PARTAI ISLAM ITU INDONESIA BANGET (lebih dari partai nasionalis)

Sesungguhnya mereka yang menuduh Islam tidak nasionalis adalah melawan sejarah dan mengingkari sejarah Indonesia, ahistoris. Opini yang mengesankan kalangan Islam tidak nasionalis jelas akan menyinggung perasaan sebagian besar anak bangsa dan juga para founding fathers bangsa ini. Sejak berabad-abad lampau, umat Islam terbukti paling sengit melawan penjajah dan tak terhitung banyaknya fatwa yang menyatakan membela Tanah Air adalah wajib hukumnya.

Ormas dan lembaga Islam yang dulu memobilisasi laskarnya untuk melawan penjajah bahkan masih berdiri tegak sampai saat ini, seperti NU dan Muhammadiyah. Para santri sejak dulu bersikap nonkooperatif kepada penjajah. Kalangan umat Islam bahkan menolak anak-anaknya masuk ke sekolah Belanda. Tak seperti sebagian kalangan netral agama yang menikmati pendidikan Belanda di zaman saat itu.

Peranan umat Islam untuk membebaskan Indonesia dari belenggu kolonialisme dan imperialisme barat sangatlah besar, pelopor kebangkitan nasional adalah umat Islam. Pada 1905 gerakan nasionalis pertama muncul, yaitu Serikat Dagang Islam dan baru kemudian diikuti pada tahun 1908 oleh gerakangerakan nasionalis berikutnya, seperti Budi Utomo. Salah satu tokoh pelopor kebangkitan nasional tersebut ialah HOS Cokroaminoto dari Sarekat Islam yang pada tahun 1916 di Bandung pada saat kongres Nasional Central Sarekat Islam tersebut, HOS Cokroaminoto memperkenalkan paradigma nasionalisme untuk membela dan membangun Nusantara.

Selain itu, beliau tidak mengakui nama Hindia Belanda yang diberikan oleh Belanda untuk nusantara. Sebagai bangsa timur, beliau juga lebih bangga menyebut Indonesia dengan 'Hindia Timur'.

Kita juga bisa tengok sejarah, saat pemilu 1955 dari 15 provinsi, 12 di antaranya dimenangkan oleh partai Islam: Masjumi (sembilan provinsi), NU (dua provinsi), dan PSII (satu provinsi). PNI hanya menang di dua provinsi: Jawa Tengah dan NTB. Satu daerah lainnya, yaitu NTT, dimenangkan Partai Katolik.

Oleh karenanya tidak berlebihan bila partai-partai Islam disebut sebagai partai yang paling Indonesia, partai yang Indonesia banget.

Para intelektual non-Indonesia dan non-Islam pun tidak melakukan pembantahan dan pengingkaran sewenang-wenang atas nasionalisme umat Islam tersebut. Setelah melacaknya secara jujur, mereka menyimpulkan Islam merupakan nasionalisme Indonesia. Tengoklah pernyataan Michael H Hart, "Di Indonesia, agama Islam yang baru itu merupakan faktor pemersatu".

Robert W Heffner, guru besar antropologi Universitas Boston, AS, mengutip sejarawan Sartono Kartodirdjo, menegaskan bahwa Islam menjadi definisi intelektual dan ideologis perlawanan saat itu. "Islam tidak dipandang sebagai pembeda satu segmen masyarakat dari segmen masyarakat lainnya, melainkan dipandang sebagai penyuplai definisi politik menyangkut identitas nasional dan fokus perlawanan terhadap penguasa kolonial".

Begitu pula pendapat Sidney Jones, dia menyatakan pada abad ke-19 dan 20, seiring beralihnya kontrol perdagangan Samudra India ke tangan bangsa Eropa, menurunnya penggunaan bahasa Arab, dan pengaruh internasional, umat tak lagi dipersepsi seperti pada abad ke-17. Umat tak lagi diperuntukkan bagi Muslim yang saleh di Nusantara dan seluruh dunia Islam, tapi menyempit sebatas Hindia. Pernyataan itu mengindikasikan Islam sebagai nasionalisme Hindia.

George Mc Turner Kahin juga menyatakan bahwa Islam telah menjadikan nasionalisme Indonesia menjadi unik jika dibandingkan dengan nasionalisme di belahan dunia lain. Islam pula yang menjadi symbol perlawanan pribumi terhadap kolonialisme Belanda.

Karena itu, tuduhan bahwa partai Islam itu tidak nasionalis adalah wacana tidak bermutu, rabun sejarah, dan Islamofobia.