PEREMPUAN, PEMICU atau PENCEGAH KORUPSI?
Oleh Dra. Hj. KURNIASIH MUFIDAYATI, MSi *
*) Anggota DPRD komisi C dari Fraksi PKS dari dapil Jakarta Selatan. Beliau membidangi masalah keuangan daerah, perpajakan, retribusi, perbankan, aset daerah, serta perusahaan dareah. Kandidat Doktor UI ini lahir di kota Batik Pekalongan. Beliau juga diamanahi sebagai Deputi Bidang Pemberdayaan Perempuan DPW PKS DKI Jakarta.
Wanita yang selalu ramah dengan masyarakat ini mempunyai motto bahwa, “Prestasi kami adalah untuk masa depan ummat Jakarta, dan pengabdian hanyalah untuk Allah semata.”
Untuk para masyarakat Jakarta yang aktif di dunia maya dapat melihat kiprahnya di blog www.kurniasihmufidayati.blogspot.com atau berkomunikasi langsung melalui facebooknya www.facebook.com/kurniasih.mufidayati atau di account twitternya @MbaFida.
Pekan lalu, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan hal yang menarik di forum peringatan 10 tahun kelahiran Komnas Perempuan. Dikatakannya, perempuan jarang terlibat korupsi.
Itu sebabnya, kata SBY, pemerintah akan mengutamakan pemberian pinjaman lunak kepada usaha-usaha yang dikelola oleh perempuan. Alasannya, di samping jarang sekali korupsi, perempuan juga tidak boros dan jarang gagal dalam mengembangkan usaha.
SBY juga menunjuk apa yang dilakukan oleh peraih Nobel Perdamaian asal Bangladesh, Muhammad Yunus. Yunus meraih nobel itu lantaran memberikan kredit lunak kepada kaum miskin Bangladesh.
"97 persen dari 7 juta yang diberikan pinjaman adalah kaum perempuan," jelas SBY.
Dengan asumsi ”perempuan jarang korupsi” itulah SBY juga berjanji akan lebih memberdayakan kiprah perempuan dalam pemerintahannya.
"Saya punya keyakinan, 10 tahun mendatang kaum perempuan akan mendapatkan peluang yang lebih besar untuk ikut berkontribusi terhadap bangsa," tandasnya.
SBY juga mencontohkan, dalam kabinet yang dipimpinnya saat ini terdapat 5 perempuan yang menjadi menteri. Jumlah itu menurutnya masih sangat kecil. Ke depan, dia berharap jumlah menteri perempuan bertambah hingga 10 orang.
Meski tak menyebutkan data spesifik, SBY tidak sepenuhnya keliru dengan anggapannya itu. Sebab, kebanyakan pelaku korupsi memang kaum lelaki. Tetapi, benarkah sesederhana itu perilaku korupsi ditentukan oleh faktor gender ?
Di sisi lain, banyak kalangan justru menyebut perempuan sebagai pemicu terjadinya tindak korupsi. Pandangan ini bahkan seakan telah menjadi stigma di tengah masyarakat. Sangat sering kita mendengar komentar jika seorang lelaki terlibat korupsi, istrinya turut menjadi tertuduh.
”Itu karena istri terlalu banyak menuntut,” kira-kira seperti itulah tuduhan yang dilontarkan.
Tetapi, sesederhana itu pulakah tuntutan istri membuat seorang suami menjadi koruptor ?
***
SBY boleh jadi mendasarkan asumsinya pada paper David Dollar, Raymond Fisman dan Roberta Gatti dalam hasil penelitian Bank Dunia tahun 1999 yang bertema “Are Woman Really The Fairer Sex; Corruption And Women In Government”.
Dalam paper mereka, David, Raymond dan Roberta menyimpulkan “women less corrupt”, maka mereka berasumsi semakin besar keterlibatan perempuan di parlemen, semakin rendah tingkat korupsinya . Kesimpulan itu menurut mereka didasarkan atas beberapa hasil riset mengenai perbandingan tingkah laku antara laki-laki dan perempuan.
Meski mengaku berdasarkan riset, kesimpulan semacam itu tentu sangat mudah dipatahkan. Sebab, generalisasi sikap dan tindakan hanya berdasarkan perbedaan gender itu sulit diterima kebenarannya secara metodologis.
Fakta di lapangan pun mengatakan seperti itu. Dalam sejumlah kasus korupsi, beberapa pelakunya juga berjenis kelamin perempuan. Dengan kata lain, perempuan sebagaimana halnya lelaki, sama-sama berpotensi untuk melakukan korupsi.
Apalagi, jika melihatnya dari perspektif kekuasaan. Adagium ”Power tends to corrupt. Absolute power, corrupts absolutely” menyatakan, siapapun dia, baik laki-laki maupun perempuan, ketika memegang kekuasaan akan cenderung korup.
Kendati demikian, asumsi bahwa perempuan kerap menjadi pemicu terjadinya korupsi juga mudah dipatahkan. Sangat mungkin, asumsi ini muncul karena di Indonesia pembagian kerja dalam hubungan perkawinan, masih menempatkan perempuan ”hanya” sebagai ibu rumah tangga. Sedang laki-laki adalah tiang penyangga utama perekonomian keluarga.
Dengan pembagian kerja semacam ini, jika sang suami melakukan korupsi, akan muncul pandangan keliru bahwa sang istri yang menstimulasi suami untuk melakukan perbuatan tercela itu. Asumsi ini melupakan fakta bahwa lelaki juga punya potensi untuk melakukan apapun tanpa sepengetahuan istri. Termasuk dalam hal ini selingkuh dan having fun alias bersenang-senang memuaskan diri sendiri. Dan semua itu dibiayai dengan uang korupsi, agar uang gaji yang disetorkannya ke istri tetap utuh dan sang istri tak curiga...
Karena itu, cara pandang semacam ini pun tak bisa dibenarkan. Bukan masanya lagi mengedepankan asumsi bahwa perempuan merupakan pemicu terjadinya korupsi. Yang lebih penting lagi adalah berupaya meningkatkan peran perempuan dalam mendorong gerakan antikorupsi.
Peran paling mendasar yang bisa dilakukan perempuan adalah menanamkan nilai antikorupsi di tengah keluarga. Ini sangat mungkin dilakukan mengingat secara faktual mayoritas kalangan perempuan berposisi sebagai ibu rumah tangga.
Sebagai ibu, mereka memiliki banyak waktu untuk berinteraksi dengan anak-anak. Dalam konsep Islam, ibu adalah madrasah (sekolah) bagi anak-anaknya. Dalam posisi ini, seorang wanita dapat mendidik bangsa untuk tidak menjadi koruptor. Diawali dengan mendidik putera-puterinya untuk menjauhi asal muasal tindak korupsi, yakni ketidakjujuran. Pendidikan keimanan dan pembiasaan pola asuh dengan kejujuran kepada anak sejak dini diharapkan mampu melahirkan generasi antikorupsi.
Sebagai istri, seorang perempuan juga bisa berperan membentuk karakter suami menjadi manusia antikorupsi. Itu bisa dilakukan dengan cara komunikasi yang simpel. Jika suami membawa uang ke rumah, seorang istri sepatutnya bertanya asal usul uang tersebut. Ini merupakan sebuah bentuk kontrol pada suami agar menghindari korupsi.
Peran domestik ini juga dijalankan bukan semata berdasarkan kepentingan pribadi, tetapi diletakkan dalam konteks pemberdayaan bangsa. Dengan demikian bukan semata merupakan manuver pribadi tetapi bagian dari sistem yang bekerja untuk meningkatkan kualitas kehidupan bangsa.
Di samping peran domestik di rumah tangga, perempuan juga bisa berperan lebih luas dalam gerakan antikorupsi. Sayangnya, menurut banyak kalangan, gerakan antikorupsi saat ini adalah gerakan maskulin. Tak dapat dipungkiri, dari fakta di lapangan saja para aktivis gerakan antikorupsi kebanyakan adalah kaum laki-laki. Boleh dibilang, sangat jarang perempuan yang tampil sebagai penggerak utamanya. Kebanyakannya berada di posisi pendukung semata.
Karena itu, perluasan peran perempuan dalam gerakan antikorupsi perlu terus diakomodasi oleh siapa saja. Jika perjuangan affirmative action untuk mengakomodasi perempuan di lembaga politik mulai memperlihatkan hasil, mengapa hal ini tidak dilakukan juga untuk mengakomodasi peran perempuan di lembaga-lembaga antikorupsi ?
Persoalan sesungguhnya terletak pada kekeliruan cara pandang tadi. Karena itu, dibutuhkan penyadaran akan pentingnya keadilan gender juga diterapkan pada gerakan antikorupsi. Tak dapat dipungkiri bahwa minimnya peran perempuan dalam gerakan antikorupsi juga sangat ditentukan oleh bagaimana gerakan antikorupsi memandang peranan perempuan untuk terlibat di dalamnya. Jika kesadaran itu makin besar, diharapkan perempuan makin memiliki tempat dalam gerakan anti-korupsi.
Walhasil, perpaduan peranan di ranah domestik dan ranah publik, diharapkan mampu mengubah stigma keliru tentang perempuan sebagai pemicu terjadinya korupsi. Dan sebaliknya, mengokohkan citra perempuan sebagai pencegah terjadinya korupsi. (***)