KEPAHLAWANAN KOLEKTIF
Oleh M Anis Matta
Ada satu kesalahan yang sering kita
lakukan ketika membaca biografi para pahlawan. Kita selalu membayangkan
bahwa para pahlawan itu relatif berbeda dengan orang-orang biasa.
Bayangan itu tidak sepenuhnya salah. Namun, biasanya anggapan itu
menjadi salah ketika sebuah karya sejarah kemudian dinisbatkan secara
latah kepada satu orang pahlawan, padahal sebenarnya pahlawan yang kita
elu-elukan itu mungkin hanya memberikan sentuhan akhir.
Dalam pembacaan seperti ini, ada banyak
peran dan pelaku sejarah yang terlupakan, atau mengalami semacam
marginalisasi sejarah. Misalnya, ketika kita menempatkan Shalahuddin Al
Ayyubi sebagai tokoh kunci, yang relatif bersifat tunggal, dalam
menghadapi Pasukan Salib. Padahal, Pasukan Salib telah menguasai Al Quds
selama sekitar 90 tahun, dan sepanjang tahun-tahun itu ada banyak
perlawanan di sana-sini.
Ada banyak gerakan dakwah dan penyadaran
sosial, ada banyak tokoh yang turut mengkondisikan situasi kemenangan,
yang kemudian diselesaikan secara gemilang oleh Sholahuddin Al Ayyubi.
Yang disebut terakhir ini bahkan sebenarnya berasal dari Pasukan Mahmud
Nuruddin Zanki, yang menguasai wilayah Syam, sebelum kemudian pindah ke
Mesir dan memulai segalanya dari sana. Jadi, kemenangan dalam Perang Salib adalah karya beberapa generasi,
bukan karya Sholahuddin Al Ayyubi sendiri. Perang ‘Ain Jalut yang
melegendakan Muzaffar Quthuz karena berhasil merontokkan sekaligus
menghancurkan serangan Pasukan Tartar, juga didahului oleh prakondisi
sosial-politik, yang memungkinkan kemenangan itu diraih. Ada ulama
seberani Izzuddin bin Abdissalam yang mengkondisikan masyarakat Syam
sebelum kemudian bergabung dengan pasukan Islam di Mesir dalam
menghadapi Tartar. Beliau memang memenangkan pertempuran itu. Itu bukan
hanya karya pribadinya. Itu merupakan karya bersama beberapa generasi.
Karya-karya sejarah yang besar, pada
akhirnya, memang tidak dapat diselesaikan seorang pahlawan saja. Semua
orang terlibat dalam proses. Akan tetapi, seorang pahlawan melegenda
karena dalam proses itu ia memberikan kontribusi yang lebih besar
daripada yang lainnya. Walaupun begitu, kontribusi yang besar tidak
akan pernah dapat ia berikan tanpa kehadiran pahlawan-pahlawan lain,
yang kadar kepahlawanan-nya mungkin lebih kecil dibanding dirinya.
Di sini kita belajar tentang makna
kepahlawanan kolektif. Peran-peran kepahlawanan terdistribusi dalam
banyak bentuk. Begitulah misalnya kita menyaksikan Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam mendistribusi peran-peran kepahlawanan tersebut. Umar
bin Khattab, misalnya, tidak pernah sekalipun ditunjuk menjadi komandan
perang, sekalipun ia memenuhi semua kualifikasinya. Itu terlihat
misalnya dalam surat-surat yang beliau kirim ke para komandan pasukan di
berbagai front. la bukan hanya memberi petunjuk umum, tetapi memberi
instruksi yang sangat detil. Bahkan, menurut Saad bin Abi Waq-qash,
instruksi beliau menunjukkan kalau beliau mengetahui medan ketimbang
komandan pasukannya sendiri.
Hal ini disebabkan Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam mengetahui dengan pasti potensi dan kapasitas yang
dimiliki Umar memungkinkannya memainkan peran yang jauh lebih strategis
daripada sekadar memimpin sebuah pasukan perang. Itulah yang terjadi
kemudian. Karena ternyata Umar bin Khathab adalah seorang negarawan
besar.