PARTAI ISLAM BISA MENANG PEMILU !
Oleh M. Qodari *
*) Muhammad Qodari lahir di Palembang, 15 Oktober 1973. Dia merupakan peneliti dan sosok yang selama ini malang melintang pada kesibukan dunia survei politik di Indonesia. Jenjang pendidikan sarjananya diselesaikan di jurusan Psikologi Sosial Universitas Indonesia kemudian berlanjut mengambil master degree di Political Behaviour, University of Essex, Inggris. Kini tengah menuntaskan pendidikan S3 di UGM Yogyakarta.
Qodari sekarang menjabat sebagai direktur eksekutif Indo Barometer. Sebelumnya, dia sempat aktif sebagai wakil direktur eksekutif Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada Juli 2005 hingga Oktober 2006.
Dalam wawancara ini, Qodari menegaskan partai-partai Islam tetap punya peluang untuk memenangi kompetisi pengumpulan suara di sebuah ajang pemilihan umum. Memang mereka tidak akan bisa menjadi faktor dominan sebab dari `sono’-nya porsi pemilih Islam (pemilih santri) masih berkutat pada besaran 43 persen, yakni pencapaian terting gi ga bungan suara partai Islam pada Pemilu 1955.
Menurut dia, partai Islam bisa menang pemilu asalkan punya tokoh sangat populer, yang bisa lebih menyatukan potensi suara kelompok Islam yang kini terpecah-pecah.
Situasi seperti ini dengan berkaca pada kasus naiknya suara Partai Demokrat yang sangat fantastis pada Pemilu 2004.“Lihatlah apa yang terjadi pada Partai Demokrat. Pada 2002 berdiri dan pada 2004 ikut pemilu, namun pada 2009 sudah menang dalam pemilu. Ini kan luar biasa. Adanya tokoh populer dari kalangan Islam inilah yang nantinya bisa menyatukan partaipartai Islam, dan ini membuat mereka bisa memenangkan pemilihan umum,“ katanya.
Menurut Anda seperti apa sih dukungan publik terhadap partai politik (parpol) Islam masa kini?
Menjawab ini kita harus mundur ke belakang, yakni kembali pada hasil Pemilu 1955.
Saat itu proporsi angka perolehan dari partai Islam kalau digabung sekitar 43,38 persen, partai nasionalis lebih dominan, yakni 57 persen. Setelah pemilu ini, belum ada pemilu yang demokratis. Kita kemudian masuk dalam pemilu masa Orde Baru yang sebetulnya bisa diabaikan. Meski begitu, pemilu masa Orde Baru masih perlu dilihat terutama untuk mengkajinya. Ini karena kondisi semasa pemilu jauh dari ideal. Pada masa Orde Baru, yang dimaksud partai Islam itu PPP. Dan, karena kiprah partai Islam ini dipenuhi pembatasan, moderatnya kita lihat saja perolehan suara PPP sepanjang masa Orde Baru yang tertinggi, yakni mencapai 29,3 persen pada Pemilu 1977.
Nah, ketika masuk pada era reformasi. Pada masa ini bila kemudian membandingkan perolehan suara parpol Islam pada masa Orde Baru dengan masa Pemilu 1955, di situ kemudian ada pertanyaan apakah parpol Islam tersebut bisa bertahan direntang angka 29 persen hingga 43 persen. Jawabnya, ternyata bisa bahkan perolehan suaranya cenderung mendekat ke atas, yakni ke angka 43 persen. Pada Pemilu 1999, total suara parpol Islam, yakni PPP , PAN, PKB, PBB, PBR, dan partai sejenisnya itu ternyata bisa memperoleh sekitar suara 38 persen. Angka ini menandakan masih bisa mendapatkan suara seperti dalam rentang masa sulit demokrasi ala Orde Baru dan Pemilu 1955 tersebut. Jadi hanya selisih lima persen dari perolehan suara gabungan parpol Islam pada Pemilu 1955. Pada Pemilu 2004, angka ini terus bertahan karena gabungan suara parpol Islam mencapai 38 persen. Sedangkan pada Pemilu 2009, angkanya turun sedikit sekitar 34 persen. Ini dengan asumsi PKB dan PAN adalah partai Islam sebab pada kenyataannya, ketika saya survei di lapangan pemilih kedua partai ini yang orang Islam.
Jadi, kalau memang kita rata-ratakan kekuatan parpol Islam di masyarakat itu memang proporsinya mencapai 40 persen dibanding 60 persen dari partai nasional. Melihat hal ini, semakin menarik bila kemudian memperhatikan porsi jumlah 40 persen ini. Kita tahu jumlah orang NU, ditambah orang Muhammadiyah, orang Persis, dan lainnya, itu memang sekitar 40 persen dari populasi penduduk kita. Mereka inilah yang bisa disebut sebagai `kaum santri’. Nah, melihat ini maka kita pun bisa sebutkan di Indonesia memang porsi pemilih orang nonsantri lebih besar. Ini kenyataannya.
Menyadari hal ini, saya pun melihat, betapa mengejutkannya bila pada Pemilu 1955 suara partai Islam itu mencapai 43 persen. Ini pun cocok bila kemudian kita lihat dari kecenderungan belahan masyarakat Islam di Indonesia. Saya lihat dalam survei, pemilih yang mengaku NU itu 33 persen, Muhammadiyah delapan persen, sisanya ormas Islam, seperti Persis serta lainnya sekitar dua persen. Bila ditotal ini kan mencapai 43 persen. Ini kan sama persis dengan fakta `kolam’ atau pasar partai Islam, ya sekitar angka ini.
Lalu, apa konsekuensinya dari besaran jumlah pemilih seperti ini?
Ya sampai sejauh ini, kecuali nanti ada sebuah peristiwa baru ataupun tokoh baru yang muncul yang luar biasa dari parpol Islam, jumlah suara parpol Islam ya akan segitu.
Kenapa seperti itu? Maka terus terang saja bila partai Islam ingin menang pemilu sebenarnya momentumnya, ya pada Pemilu 1999 lalu. Ini karena saat itu terjadi ledakan partisipasi saat semua ledakan sentimen politik dan primordial muncul meledak ke permukaan. Nah, ternyata pada saat itu perolehan gabungan partai Islam cuma 38 persen saja. Jadi bila dalam Pemilu 1999, kalau partai Islam tidak menang, ya partai Islam nggak bakal menang.
Maksud saya di sini partai Islam tidak dominan, meski tetap terbuka kesempatan untuk menjadi partai dengan perolehan suara terbanyak dalam pemilu. Ini karena jumlah pemilih gabungan parpol Islam tidak akan bisa mendominasi parpol non-Islam.
Jadi, Anda melihat kalau melihat ang kanya parpol Islam ternyata tak mengalami kemunduran serius. Jadi, segala fobia yang kini dilontarkan ke publik bahwa partai Islam tidak bisa menang pemilu itu tidak benar?
Ya sebetulnya kembali kepada kriterianya.
Kalau kita kembali kepada angka-angka sosiologis bahwa yang namanya Islam santri sekitar 40 persen, ya dari dulu parpol Islam ti dak bisa menjadi dominan, ka rena ada besaran jumlah pen dukung parpol non-Islam yang mencapai 60 persen itu. Ini tecermin jelas pada kurun perolehan suara pada Pemilu 1955 hingga pemilu masa reformasi yang angkanya tetap seperti itu. Memang berat sekali untuk menjadi lebih besar.
Meski begitu, kalau dilihat dari potensinya, partai Islam itu tidak bisa menang secara total, tapi menang secara individual dalam sebuah pemilu. Katakanlah nanti PKS, PPP, PAN, atau PKB bisa mendapat nomor satu dalam pemilu karena meraih suara terbanyak.
Ini karena potensi suara parpol Islam kita kan mencapai 43 persen, padahal untuk menjadi pemenang pemilu cukup mendapat dukungan porsi suara 20 persen. Jadi, menurut saya, tetap terbuka jalan bagi partai Islam untuk menang pemilu. Ini kalau misalnya ada partai Islam yang bisa meraih suara separuh saja dari porsi suara pemilih kaum santri itu. Bila dia mendapat separuh saja, yakni mencapai 20 persen, ya dia sudah menang pemilu.
Kalau bicara menang pemilu, ukurannya ya pada hasil Pemilu 2004 dan 2009. Untuk Pemilu 1999 tidak bisa dijadikan ukuran karena pemilu ini kategorinya abnormal. PDIP misalnya yang saat itu dapat suara hingga 34 persen maka akan sulit untuk bisa mencapai lagi angka ini. Jadi, pada dua hasil pemilu itu kita pun tahu partai mana yang punya potensi naik, mana yang akan tetap, dan mana yang akan turun suaranya. Tapi, jelas `kolam suara’ partai Islam, ya masih tidak bisa lebih dari 43 persen.
Tapi, benarkah bila ada klaim bahwa pemenang pemilu nanti akan terus dimenangi oleh partai non-Islam yang selama ini sudah mapan?
Untuk soal ini, pertama ya karena potensi atau `kolam suara’ mereka memang lebih lebar, yakni lebih besar 20 persen dari porsi pemilih kaum santri. Kedua, partai-partai nonIslam atau partai yang nasionalis ini struktur dan organisasinya lebih kuat dan lebih mapan. Golkar, misalnya, strukturnya sudah ada sejak zaman Orde Baru. PDIP juga punya sejarah panjang ke belakang. Yang beda cuma pada Partai Demokrat. Tapi, ini kan partai yang besar bukan karena sistem melainkan karena figur.
Bila dibandingkan dengan hal ini, parpol Islam di Indonesia memang kekurangan. Dalam soal figur saja, misalnya, mereka tak pernah punya figur sekuat Susilo Bambang Yudhoyono atau Megawati Soekarnoputri. Tokoh dari kubu partai Islam itu hanya KH Abdurrahman Wahid dan Amien Rais. Tapi, untuk kedua sosok ini pernah kami survei, baik pada Pemilu 2004 maupun 2009. Hasilnya memang keduanya `kalah kelas’ dengan Megawati ataupun Yudhoyono. Ini kenyataannya. Dan sekarang ini pun tak ada tokoh dari partai Islam yang bisa menyaingi Megawati, Yudhoyono, Abu Rizal Bakrie, atau Prabowo Subianto. Padahal, kalau bicara pemenang pemilu di Indonesia ternyata faktor figur itu adalah hal yang sangat menentukan. Jadi, quantum leaps dari partai Islam itu bisa terjadi kalau mereka punya tokoh seperti figur seperti Presiden Yudhoyono hari ini misalnya.
Bila ini terjadi, konsekuensinya nanti hanya akan ada satu partai Islam yang akan menonjol. Amien Rais dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), misalnya, terukur popularitasnya pada perolehan suara PAN dan PKB. Ini karena orang hanya tahu figur PAN, ya Amien Rais dan PKB, ya Gus Dur.
Bagaimana Anda melihat kenyataan survei yang terakhir dari Sugeng Sarjadi Syndicate (SSS), yang menyatakan banyak parpol Islam yang akan `hengkang’ dari parlemen?
Kalau saya sih terlalu awal untuk dikatakan atau membuat kesimpulan yang seperti itu. Ini karena pertama pemilihannya baru akan dilakukan dua tahun lagi. Kedua, jumlah pemilih yang belum memutuskan itu masih terlalu besar. Jadi, kalau membaca hasil survei, kita tidak boleh mengabaikan pihak yang belum memutuskan. Kalau mau proporsional, yang belum memutuskan harus dibuat distribusi normal.
Meski kalau melihat pada data faktual yang kami punyai sekarang, memang polanya partai-partai Islam, kecuali PKS, hampir semuanya turun. PKB yang pernah menjadi partai Islam terbesar dalam Pemilu 1999 dengan perolehan suara mencapai 12 persen, tapi pada pemilu 2004 turun menjadi 10 persen, dan pada Pemilu 2009 menjadi 4,99 persen. PPP 10 persen (1999), delapan persen (2004), lima persen (2009). PAN tujuh persen (1999), enam persen (2004), enam persen (2009). PBB suaranya juga makin turun. PBR malah kini sudah hilang bergabung dengan PAN.
Jadi, memang partai-partai Islam ini dalam posisi bahaya, kecuali PKS. Ini karena jumlah suara mereka terus menurun. Kedua PKB itu jelas variabel tokohnya yang menjadi pendulang suara, yakni Gus Dur sudah tidak ada di situ. Begitu juga PPP, partai ini tak punya tokoh dan pemilihnya dari kalangan tua dan sampai kini belum punya tawaran program baru yang lebih menarik.
Menurut Anda, apakah benar masya rakat kita punya trauma terhadap partai Islam?
Sebetulnya, masyarakat kita aslinya tidak punya trauma terhadap keberadaan partai Islam. Ini karena yang membuat trauma politik itu kan bikinan Orde Baru. Rezim ini dahulu menciptakan istilah ekstrem kanan dan ekstrem kiri (eka-eki). Ini mereka pakai sebagai alat politik untuk menakut-nakuti orang dalam membangun stabilitas politik.
Maka itu, ada istilah di kalangan ilmuwan politik bahwa di Indonesia ada Islam hammer, yang intinya isu Islam politik dipakai sebagai alat pemukul. Begitu ada gerakan sedikit dari orang Islam maka langsung mereka dicap sebagai ekstrem kanan yang ingin mendirikan negara Islam. Jadi, istilah politik Islam dijadikan alat untuk memukul orang-orang yang melawan mereka. Nah, kalau menurut saya, orang Islam sendiri tak punya trauma dengan Islam politik atau partai Islam.
Tapi, mengapa fobia Islam politik terus berlanjut sampai kini?
Menurut saya, itu karena ideologi media massa dan intelektual kita yang memang kebanyakan menganut ideologi yang lebih sekuler. Ini terjadi baik karena proses kepentingan ekonomi untuk media massanya maupun terjadi karena proses pendidikan yang terjadi pada diri sosok para intelektualnya.
Situasi seperti ini pun sekarang terjadi di Timur Tengah. Kalangan yang lebih liberal itu berasal dari kalangan yang lebih elite. Pada sisi lain, terus terngiangnya fobia Islam politik itu karena sebagian besar mereka itu sudah terkena infeksi akibat gigitan `hantu fobia’ yang diciptakan pada masa Orde Baru dulu.
Melihat masih tetap terbukanya peluang partai Islam untuk memenangkan pemilu, menurut Anda, kiat apa yang bisa dipakai agar mereka dapat memperoleh suara signifikan?
Ya, menurut saya memang harus ada tokoh populer yang berasal dari kalangan partai Islam. Ini salah satunya. Sosok ini penting.
*) Muhammad Qodari lahir di Palembang, 15 Oktober 1973. Dia merupakan peneliti dan sosok yang selama ini malang melintang pada kesibukan dunia survei politik di Indonesia. Jenjang pendidikan sarjananya diselesaikan di jurusan Psikologi Sosial Universitas Indonesia kemudian berlanjut mengambil master degree di Political Behaviour, University of Essex, Inggris. Kini tengah menuntaskan pendidikan S3 di UGM Yogyakarta.
Qodari sekarang menjabat sebagai direktur eksekutif Indo Barometer. Sebelumnya, dia sempat aktif sebagai wakil direktur eksekutif Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada Juli 2005 hingga Oktober 2006.
Dalam wawancara ini, Qodari menegaskan partai-partai Islam tetap punya peluang untuk memenangi kompetisi pengumpulan suara di sebuah ajang pemilihan umum. Memang mereka tidak akan bisa menjadi faktor dominan sebab dari `sono’-nya porsi pemilih Islam (pemilih santri) masih berkutat pada besaran 43 persen, yakni pencapaian terting gi ga bungan suara partai Islam pada Pemilu 1955.
Menurut dia, partai Islam bisa menang pemilu asalkan punya tokoh sangat populer, yang bisa lebih menyatukan potensi suara kelompok Islam yang kini terpecah-pecah.
Situasi seperti ini dengan berkaca pada kasus naiknya suara Partai Demokrat yang sangat fantastis pada Pemilu 2004.“Lihatlah apa yang terjadi pada Partai Demokrat. Pada 2002 berdiri dan pada 2004 ikut pemilu, namun pada 2009 sudah menang dalam pemilu. Ini kan luar biasa. Adanya tokoh populer dari kalangan Islam inilah yang nantinya bisa menyatukan partaipartai Islam, dan ini membuat mereka bisa memenangkan pemilihan umum,“ katanya.
Menurut Anda seperti apa sih dukungan publik terhadap partai politik (parpol) Islam masa kini?
Menjawab ini kita harus mundur ke belakang, yakni kembali pada hasil Pemilu 1955.
Saat itu proporsi angka perolehan dari partai Islam kalau digabung sekitar 43,38 persen, partai nasionalis lebih dominan, yakni 57 persen. Setelah pemilu ini, belum ada pemilu yang demokratis. Kita kemudian masuk dalam pemilu masa Orde Baru yang sebetulnya bisa diabaikan. Meski begitu, pemilu masa Orde Baru masih perlu dilihat terutama untuk mengkajinya. Ini karena kondisi semasa pemilu jauh dari ideal. Pada masa Orde Baru, yang dimaksud partai Islam itu PPP. Dan, karena kiprah partai Islam ini dipenuhi pembatasan, moderatnya kita lihat saja perolehan suara PPP sepanjang masa Orde Baru yang tertinggi, yakni mencapai 29,3 persen pada Pemilu 1977.
Nah, ketika masuk pada era reformasi. Pada masa ini bila kemudian membandingkan perolehan suara parpol Islam pada masa Orde Baru dengan masa Pemilu 1955, di situ kemudian ada pertanyaan apakah parpol Islam tersebut bisa bertahan direntang angka 29 persen hingga 43 persen. Jawabnya, ternyata bisa bahkan perolehan suaranya cenderung mendekat ke atas, yakni ke angka 43 persen. Pada Pemilu 1999, total suara parpol Islam, yakni PPP , PAN, PKB, PBB, PBR, dan partai sejenisnya itu ternyata bisa memperoleh sekitar suara 38 persen. Angka ini menandakan masih bisa mendapatkan suara seperti dalam rentang masa sulit demokrasi ala Orde Baru dan Pemilu 1955 tersebut. Jadi hanya selisih lima persen dari perolehan suara gabungan parpol Islam pada Pemilu 1955. Pada Pemilu 2004, angka ini terus bertahan karena gabungan suara parpol Islam mencapai 38 persen. Sedangkan pada Pemilu 2009, angkanya turun sedikit sekitar 34 persen. Ini dengan asumsi PKB dan PAN adalah partai Islam sebab pada kenyataannya, ketika saya survei di lapangan pemilih kedua partai ini yang orang Islam.
Jadi, kalau memang kita rata-ratakan kekuatan parpol Islam di masyarakat itu memang proporsinya mencapai 40 persen dibanding 60 persen dari partai nasional. Melihat hal ini, semakin menarik bila kemudian memperhatikan porsi jumlah 40 persen ini. Kita tahu jumlah orang NU, ditambah orang Muhammadiyah, orang Persis, dan lainnya, itu memang sekitar 40 persen dari populasi penduduk kita. Mereka inilah yang bisa disebut sebagai `kaum santri’. Nah, melihat ini maka kita pun bisa sebutkan di Indonesia memang porsi pemilih orang nonsantri lebih besar. Ini kenyataannya.
Menyadari hal ini, saya pun melihat, betapa mengejutkannya bila pada Pemilu 1955 suara partai Islam itu mencapai 43 persen. Ini pun cocok bila kemudian kita lihat dari kecenderungan belahan masyarakat Islam di Indonesia. Saya lihat dalam survei, pemilih yang mengaku NU itu 33 persen, Muhammadiyah delapan persen, sisanya ormas Islam, seperti Persis serta lainnya sekitar dua persen. Bila ditotal ini kan mencapai 43 persen. Ini kan sama persis dengan fakta `kolam’ atau pasar partai Islam, ya sekitar angka ini.
Lalu, apa konsekuensinya dari besaran jumlah pemilih seperti ini?
Ya sampai sejauh ini, kecuali nanti ada sebuah peristiwa baru ataupun tokoh baru yang muncul yang luar biasa dari parpol Islam, jumlah suara parpol Islam ya akan segitu.
Kenapa seperti itu? Maka terus terang saja bila partai Islam ingin menang pemilu sebenarnya momentumnya, ya pada Pemilu 1999 lalu. Ini karena saat itu terjadi ledakan partisipasi saat semua ledakan sentimen politik dan primordial muncul meledak ke permukaan. Nah, ternyata pada saat itu perolehan gabungan partai Islam cuma 38 persen saja. Jadi bila dalam Pemilu 1999, kalau partai Islam tidak menang, ya partai Islam nggak bakal menang.
Maksud saya di sini partai Islam tidak dominan, meski tetap terbuka kesempatan untuk menjadi partai dengan perolehan suara terbanyak dalam pemilu. Ini karena jumlah pemilih gabungan parpol Islam tidak akan bisa mendominasi parpol non-Islam.
Jadi, Anda melihat kalau melihat ang kanya parpol Islam ternyata tak mengalami kemunduran serius. Jadi, segala fobia yang kini dilontarkan ke publik bahwa partai Islam tidak bisa menang pemilu itu tidak benar?
Ya sebetulnya kembali kepada kriterianya.
Kalau kita kembali kepada angka-angka sosiologis bahwa yang namanya Islam santri sekitar 40 persen, ya dari dulu parpol Islam ti dak bisa menjadi dominan, ka rena ada besaran jumlah pen dukung parpol non-Islam yang mencapai 60 persen itu. Ini tecermin jelas pada kurun perolehan suara pada Pemilu 1955 hingga pemilu masa reformasi yang angkanya tetap seperti itu. Memang berat sekali untuk menjadi lebih besar.
Meski begitu, kalau dilihat dari potensinya, partai Islam itu tidak bisa menang secara total, tapi menang secara individual dalam sebuah pemilu. Katakanlah nanti PKS, PPP, PAN, atau PKB bisa mendapat nomor satu dalam pemilu karena meraih suara terbanyak.
Ini karena potensi suara parpol Islam kita kan mencapai 43 persen, padahal untuk menjadi pemenang pemilu cukup mendapat dukungan porsi suara 20 persen. Jadi, menurut saya, tetap terbuka jalan bagi partai Islam untuk menang pemilu. Ini kalau misalnya ada partai Islam yang bisa meraih suara separuh saja dari porsi suara pemilih kaum santri itu. Bila dia mendapat separuh saja, yakni mencapai 20 persen, ya dia sudah menang pemilu.
Kalau bicara menang pemilu, ukurannya ya pada hasil Pemilu 2004 dan 2009. Untuk Pemilu 1999 tidak bisa dijadikan ukuran karena pemilu ini kategorinya abnormal. PDIP misalnya yang saat itu dapat suara hingga 34 persen maka akan sulit untuk bisa mencapai lagi angka ini. Jadi, pada dua hasil pemilu itu kita pun tahu partai mana yang punya potensi naik, mana yang akan tetap, dan mana yang akan turun suaranya. Tapi, jelas `kolam suara’ partai Islam, ya masih tidak bisa lebih dari 43 persen.
Tapi, benarkah bila ada klaim bahwa pemenang pemilu nanti akan terus dimenangi oleh partai non-Islam yang selama ini sudah mapan?
Untuk soal ini, pertama ya karena potensi atau `kolam suara’ mereka memang lebih lebar, yakni lebih besar 20 persen dari porsi pemilih kaum santri. Kedua, partai-partai nonIslam atau partai yang nasionalis ini struktur dan organisasinya lebih kuat dan lebih mapan. Golkar, misalnya, strukturnya sudah ada sejak zaman Orde Baru. PDIP juga punya sejarah panjang ke belakang. Yang beda cuma pada Partai Demokrat. Tapi, ini kan partai yang besar bukan karena sistem melainkan karena figur.
Bila dibandingkan dengan hal ini, parpol Islam di Indonesia memang kekurangan. Dalam soal figur saja, misalnya, mereka tak pernah punya figur sekuat Susilo Bambang Yudhoyono atau Megawati Soekarnoputri. Tokoh dari kubu partai Islam itu hanya KH Abdurrahman Wahid dan Amien Rais. Tapi, untuk kedua sosok ini pernah kami survei, baik pada Pemilu 2004 maupun 2009. Hasilnya memang keduanya `kalah kelas’ dengan Megawati ataupun Yudhoyono. Ini kenyataannya. Dan sekarang ini pun tak ada tokoh dari partai Islam yang bisa menyaingi Megawati, Yudhoyono, Abu Rizal Bakrie, atau Prabowo Subianto. Padahal, kalau bicara pemenang pemilu di Indonesia ternyata faktor figur itu adalah hal yang sangat menentukan. Jadi, quantum leaps dari partai Islam itu bisa terjadi kalau mereka punya tokoh seperti figur seperti Presiden Yudhoyono hari ini misalnya.
Bila ini terjadi, konsekuensinya nanti hanya akan ada satu partai Islam yang akan menonjol. Amien Rais dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), misalnya, terukur popularitasnya pada perolehan suara PAN dan PKB. Ini karena orang hanya tahu figur PAN, ya Amien Rais dan PKB, ya Gus Dur.
Bagaimana Anda melihat kenyataan survei yang terakhir dari Sugeng Sarjadi Syndicate (SSS), yang menyatakan banyak parpol Islam yang akan `hengkang’ dari parlemen?
Kalau saya sih terlalu awal untuk dikatakan atau membuat kesimpulan yang seperti itu. Ini karena pertama pemilihannya baru akan dilakukan dua tahun lagi. Kedua, jumlah pemilih yang belum memutuskan itu masih terlalu besar. Jadi, kalau membaca hasil survei, kita tidak boleh mengabaikan pihak yang belum memutuskan. Kalau mau proporsional, yang belum memutuskan harus dibuat distribusi normal.
Meski kalau melihat pada data faktual yang kami punyai sekarang, memang polanya partai-partai Islam, kecuali PKS, hampir semuanya turun. PKB yang pernah menjadi partai Islam terbesar dalam Pemilu 1999 dengan perolehan suara mencapai 12 persen, tapi pada pemilu 2004 turun menjadi 10 persen, dan pada Pemilu 2009 menjadi 4,99 persen. PPP 10 persen (1999), delapan persen (2004), lima persen (2009). PAN tujuh persen (1999), enam persen (2004), enam persen (2009). PBB suaranya juga makin turun. PBR malah kini sudah hilang bergabung dengan PAN.
Jadi, memang partai-partai Islam ini dalam posisi bahaya, kecuali PKS. Ini karena jumlah suara mereka terus menurun. Kedua PKB itu jelas variabel tokohnya yang menjadi pendulang suara, yakni Gus Dur sudah tidak ada di situ. Begitu juga PPP, partai ini tak punya tokoh dan pemilihnya dari kalangan tua dan sampai kini belum punya tawaran program baru yang lebih menarik.
Menurut Anda, apakah benar masya rakat kita punya trauma terhadap partai Islam?
Sebetulnya, masyarakat kita aslinya tidak punya trauma terhadap keberadaan partai Islam. Ini karena yang membuat trauma politik itu kan bikinan Orde Baru. Rezim ini dahulu menciptakan istilah ekstrem kanan dan ekstrem kiri (eka-eki). Ini mereka pakai sebagai alat politik untuk menakut-nakuti orang dalam membangun stabilitas politik.
Maka itu, ada istilah di kalangan ilmuwan politik bahwa di Indonesia ada Islam hammer, yang intinya isu Islam politik dipakai sebagai alat pemukul. Begitu ada gerakan sedikit dari orang Islam maka langsung mereka dicap sebagai ekstrem kanan yang ingin mendirikan negara Islam. Jadi, istilah politik Islam dijadikan alat untuk memukul orang-orang yang melawan mereka. Nah, kalau menurut saya, orang Islam sendiri tak punya trauma dengan Islam politik atau partai Islam.
Tapi, mengapa fobia Islam politik terus berlanjut sampai kini?
Menurut saya, itu karena ideologi media massa dan intelektual kita yang memang kebanyakan menganut ideologi yang lebih sekuler. Ini terjadi baik karena proses kepentingan ekonomi untuk media massanya maupun terjadi karena proses pendidikan yang terjadi pada diri sosok para intelektualnya.
Situasi seperti ini pun sekarang terjadi di Timur Tengah. Kalangan yang lebih liberal itu berasal dari kalangan yang lebih elite. Pada sisi lain, terus terngiangnya fobia Islam politik itu karena sebagian besar mereka itu sudah terkena infeksi akibat gigitan `hantu fobia’ yang diciptakan pada masa Orde Baru dulu.
Melihat masih tetap terbukanya peluang partai Islam untuk memenangkan pemilu, menurut Anda, kiat apa yang bisa dipakai agar mereka dapat memperoleh suara signifikan?
Ya, menurut saya memang harus ada tokoh populer yang berasal dari kalangan partai Islam. Ini salah satunya. Sosok ini penting.