitkan pada tahun 1947, bila Indonesia merdeka maka perempuan akan mendapat kebebasannya pula . Dan kini, 55 tahun sudah Indonesia merdeka, (banyak) perempuan Indonesia belum mendapatkan kebebasan dari ketertinggalan dan kemiskinan. Dengan kata lain, banyak perempuan Indonesia yang belum mendapat akses ke pendidikan dengan memadai. Padahal, pendidikan adalah hak bagi tiap warga negara. Dan pendidikan bagi perempuan adalah sebuah prasyarat penting bagi sebuah bangsa untuk mencapai kesejahteraan.
Berbicara mengenai nasionalisme berperspektif perempuan memang tak bisa dilepaskan dari sejarah Raden Ajeng Kartini. Bahkan, sejarahwan George Mc.Turman Kahin, Petrus Blumberger, W.F.Wertheim dan J.S Furnifall mengakui bahwa R.A Kartini adalah pengagas pertama nasionalisme Indonesia.
Posisinya sebagai ningrat Jawa saat itu membuat Kartini mendapat akses lebih mudah ke pendidikan. Kartini pun memperoleh peluang untuk mendapat pengetahuan dari luar. Pengaruh ayahnya, Bupati Jepara R.M Aria Sostroningrat juga mendorong lahirnya gagasan nasionalisme yang bertujuan memajukan Bumiputra.
Hal itu terlihat dari tumbuhnya kepekaan Kartini atas nasib bangsanya. Di antaranya adalah pengalamannya menolong seorang anak miskin berumur 6 tahun. Saat menolong anak itu, Kartini menyadari bahwa ada ratusan bahkan ribuan anak lain. Kesadaran itu menyulut keinginannya untuk berjuang memperbaiki nasib mereka.
Kartini menulis tentang anak miskin itu, “Kami beri dia makan, tetapi tidak dimakannya, dibawa pulang…Saya merasa malu sedalam-dalamnya atas egoisme saya. Saya memikirkan dan merenungkan keadaan saya sendiri. Saat itu di sekitar saya penuh jeritan dan rintihan orang menderita…menggemalah di sekitar saya: Kerja! Kerja! Kerjalah! Bebaskan dirimu, bila kau berhasil membebaskan dirimu dapatlah kau menolong orang. (Kpd.E.C Abendanon,1902).
Pendidikan jelas telah membuka mata hati Kartini tentang nasib bangsanya. Dengan segala keterbatasannya, dia berjuang untuk melakukan perbaikan. Gagasan Kartini tentang nasionalisme dalam surat-suratnya yang kemudian dibukukan dengan judul Door duirternis tot Licht (1911) telah menginspirasi berdirinya de Indische Vereeniging (1908), kemudian menjadi Perhimpunan Indonesia (1922), mantan Wakil Presiden Indonesia, Mohamad Hatta adalah salah seorang anggotanya) di Belanda atas usul ketuanya R.M Notosoeroto. Kartini juga menjadi ‘ayunda’ (kakak) bagi pemuda anggota pergerakan nasional Indonesia.
Hal ini terungkap dalam surat Kartini kepada Ny. M. Ovink Soer (1902), “Angkatan muda kita telah mendukung sepenuhnya, ‘Jong Java’ akan membangun persatuan dan sudah tentu kami menggabungkan…Mereka menamakan saya ‘Ayunda’. Saya menjadi kakak mereka, pada siapa mereka setiap waktu dapat datang kalau memerlukan nasehat dan hiburan… “
Surat ini ditulis Kartini, ketika “Jong Java” belum lagi terbentuk. Trikoro Darmo organisasi pergerakan pemuda di pulau Jawa yang menjadi cikal bakal Jong Java pun baru berdiri tahun 1915. Jauh sebelum itu, Kartini sudah menekankan persatuan, padahal Negara Kesatuan Republik Indonesia belum lagi ada.
Berbekal pendidikan yang diperolehnya, Kartini menyadari pentingnya persatuan perempuan dan laki-laki bagi kemajuan bangsa. “Kaum muda, perempuan dan laki-laki, seharusnya saling berhubungan… untuk mengangkat martabat bangsa kita. Tetapi jika kita semua bersatu, menyatukan kekuatan kita dan bekerja sama…hasil perkerjaan kita akan lebih besar. Dalam persatuan letaknya kekuatan dan kekuasaan.” (1901, kepada Ny. Abendanon).
Nasionalisme Kartini bisa dicermati melalui surat-suratnya. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya antara lain menghargai kekayaan budaya lokal, saling menghargai, membantu pihak yang lemah dan miskin, keadilan, tanpa kekerasan, kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan (Liberte, Egalite, dan Freternite), dan tentu saja termasuk pendidikan bagi perempuan.
Kartini terinspirasi gagasan kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan dari Revolusi Perancis, yang digunakan untuk melawan feodalisme. Gagasan itu dipraktekannya bersama adik-adiknya. Kartini menulis, ”Kebebasan, Kesetaraan, dan Persaudaraan! Adik-adik bergaul bebas dengan saya, di antara mereka sendiri merupakan kawan-kawan bebas dan setara” (1899, kepada Stella).
Sungguh berbeda dengan cara berpikir Virginia Woolf, perempuan sastrawan Inggris. Puluhan tahun sesudah Kartini, ia menyatakan sulit memahami nasionalisme atau negara. Di negerinya, nasionalisme, sebagai konsep umum, masih maskulin, diwarnai nuansa patriotisme, dan semata-mata menjadi domain mayoritas pemikiran laki-laki.
Virginia menulis, “As a woman I have no country my country is Whole World….Throughout the greater part of history, has treated me as a slave; it has denied me education…” (Three Guineas, Virginia Woolf).
Pemikiran Virginia Woolf ini lahir saat Inggris menghadapi Perang Dunia
II. Nasionalisme menjadi konsep yang absurd bagi Virginia Woolf, karena
ia tidak terlibat pertempuran. Sulit memaknai nasionalisme ketika tidak
mengalami perasaan patriotik sebagai prajurit perang yang ketika itu
menjadi domain lelaki.
Dari surat-surat Kartini tergambar jelas gagasan nasionalisme berperspektif perempuan. Nasionalisme dengan kesetaraan, merombak adat istiadat yang merugikan. Nasionalisme perspektif Kartini mengacu bagi kemajuan bumiputera, yang hanya dapat terwujud jika rakyatnya mendapat pendidikan.
Pendidikan memang salah satu concern utama Kartini untuk memajukan perempuan dan bangsa bumiputera pada umumnya. Ini terlihat jelas pada nota yang dikirimkan Kartini kepada Pemerintah Kolonial dalam hal ini penasehat hukum Kementerian Jajahan, Slingenberg (1903).
Ketika Politik Etis pemeritah Kolonial Belanda masih berjalan, nota Kartini berjudul Berilah Pendidikan kepada Bangsa Jawa, memuat berbagai hal. Termasuk di antaranya kritik terhadap kebijakan, perilaku pejabat dan pemerintah kolonial dalam bidang kesehatan, budaya, dan pendidikan.
Kartini pun memberikan penekanan pada pentingnya pendidikan bagi bangsa Bumiputera. Kartini mengingatkan, jika para pamong praja terdidik, maka mereka akan mendidik pula bawahannya. Tampak bahwa Kartini menyadari tak mungkin untuk mendidik 27 juta orang (jumlah penduduk saat itu -pen) sekaligus.
Nota Kartini juga menekankan pentingnya pendidikan bagi perempuan. Dalam suratnya yang ditujukan kepada Ny Abendanon, Kartini menyatakan bahwa pengajaran bagi perempuan akan menjadi rahmat dan bermanfaat bagi masyarakat Bumiputera pada umumnya.
Tak bisa disangkal lagi, pendidikan bagi perempuan adalah titik tolak kemajuan bangsa, bahkan umat manusia. Perempuan berpendidikan akan lebih memiliki akses informasi yang lebih baik. Dengan akses informasi yang dimilikinya itulah, dia akan mentransfernya kepada anak-anak dan lingkungannya.
Boleh jadi ada yang menganggap bahwa pemikiran Kartini tentang pendidikan bagi perempuan belum lepas dari peran gender perempuan saat itu yang “cuma” sebagai ibu. Tetapi, bahwa pendidikan akan memberi arti lebih perempuan sebagai ibu, itulah yang tidak banyak orang pikirkan.
Berbekal pengetahuannya, Kartini juga terlibat dalam politik. Ia membantu ayahnya menulis laporan untuk De Locomotief, mengirimkan Nota jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh penasehat hukum Kementerian Jajahan dan menulis surat permohonan beasiswa kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Nota Kartini hingga kini tersimpan sebagai Nota Politik Pemerintah Kolonial Belanda.
Hal di atas memperlihatkan bahwa pendidikan yang diterima Kartini telah memperluas peluang perannya pada akses politik. Pendidikan juga bakal memberi peluang bagi perempuan untuk memilih profesi. Seperti ditulis Kartini, “Roekmini akan belajar seni rupa…untuk menghidupkan lagi seni Hindia,… menuju kemakmuran rakyat. Si Kecil (Kardinah) sekolah rumah tangga, agar dapat mengajarkan calon ibu serta ibu harga uang dan sifat hemat…saya akan belajar bidang pengajaran agar mengajar calon ibu di samping ilmu pengetahuan juga pengertian kasih dan keadilan…” (Surat kepada Ovink Soer, 1900)
Faktanya, pendidikan bagi perempuan akan membuka banyak peluang bagi mereka sendiri untuk terlepas dari kungkungan keterbatasan dan kemiskinan. Kemudian, dengan kebebasan seperti yang disebutkan Soekarno, perempuan Indonesia akan bangkit membebaskan bangsanya dari keterbelakangan dan kemiskinan.
Dari surat-surat Kartini tergambar jelas gagasan nasionalisme berperspektif perempuan. Nasionalisme dengan kesetaraan, merombak adat istiadat yang merugikan. Nasionalisme perspektif Kartini mengacu bagi kemajuan bumiputera, yang hanya dapat terwujud jika rakyatnya mendapat pendidikan.
Pendidikan memang salah satu concern utama Kartini untuk memajukan perempuan dan bangsa bumiputera pada umumnya. Ini terlihat jelas pada nota yang dikirimkan Kartini kepada Pemerintah Kolonial dalam hal ini penasehat hukum Kementerian Jajahan, Slingenberg (1903).
Ketika Politik Etis pemeritah Kolonial Belanda masih berjalan, nota Kartini berjudul Berilah Pendidikan kepada Bangsa Jawa, memuat berbagai hal. Termasuk di antaranya kritik terhadap kebijakan, perilaku pejabat dan pemerintah kolonial dalam bidang kesehatan, budaya, dan pendidikan.
Kartini pun memberikan penekanan pada pentingnya pendidikan bagi bangsa Bumiputera. Kartini mengingatkan, jika para pamong praja terdidik, maka mereka akan mendidik pula bawahannya. Tampak bahwa Kartini menyadari tak mungkin untuk mendidik 27 juta orang (jumlah penduduk saat itu -pen) sekaligus.
Nota Kartini juga menekankan pentingnya pendidikan bagi perempuan. Dalam suratnya yang ditujukan kepada Ny Abendanon, Kartini menyatakan bahwa pengajaran bagi perempuan akan menjadi rahmat dan bermanfaat bagi masyarakat Bumiputera pada umumnya.
Tak bisa disangkal lagi, pendidikan bagi perempuan adalah titik tolak kemajuan bangsa, bahkan umat manusia. Perempuan berpendidikan akan lebih memiliki akses informasi yang lebih baik. Dengan akses informasi yang dimilikinya itulah, dia akan mentransfernya kepada anak-anak dan lingkungannya.
Boleh jadi ada yang menganggap bahwa pemikiran Kartini tentang pendidikan bagi perempuan belum lepas dari peran gender perempuan saat itu yang “cuma” sebagai ibu. Tetapi, bahwa pendidikan akan memberi arti lebih perempuan sebagai ibu, itulah yang tidak banyak orang pikirkan.
Berbekal pengetahuannya, Kartini juga terlibat dalam politik. Ia membantu ayahnya menulis laporan untuk De Locomotief, mengirimkan Nota jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh penasehat hukum Kementerian Jajahan dan menulis surat permohonan beasiswa kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Nota Kartini hingga kini tersimpan sebagai Nota Politik Pemerintah Kolonial Belanda.
Hal di atas memperlihatkan bahwa pendidikan yang diterima Kartini telah memperluas peluang perannya pada akses politik. Pendidikan juga bakal memberi peluang bagi perempuan untuk memilih profesi. Seperti ditulis Kartini, “Roekmini akan belajar seni rupa…untuk menghidupkan lagi seni Hindia,… menuju kemakmuran rakyat. Si Kecil (Kardinah) sekolah rumah tangga, agar dapat mengajarkan calon ibu serta ibu harga uang dan sifat hemat…saya akan belajar bidang pengajaran agar mengajar calon ibu di samping ilmu pengetahuan juga pengertian kasih dan keadilan…” (Surat kepada Ovink Soer, 1900)
Faktanya, pendidikan bagi perempuan akan membuka banyak peluang bagi mereka sendiri untuk terlepas dari kungkungan keterbatasan dan kemiskinan. Kemudian, dengan kebebasan seperti yang disebutkan Soekarno, perempuan Indonesia akan bangkit membebaskan bangsanya dari keterbelakangan dan kemiskinan.